Mobil Adry pun meluncur ke rumah kontrakan Fina. Sepanjang perjalanan, gadis itu hanya bergeming sambil menyandarkan kepalanya di jok dan memejamkan mata.
Berkali-kali Adry meliriknya dengan raut wajah yang tetap tenang.
"Mau kuanterin ke dokter, Fin?"
"Nggak usah, Bang," gumam Fina yang tak mau merepotkan cowok di sampingnya itu.
Ketika sampai di depan gerbang, Adry memapah dan membantunya berjalan hingga masuk kontrakan. Fina tidak kuasa menolaknya karena nyeri kepalanya semakin hebat. Dia juga tak melawan ketika Adry membaringkannya dengan lembut di tempat tidur.
Tanpa sepatah kata, cowok itu keluar dari rumahnya.Ternyata beberapa saat kemudian, Adry kembali masuk ke rumah dan mendekati Fina yang masih memejamkan mata menahan sakit.
"Minum dulu obat demamnya," ucap Adry sambil membantunya duduk. Fina menurut saja saat Adry mengulurkan sebutir obat beserta segelas air, lalu membantunya berbaring lagi.
"Mau kusuapin? Aku beliin kamu bubur," kata Adry.
Fina menggeleng karena perutnya masih bergolak.
"Ya udah, kamu istirahat dulu. Kalau udah agak mendingan, buburnya dimakan, ya," pesan Adry sambil menyelimutinya.
Fina mengangguk lemah. Ketika Adry benar-benar sudah pulang, gadis itu berusaha untuk terlelap. Namun, yang terbayang hanyalah senyum memesona dari wajah tampan Adry.
"Aargggh ... Payah, nih!" keluh Fina mengusap-usap matanya dengan selimut dan berharap bayangan itu segera terusir pergi.
Apa yang kurang dari Adry? Cakep, mapan, matang, gentleman, body-nya juga ideal. Pembawaannya tenang, santai dalam menghadapi kondisi apapun, termasuk saat under pressure karena kerjaan misalnya.
Senyumnya menawan, matanya juga setajam elang. Siapa pun yang beradu pandang dengannya bersiap-siaplah untuk memasang penangkal paling kuat dari jerat tatapannya.
Kenapa sampai saat ini dia belum menikah? Hal itu bagaikan sebuah misteri yang belum terpecahkan.Beda banget sama si kucrut tengil yang sedang dalam perjalanan ke Jepang. Cuek abis, selengekan, sok kenal sok deket sama orang lain, dan yang jelas garing kriuk-kriuk.
Duh, kok malah jadi mikirin cowok belagu itu, sih? Apalagi banding-bandingin sama Adry. Nggak adil banget.Lagi-lagi Fina menutup wajahnya dengan selimut. Demamnya sudah agak turun, meskipun perutnya masih tidak karuan. Dia memaksakan diri untuk perlahan ke kamar mandi dan membersihkan diri serta memuntahkan isi perutnya. Setelah ganti baju yang lebih nyaman, dia mencoba menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya yang terasa pahit. Namun, justru mualnya makin parah, sehingga gadis itu pun kembali berbaring dan termangu menatap langit-langit.
Kal, waktu kecil kamu pernah bilang jika ingin mengunjungi tempat-tempat baru. Kamu bilang ingin ke Bandung menyusulku dan mas Rafa. Lalu kamu juga ingin pergi ke negeri yang jauh.
Bukankah kini satu-persatu keinginanmu mulai terwujud? Aku ikut bahagia untukmu, Kal.Tak terasa, Fina mulai tenggelam ke alam mimpinya. Entah kenapa, dia silih berganti memimpikan Akung, Uti, orang tuanya, mas Rafa, Kal, dan ... Adry.
Ketika Fina membuka mata, ada notifikasi WA di ponselnya.
Kal: Yeah, akhirnya bisa ngeksis di Bandara Narita.
Setelah itu, cowok itu mengirimkan beberapa fotonya dan kawan-kawannya yang narsis dengan berbagai pose di bandara internasional di kota Tokyo itu.
Kal: Gila, keren abis. Tapi ternyata di sini dingin juga. Untung udah punya jamu lawan angin.
Fina: Idih, pose-posenya norak! Malu-maluin orang Indonesia aja.
Kal: Gini ya, Mbak Bro. Ini namanya selebrasi. Orang udik macam aku bisa nyampe ke luar negeri.
Mau tidak mau Fina tersenyum melihat foto-foto yang dikirimkan Kal. Ada fotonya sujud di bandara, ada pula yang mencium tembok bandara, atau mengelus-elus properti bandara.
Aduh, Kal, bisa-bisa ditangkap aparat karena mengganggu ketertiban umum!
Fina: Jangan diunggah ke sosmed. NORAK!
Kal: Nggak. Cuma kukirim ke sobat terbaik.
Maksudnya aku? batin Fina. Hmm, sobat, ya?
Namun, kegembiraan Kal menular padanya dan sedikit memperbaiki suasana hatinya yang tidak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sociophilia
ChickLit[Diterbitkan oleh Penerbit Cerita Kata] Ada part yang dihapus. Meraih gelar sarjana teknik seharusnya menjadi suatu kebanggaan bagi Dafina Lazuardi, S. T. Namun, ternyata bekerja di perusahaan yang penuh tekanan dan tuntutan dari berbagai pihak mem...