"Jadi kau lebih memilih mengawali semuanya dengan pertanyaan tradisional dibanding langsung to the point?"
"Kau belum pernah melakukan ini sebelumnya, kan? Tidakkah kau perlu tahu kisah hidup tragisku yang mungkin menjelaskan mengapa aku melakukan kejahatan mengerikan seperti ini?" Tanya Hyunjin, sarkasme jelas terlontar dalam setiap kata yang ia ucapkan, yang membuatnya terdengar pahit.
Meskipun Felix meragukan apakah pemuda di depannya ini benar-benar bisa merasakan suatu kepahitan, ini semua adalah sebuah permainan baginya, permainan yang sangat menyenangkan.
"Kau sepertinya suka menjawab pertanyaan dengan pertanyaan," kata felix sambil berpura-pura mencatat sesuatu dalam notebook-nya. Hyunjin mengangkat satu alis dengan skeptis seolah-olah dia tahu bahwa si psikolog sedang berusaha memancingnya.
"Pengamatan yang bagus, Psikolog Lee. Tetapi ya, aku ingin memulai dengan pertanyaan tradisional tetapi aku akan lebih menyukainya jika kau berbicara kepadaku seperti aku adalah salah satu pasien reguler-mu. Membuat segalanya lebih mudah, kan?"
"Yah, kurasa ada benarnya. Pernah berpikir untuk menjadi pengacara, karena kau bisa memutarbalikkan sesuatu sesuai keinginanmu?" usul Felix, mencoba menggunakan teknik Hyunjin sendiri untuk menyerang si pasien.
"Aku memikirkannya, sebenarnya aku mempelajari hukum tetapi sepertinya hukum tidak terlalu menyukaiku, bukan begitu?" Hyunjin tertawa.
Dia entah bagaimana merasa terhibur atas situasi yang menimpanya, atas rantai yang menggantungi kakinya. Dia terhibur dengan Felix yang menganalisisnya, dia terhibur karena jaksa yang berusaha menjebloskannya kedalam jeruji besi. Hwang Hyunjin pasti sangat yakin ia akan lolos setelah semua kejahatan yang dilakukannya.
Tawa Hyunjin membuat emosi Felix mendidih, tetapi ia tetap berusaha mempertahankan topeng datarnya. Ia akan memastikan bocah ini mendapat hukuman yang pantas.
"Kalau begitu mari kita mulai dengan masa kecilmu. Ceritakan tentang hal itu, sedetail mungkin."
"Bacalah file-ku," adalah satu-satunya jawaban yang keluar dari bibir Hyunjin, senyum tak pernah memudar dari bibirnya.
Felix terkejut melihat tingkah laku pasien di depannya itu, dan sekarang satu-satunya yang ia inginkan adalah menonjok wajah tampan itu, tapi ia punya pekerjaan yang harus di lakukan. Juga, itu hanya akan membawanya kedalam pusaran masalah yang tidak ia butuhkan.
"Aku sudah bilang aku tidak membaca file pasien."
"Sayang sekali, karena aku tidak akan membuat pekerjaanmu menjadi lebih mudah, cantik," Hyunjin mengedipkan sebelah matanya pada Felix.
"Baiklah kalau begitu aku akan menulis dalam laporan psikologismu bahwa kau tidak kooperatif selama pemeriksaan, hal itu tidak akan terlihat baik di pengadilan," kata Felix. Ketidaksabaran tergambar jelas dalam suaranya, sesuatu yang tidak akan pernah ia tunjukkan di depan pasiennya.
Hyunjin tersenyum lebih lebar dari sebelumnya, "haruskah aku takut sekarang?"
"Jika kau ingin kebebasanmu kembali, maka ya, kau harus takut."
"Aku tidak khawatir tentang kebebasanku, psikolog Lee. Aku khawatir pada teman se-selku di dalam penjara. Apa kau sudah melihat fotonya? Bagaimana jika aku me reka-ulang foto-foto itu dalam penjara?"
"Jadi kau lebih memilih rumah sakit jiwa?"
"Tempat tidur yang nyaman, makanan yang enak, dan kesendirian karena aku berbahaya bagi orang lain terdengar lebih menyenangkan untukku," Hyunjin mengangkat bahu, seolah itu hal paling jelas di dunia.
Bagi Felix mengunci bocah ini dalam sel soliter selamanya terdengar lebih baik, tapi itu akan menjadi keputusan berdasarkan emosinya dan bukan berdasar pendapat profesional yang ia miliki. Felix belum bisa menilai apa yang terbaik untuk Hyunjin.
"Aku tidak percaya satu katapun yang kau ucapkan," jawab Felix sebagai gantinya, menutup notebook-nya karena sesi hari ini hampir berakhir, dan ia senang untuk itu.
Atmosfer di dalam ruangan ini terasa sangat tegang bagi Felix, dan Hwang Hyunjin bukan orang yang mudah untuk diajak berkomunikasi. Pasien ini benar-benar menguji kesabaran Felix.
"Sebaiknya memang tidak, psikolog Lee," kata Hyunjin, senyumnya berubah menjadi seringai, yang seketika memancing emosi Felix. Tempramennya meningkat tetapi karena reaksinya sendiri.
Hwang Hyunjin pasti telah memikat banyak orang dengan senyum itu, dan Felix merasakan hal yang sama selama beberapa detik. Ia sadar ia harus segera keluar dari ruangan ini sebelum sesi ini berakhir dengan lebih buruk. "Kusarankan kau lebih kooperatif di sesi berikutnya," kata Felix cepat.
"Dan aku menyarankanmu, cantik, untuk membaca fileku. Sangat menarik dan informatif," tukas Hyunjin.
"Kita akan melihatnya nanti Hwang-ssi."
"Mengapa kita tidak menghentikan omong kosong formal ini?" saran Hyunjin dengan nada bersahabat. Dia terdengar seperti seorang anak yang berusaha mencari teman baru. Hal seperti itu biasanya akan bekerja dengan mudah, tapi dia melupakan fakta bahwa Felix adalah psikolognya, bukan seorang kawan yang dia temui di sudut bar. "Hal itu tidak profesional."
"Panggil saja aku Hyunjin lain kali."
"Selamat siang, Hwang-ssi," Felix hendak berdiri dan meninggalkan ruangan ketika ia merasakan jemari dingin melingkari pergelangan tangannya. Itu bukan cengkeraman yang keras hanya sebuah sentuhan lembut, tetapi membuat Felix secara autopilot menghentikan semua gerakannya.
Para penjaga melangkah lebih dekat tetapi tidak melakukan apapun. Mereka menyaksikan adegan itu dengan hati-hati. Hyunjin mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia dengan mudah memasuki ruang pribadi Felix dengan sebuah senyuman di bibirnya.
Felix tidak bisa bergerak karena sepasang iris dingin itu menahannya di tempat. Kulitnya terasa panas dalam sentuhan Hyunjin. lehernya meremang ketika Hyunjin berbisik, "sampai bertemu kembali, Felix."
Mendengar si pasien mengalunkan namanya sendiri membuat Felix mencapai batasnya. Ia menyingkirkan tangan yang lebih muda dan melangkah keluar secepat mungkin sembari tetap memasang topeng tenangnya.
Diluar, Felix menyandarkan tubuhnya di dinding dan mengatur nafasnya. Kalimat terakhir Hyunjin terus terulang dalam kepalanya. Cara Hyunjin mengucapkan namanya membuat Felix gelisah. Begitu kasual dan halus dengan suara memikat. Bagaimana bisa anak itu tahu nama depannya?
Itu hanya sebuah fakta sederhana tentang dirinya, hanya namanya. Tetapi tidak seorang pun diantara pasien-pasiennya yang tahu nama depannya. Hwang Hyunjin mencoba menerobos masuk kedalam ruang privat Felix. Dengan kata-kata terakhirnya Hyunjin memenangkan babak pertama mereka.
TBC
Makasih buat Alinnoona yang ngasih tau buat ga pake istilah dokter, udah kuganti. Cuma buat yang masalah klien-pasien entah kenapa menurutku lebih enak pakai istilah pasien.
Okay, hope you enjoy dan aku sangat mengapresiasi kalo misal kalian ada kritik saran untuk tulisan ini. Makasih❤️

KAMU SEDANG MEMBACA
shady || hyunlix ✓
FanfictionLee Felix bersyukur dengan kehidupannya sebagai seorang psikolog. Hidupnya sederhana dan tenang hingga ia harus menghadapi Hyunjin, pasien barunya. Seorang psikopat yang menghabisi nyawa sebuah keluarga tanpa berpikir dua kali. Warning : ⚠️ Blood sc...