Author: Idew Hwang
Instagram: idewsmile
.
.
.
Rose PovUntuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bangun terlambat di Sabtu pagi dengan sedikit sakit kepala yang masih bertahan di bagian belakang kepalaku. Aku turun tepat setelah mandi dan mengenakan pakaianku—celana jins berwarna batu, kaos oblong dan sepatu kets. Aku sedang berjalan ke dapur mencari sesuatu untuk dimakan ketika aku melihat seseorang di ruang tamu kami.
Seseorang yang seharusnya berada di tempat kerja pada jam sekarang.
Ibuku sedang berbaring di sofa. Dia masih mengenakan pakaian kerjanya, rambutnya berantakan, sebatang rokok di jarinya dan isi tas bahunya berceceran di seluruh lantai. Aku bertanya-tanya apa ibuku benar-benar tidur di sini. Ketika aku tiba lebih awal pagi ini, ibuku belum pulang. Aku juga berasumsi adikku yang berusia enam tahun, Richie, tidur di apartemen Bibi Seo lagi karena ibu tidak bisa menjemputnya di sekolah.
“Ibu?” Bisikku, mengambil langkah pelan. Aku mengguncang bahu ibuku sedikit. “Ibu.” Aku memanggilnya lagi, sedikit lebih keras kali ini.
Untuk sesaat, ibuku tidak bergerak. Lalu, perlahan-lahan, dia mendongak. Pada awalnya, ibuku menyipitkan mata padaku seolah mencoba mengenali siapa yang berbicara dengannya dan kemudian wajahnya merekah menjadi senyum malas. “Rose? Putriku yang cantik—” kata ibuku, suaranya serak dan napasnya bau alkohol. Ibu mengulurkan tangan dan menyentuh pipiku, aku menahan diri tidak mengambil langkah mundur. “Putriku yang sangat cantik—” gumamnya.
“Ibu, kau tidur di sini?” Aku bertanya meskipun aku sudah tahu jawabannya. Aku bergerak menuju jendela dan membuka tirai.
“Ow!” Ibu mengerang saat ia terduduk di sofa, menutupi matanya dengan tangannya sementara cahaya matahari menerobos ke ruang tamu. “Rose! Kepalaku berdenyut-denyut!” Rengeknya seolah itu adalah salahku, dia menekan pelipisnya.
Aku menggigit bibir bawahku kesal dan menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. “Ibu—”
“Bisakah kau membuatkanku kopi, Sayang?” Tanya ibu. Dia tersenyum manis padaku.
Aku tidak mengatakan sepatah katapun dan berbalik ke dapur. Aku membuka lemari, mengambil cangkir, menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi.
“Oh, dan Sayangku?“ Ibu memanggil saat aku menuju ke ruang tamu, “Bisakah kau memberiku beberapa aspirin, juga? Sakit kepala ini seperti membunuhku—” Ibu menyerukan suara frustrasinya.
Aku mendengus dan kembali ke lemari obat dan mengambil wadah putih.
“Terima kasih, Sayang, kau sangat manis”" Kata ibu dengan suara ceria. Dia mengacungkan jari ketika aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Ibu mengambil dua buah pil dan meminum kopinya. “Menyenangkan,” gumamnya kemudian.