Fina perlahan membuka kelopak matanya yang berat. Meskipun masih terlalu pagi, dia memaksakan diri bangun dari tempat tidur untuk bersiap-siap berangkat kerja.
Ketika keluar kamar, dilihatnya Rafa yang telah menyesap secangkir kopi.
"Kalau mau bikin kopi atau teh, bikin sendiri, ya," kata Rafa.
"Pagi-pagi udah rapi aja, Mas?"
"Mau ke daerah Kramat Raya. Kalau nggak berangkat pagi, bisa kejebak macet. Roti bakar di situ, tuh, buat kamu!"
Fina jadi merasa tidak enak hati. "Aku naik ojol aja, deh, daripada ntar Mas telat."
"Yakin, berani?"
"Yaelah, udah gede kali, Mas." Fina menghabiskan roti bakar keju susu buatan kakaknya. Dia tidak menyangka jika kakaknya masih ingat kesukaannya.
"Ya udah, kalau gitu aku berangkat sekarang. Ntar kunci apartemennya kamu bawa aja, ya."
Fina membulatkan telunjuk dan ibu jarinya seraya mengedipkan sebelah mata. Dia pun mesti bergegas untuk berangkat kerja.
*
Fina mengembuskan napas lega ketika hari kedua ini dia disambut ramah oleh seorang staf PPIC, bukan oleh Pak Doman.
"Halo, Mbak Dafina. Kenalin, aku Niranjana. Panggil aja Nira, kayaknya umur kita nggak jauh beda, deh. Aku udah dua tahun kerja sebagai staf PPIC," sapa Nira.
Fina menyambut uluran tangan Nira. "Hai, Nira. Panggil aku Fina aja."
"Hmm, oke, Fina. Aku diminta Pak Doman nganterin kamu keliling-keliling dulu. Yuk, aku kenalin sama staf PPIC yang lain," ajak Nira.
Di luar dugaan Fina, para staf PPIC lainnya menyambut kedatangannya dengan baik. Dalam waktu singkat, dia merasa nyaman berada di lingkungan barunya ini.
Rata-rata staf PPIC diisi oleh staf senior, hanya segelintir staf yang masih muda, termasuk dirinya dan Nira. Berarti yang bermasalah hanya ... bosnya saja?
Fina celingukan mencari sosok ajaib yang tidak terlihat batang hidungnya sejak tadi.
"Nyari siapa, Fin? Pak Doman?" tebak Nira.
"Eeeng, emangnya Bos, eh, maksudku Pak Doman lagi pergi, ya?"
Nira terkikik geli. "Kenapa? Kamu kangen, ya?"
"Ih, amit-amit," gumam Fina lalu membungkam mulutnya sendiri karena khawatir ada orang lain yang mendengarnya.
"Dia lagi meeting sama kepala divisi lain. Mau ada penambahan buyer kayaknya," terang Nira lalu mulai menjelaskan beberapa poin penting dalam unitnya.
Fina manggut-manggut begitu tahu unit PPIC ini dibagi dalam beberapa bagian lagi, mulai dari A hingga F. Pembagian ini berdasarkan buyer atau negara tujuan ekspornya. Bagian A menangani buyer dari Australia, B dari Amerika, C dari Jepang, dan seterusnya.
Rasa kagum sekaligus bangga membuncah di hati Fina. Ternyata produk buatan Indonesia pun banyak diakui kualitasnya oleh dunia. Namun, mengapa brand dari dalam negeri selalu kalah pamor dengan brand luar di mata internasional?
"Pak Doman itu emang gitu ya modelnya?" tanya Fina waktu istirahat makan siang.
"Shock therapy, ya?" Nira kembali terkikik. "Nggak usah diambil pusing. Entar malah stres sendiri. Pokoknya selesaiin tugas kita, beres, deh!"
Fina ikut tersenyum. Dirinya bisa menikmati saat santai sejenak. Menu makan siang kantornya memang tidak seenak masakan resto, tetapi berkeliling setengah hari cukup membuat perutnya berteriak-teriak minta diisi. Belum lagi pipinya yang kaku karena sejak pagi mesti menebar senyuman.
"Hari ini kita keliling ke semua divisi yang berkaitan. Besok kamu udah mulai masuk ke PPIC A, ya. Tenang aja, ntar ada mentornya di tiap bagian, kok," imbuh Nira.
"Makasih, Nir," kata Fina tulus. Dia berharap semua orang di kantor ini bersikap baik seperti Nira. Padahal fakta di lapangan belum terkuak sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sociophilia
ChickLit[Diterbitkan oleh Penerbit Cerita Kata] Ada part yang dihapus. Meraih gelar sarjana teknik seharusnya menjadi suatu kebanggaan bagi Dafina Lazuardi, S. T. Namun, ternyata bekerja di perusahaan yang penuh tekanan dan tuntutan dari berbagai pihak mem...