Aku menjemputmu diujung tepi jalan. Diantara para penunggu, aku menatap satu persatu orang pergi lalu lalang. Ada yang pulang mengenakan kemeja berdasi dengan penuh lelah, ada pula yang mengenakan peci, berparfum wangi, hendak ke masjid.
Tetapi, aku masih menantimu dengan jubahmu. Aku berharap bisa berjalan bersamamu menuju rumah Illahi. Kutunggu dengan senang dan sabar.
Aih! Tak salah dugaanku kau pasti melalui jalur ini. Jalur favoritmu. Menurut hatiku, memang demikian pula.
Aku berjalan dibelakangnya, aku menghayal alangkah indahnya bila aku disampingnya menjadi suaminya.
Tapi entah mengapa, seperti ada yang mengecamku.
" Hei engkau!, Matamu sungguh berkhianat." Cela semut dipohon mangga
" Hei kau! Bisakah tak menginjakku, kau menjadi berat karena niatmu", hardik tanah.
Aku semakin terganggu dengan semua ciptaan ini. Bagaimana bisa ia berbicara.
" Hei, Sesungguhnya kami adalah saksi pada hari kiamat kelak.". tiba tiba angin itu berbisik.
Aku terdiam, kemudian aku lewati gadis itu. Aku rela meninggalkannya karena Allah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Wajah Murung
PoésieSebuah kumpulan puisi, sajak atau syair yang menggambarkan kita dan masa kini. Bukanlah cinta jika tak ada pahit dan manis. Dua perkara demikian adalah keharusan hidup. Ada sedih dan tawa. Kita adalah salah satu tokoh hidup itu, maka mesti kita keta...