2. Hilangnya Harapan

5.9K 266 1
                                    

Aku membuka mata setelah mencium aroma obat-obatan yang menyengat. Ruangan ini hanya berwarna putih, dan ada selang infus menancap di pergelangan tangan. Apakah ini klinik?

Aku mencoba bangun, tapi perut ini rasanya dingin. Seperti ada batu es yang menempel. Astaga, mungkinkah aku?

Rasanya airmata ini menetes lagi. Bagaimana kalau benar aku keguguran? Membayangkannya saja sudah sesakit ini. Ya Allah, tunjukkan kuasa-Mu.

"Rin, kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Mas Rudi sambil berdiri di sampingku.

"Kenapa aku di tempat seperti ini, Mas?" Tanpa menjawab pertanyaan Mas Rudi, aku malah balik bertanya.

"Kamu di rumah sakit, semalam pendarahan, dan ...."

"Dan apa, Mas?"

Aku semakin takut saat melihat raut wajah Mas Rudi berubah sendu. Laki-laki yang selalu membuatku tersenyum itu, tampak kentara jika sedang bersedih atau ketakutan.

"Kamu keguguran, Rin," jawab Mas Rudi sambil berlinang air mata.

Ya Allah ... aku harus kehilangan bayi yang kunanti selama empat tahun, dan ini semua pasti gara-gara Mas Rudi.

Deg! Aku mengingat sesuatu. Bukannya setelah tahajud aku bertengkar dengan Mas Rudi? Mungkinkah keguguran ini ada hubungannya dengan pikiranku yang kalut?

"Ini semua gara-gara kamu, Mas! Pergi dari sini sekarang!!!" Aku memukul dada Mas Rudi sekencang-kencangnya. Rasanya jijik melihat laki-laki seperti dia.

Aku tidak peduli dengan selang infus yang mungkin saja bisa terlepas kalau terus meronta. Rasanya begitu sakit. Dua kejadian menyakitkan terjadi di satu waktu; dihianati suami dan kehilangan calon buah hati.

Cobaan besar datang ketika aku sedang bahagia, lalu kebahagiaan itu pun ikut terenggut paksa. Ya, semua ini karena wanita jalang itu!

"Aku minta maaf, Rin. Tolong berikan kesempatan sekali lagi," ucap Mas Rudi sambil memohon, dia menunduk di bawah kakiku.

Masih dikuasai emosi, aku menendang badannya kuat, hingga dia tersungkur ke lantai. Sudah tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Semua sudah hancur berkeping-keping.

Aku melihat ada seorang dokter dan dua perawat masuk. Satu dari mereka membantu Mas Rudi berdiri.

"Tolong jangan gaduh di sini!" kata dokter itu lugas.

Aku diam seketika, tapi air mata masih saja terjatuh melewati pipi. Ada darah yang mengucur dari pergelangan tangan, sepertinya selang infus yang tertancap ini lepas, sebab tertarik tanganku saat memukul dada Mas Rudi barusan.

Biarkan saja, sekalipun aku mati juga tidak apa-apa. Lagipula, buat apa hidup kalau disakiti dan dihianati terus? Lama-lama bosan juga.

"Saya akan diam, Dok, tapi tolong usir laki-laki itu!" Aku menunjuk Mas Rudi yang berdiri di belakang dokter.

Pria yang sebelumnya seperti malaikat pemberi semangat, penghapus luka, dan penghilang dahaga, kini berubah menjadi monster mengerikan yang siap menelan siapa saja.

Di ambang pintu tampak orang tuaku dan mertua. Entah apa yang akan mereka pikirkan nanti, saat melihat anak dan menantunya seperti anjing dan kucing. Biarlah Mas Rudi menjadi anjingnya, aku ikhlas, sungguh!

"Ya Allah, Rina, anakku," ucap Ibu lalu menghambur ke arahku.

Wanita yang kepalanya hampir dipenuhuni uban itu, tampak begitu terpukul melihat putrinya berada di rumah sakit, dengan selang infus menempel di pergelangan tangan.

Aku pun tidak tahu, apakah mereka sudah mendengar perihal berita keguguran ini atau belum. Kalau pun belum, biar dokter saja yang memberi tahu.

Mertuaku tampak berbeda, sangat malu lebih tepatnya. Sebelumnya, sikap mereka padaku sangat baik, seperti anak kandung saja. Mungkin sikap mereka ada hubungannya dengan tabiat dan perangai buruk Mas Rudi saat ini.

"Tolong mendekat, Pak, Bu, ada yang mau saya bicarakan," kata dokter yang bernama Hendra, tampak dari nametag yang tertempel di dada kirinya.

Seperti mendapat perintah dari kaisar, semua orang yang ada di ruangan ini mendekat, termasuk Mas Rudi. Sementara Bapak dan Ibu berada di sampingku, mengelus pundak dan menggenggam tangan ini.

"Saya turut berbela sungkawa sedalam-dalannya. Ibu Rina telah mengalami keguguran, karena faktor stress tinggi yang dia alami." Dokter Hendra merapikan stetoskop yang sedari tadi tergeletak di ranjang, setelah membenarkan posisi selang infus.

Ibu dan Ibu mertua yang tampak paling kaget mendengar berita memilukan ini. Aku sebagai calon ibu yang kehilangan calon buah hati pun merasa sedih. Belum sempat melihat seperti apa wajah dan tangisnya pun harus merelakan bayiku pergi untuk selama-lamanya.

"Rin, kenapa bisa stress, Nak?" tanya Ibu dengan raut wajah penuh perhatian.

"Tanya Mas Rudi saja, Bu," jawabku acuh, sambil menatap makhluk seperti Mas Rudi.

Bapak yang tampak emosi langsung menghadiahi Mas Rudi dengan satu pukulan keras di pipi kanan. Semua yang melihat histeris. Bapak mertua pun membela putranya, dengan menarik Bapak dan meremas kerah bajunya.

Dokter dan dua perawat yang melihat adegan berandalan berhadapan dengan satpol PP itu, tampak berusaha memisahkan.

"Tolong jangan bertengkar!" teriak dokter sambil melepaskan cengkeraman tangan Bapak mertua.

"Satpam, satpam!" Salah satu suster berlari ke ambang pintu sambil memanggil satpam.

Aku yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa diam, tak ada yang bisa dilakukan sekarang. Apa yang dilakukan Bapak sudah wajar sebagai orang tua, yang tak mau melihat putrinya menderita.

Satpam masuk dan langsung membawa Bapak, Bapak mertua sekaligus Mas Rudi. Ibu menangis lalu memelukku, sementara Ibu mertua hanya diam sambil sesekali sesenggukan menahan tangis.

***

Tiga hari setelah dirawat dan menjalani kuretase, aku diperbolehkan pulang. Bapak dan Ibu segera mengajak pulang ke kampung, tidak perlu serumah dengan Mas Rudi. Aku menurut saja, semoga ini menjadi awal yang lebih baik.

Mas Rudi dan keluarganya tak berani mendekat, mereka hanya melihatku dari depan meja administrasi.

"Ayo, Nak," ucap Ibu sambil menggandeng tanganku menuju mobil yang sebelumnya sudah disewa Bapak.

"Iya, Bu, tapi kalo Mas Rudi datang ke rumah, biarkan dia masuk. Rina mau melihat bagaimana dia menjelaskan." Aku menatap Ibu penuh harap, semoga dia mengabulkan permintaan ini.

"Iya, tapi dia tidak boleh menginap," kata Ibu sambil masuk mobil.

Aku memang berniat mengajukan pertanyaan mematikan yang akan menyudutkan Mas Rudi, sekaligus melaknat wanita jalang itu dengan sumpah serapah. Biarkan saja ucapan buruk terlontar dari bibir, semua ini sebagai ungkapan betapa sakitnya hatiku.

Ada perasaan lega yang kurasakan. Sebelum membongkar kebusukan Mas Rudi semalam, aku sudah menyimpan nomor ponsel Fitri, dan berencana untuk melabraknya suatu hari nanti.

Lihat saja! Aku akan membuat perhitungan dengan wanita itu, atas yang dia lakukan sampai membuatku keguguran seperti ini.

Perjalanan dari rumah sakit ke kampung sekitar empat jam. Selama itu pula pikiran tentang Fitri tetap berada di deretan paling atas. Sepertinya pembalasan akan lebih cepat datang.

"Rin, kita makan dulu, ya, Nak," kata Bapak sambil menatapku lewat kaca depan mobil.

"Iya, Pak, kita makan masakan Padang saja, Pak. Rina pingin makan sate Padang."

Bapak hanya mengangguk dan tersenyum. Sebagai anak tunggal, sudah pasti segala keinginanku akan dipenuhi. Apalagi aku hanya tiga bulan sekali berkunjung.

"Rin, kalau Rudi berani macam-macam lagi, Bapak akan buat paku dan beling keluar dari mulutnya. Hahaha." Bapak tertawa geli dengan ucapannya sendiri.

Ibu menatapku sambil nyengir.

"Bapak ini ada-ada saja," ucapku sambil mencebik. Bapak hanya tertawa, Pak supir yang sedari tadi mendengarkan ucapan Bapak juga ikut tertawa.

Alhamdulillah, di antara duka, masih ada bahagia yang datang menghampiriku. Terima kasih, Ya Allah, telah memberikan keluarga yang memberikan kasih sayang tanpa pamrih.

Bersambung.

SUMPAH SERAPAH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang