4. Sanggup atau Tidak?

5.4K 222 9
                                    


"Permintaanku gak aneh, Mas, yang aneh itu kamu! Laki kok mau aja dideketi calon jendes, sudah beranak pula! Masih gak bersyukur punya istri menurut kayak aku?!"

Mas Rudi tampak kelabakan mendengar kata-kataku barusan. Lelaki seperti dia memang pantasnya diperlakukan secara tegas, biar kapok.

Bapak dan Ibu menahan tawa, melihat Mas Rudi seperti kucing disiram air. Mereka pasti tidak mengira kalau aku bisa seberani itu, saat menghadapi suami. Biasanya aku hanya menurut, tidak banyak permintaan dan selalu menghormati laki-laki yang sekarang berumur dua puluh delapan tahun itu.

"Kalau boleh jujur, aku tidak sanggup dengan persyaratanmu, Rin. Sebab aku bukan Bandung Bondowoso, kamu pun bukan Roro Jonggrang. Kita manusia biasa, yang tidak boleh punya keinginan berlebihan." Tangan Mas Rudi hampir meraih tanganku, tapi percuma. Diri ini sudah tidak sudi disentuh laki-laki seperti dia.

Rasanya tambah sebal mendengar kata-katanya yang sok bijaksana itu. Padahal bicara lebih mudah dari pada praktiknya.

"Gak usah sok bijaksana! Perangaimu saja seperti itu, pakai menasehati aku segala," kataku cuek.

Seandainya Mas Rudi tidak menanggapi Nenek Sihir itu, pasti rumah tangga kami tidak berantakan seperti ini. Kenapa laki-laki selalu tergoda dengan wanita yang terlihat lebih indah dari kekasih halalnya, ya? Sudah mirip kucing yang diberi pindang, tapi mencium ikan asin, eh malah ambil ikan asin. Tidak bersyukur sama sekali.

Ah ... Nenek Sihir itu juga salah, jadi wanita kok mirip makhluk astral, suka gerayangin manusia. Sampai-sampai, suami orang pun mau diembat. Huh! Enaknya diapain, ya, Nenek Sihir itu?

Dikasih kodok sama kecoak, paku dan beling keluar dari mulut seperti saran Bapak, atau kasih sianida di kopinya? Ya ampun, pikiranku buruk sekali.

"Laki-laki itu jangan bijaksana di mulut saja, tapi perangai juga dijaga. Biar rumah tangga tidak berantakan. Kalau sudah tua, siapa yang akan kamu andalkan kelak? Sedangkan Bapak dan Ibumu pasti akan meninggal, saudara sibuk dengan kehidupan sendiri, anak-anak belum tentu mau bersusah payah untuk orang tuanya. Kalau bukan istri, siapa lagi yang akan merawat, menjaga, dan melayanimu?" Bapak terlihat jantan sekali saat menasehati Mas Rudi, berbeda saat bertingkah konyol.

Mas Rudi kini menunduk, seakan menyesali perbuatannya. Sebenarnya aku kasihan melihat dia bersikap seperti itu, tapi setiap perbuatan pasti akan ada risikonya, dan bisa jadi penyesalan adalah hukuman terberat dari kesalahan.

"Dengerin Bapakmu itu, laki-laki jangan mau diperbudak hawa nafsu, biar urusan dunia dan akhirat bisa lancar. Kalo di dunia saja kamu mudah tergoda, gimana di akhirat mau berjumpa dengan bidadari surga? Mimpi!" timpal Ibu, seraya berlalu meninggalkan Mas Rudi yang terdiam seperti patung. Patung hidup maksudnya.

"Hiks hiks ...." Derai air mata berhasil luruh dari pelupuk laki-laki itu. Kalau saja aku tidak sedang marah, pasti sudah memeluk dan langsung menenangkannya.

"Jadi laki-laki juga jangan cengeng. Masa dikit-dikit nangis, ngambek. Udah kayak emak-emak lagi menstruasi aja." Bapak mencebik, melihat sikap Mas Rudi yang masih labil seperti ababil itu.

"M-maaf, Pak, tidak seharusnya Rudi seperti itu. Rudi menyesali semua yang sudah terjadi selama ini."

Mas Rudi kembali memohon di bawah kaki Bapak. Aku jadi tidak tega melihat suamiku sampai harus bersujud seperti itu. Apa kumaafkan saja dia?

Ah ... enak saja! Sebelum membuat Nenek Sihir itu kapok, aku tidak akan sekalipun mau menerima Mas Rudi. Biarkan lelaki itu benar-benar menyesali perbuatannya.

"Sekarang kamu pulang saja, biar Rina di kampung sampai benar-benar sehat dan tenang. Lagipula kalo Rina ikut ke kota dalam keadaan marah, bisa-bisa kamu dihanyutkan di kali Brantas. Jadi kayak kuning-kuning mengambang itu. Hahaha." Bapak kembali tertawa setelah bicara serius.

SUMPAH SERAPAH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang