"Mana ada yang mau sama janda kayak aku sih, Kin."
"Janda juga manusia, Rin. Percayalah dengan takdir Allah. Kalau sudah jodoh, gak akan ke mana."
Acara curhatku dengan Kinan tentang Dokter Hendra di telepon berakhir seiring nasehat yang gadis itu berikan. Selain menceritakan segala isi hati dan pikiran pada Allah, aku pun memercayai Kinan sebagai 'tempat sampah' untuk membuang segala beban pikiran yang sudah menumpuk sejak perselingkuhan Mas Rudi dengan nenek sihir yang kemarin fotonya sempat kuunggah di kolom komentar #SR 8.
Jam digital di ponsel, baru menunjukkan pukul delapan malam. Lebih baik aku segera keluar mencari makan atau tidak makan sampai besuk pagi, sebab banyak warung sudah tutup.
Naik motor dua menit saja aku sudah menemukan warung lalapan dengan spanduk khas gambar lele, ayam jantan, telur dan tahu.
"Mbak, nasi bebek satu, ya, dibungkus."
"Ahhhsiyaaap!" ucap Mbak Lalapan lugas. Aku belum tahu namanya, jadi panggil saja dia Mbak Lalapan.
Sambil menunggu pesanan, aku membuka gawai yang sejak tadi ada di saku jaket. Ada rasa rindu pada kampung halaman ketika melihat foto Ibu dan Bapak menghiasi layar ponsel enam inchi ini.
Besuk pagi saja telepon Ibu, sekalian minta doa supaya lancar dan diterima kerja di Bank Perkreditan Rakyat. Bagaimanapun juga doa orang tua penting sekali untuk kehidupan ini. Ibarat kata mereka adalah air, sementara aku adalah tumbuhan, yang sudah pasti sangat membutuhkannya.
"Mbak, nasi ayam satu, ya, dibungkus," ucap seorang laki-laki yang langsung duduk di kursi plastik sebelahku.
"Loh, Rina? Kamu tinggal di sini juga?" tanya laki-laki yang ternyata Dokter Hendra.
"Eh, iya, Dok," jawabku sambil nyengir kuda.
Ya Allah, godaan apa lagi ini? Kemarin tidak sengaja bertemu di pasar minggu, dan barusan namanya kusebut dalam panggilan suara bersama Kinan. Sekarang malah ketemu di sini.
Tunggu-tunggu! Dada ini rasanya dag-dig-dug saat wajah tampan dengan sedikit berewok itu melihatku. Jangan sampai salah tingkah. Ingat pesan Bapak, "Jadi perempuan harus jual mahal, Rin!"
"Tinggal di gang mana? Kalau dekat bisa berkunjung, kan?"
"Gang Gelam, Dok, kontrakan belakangnya warung kopi Rukyat."
Ada doa kecil yang kuucapkan dalam hati perihal status Dokter Hendra. Semoga dia masih ... lajang.
"Dekat rumah saya kalau gitu. Rumah saya belakang musala An-Nur. Kamu panggil saya Hendra saja, biar lebih akrab."
Nah! Malah tetanggaan jadinya. Dokter Hendra pasti sering berkunjung kalau dekat begini. Ah, tapi tak apa kalau dia masih lajang.
"Saya tidak biasa panggil nama langsung kalau baru kenal seperti ini, Dok."
"Oh, ya sudah. Panggil saya mas saja."
"Nggih, Mas."
Mas Hendra adalah laki-laki kedua yang kupanggil 'Mas' selama di kota. Tentu saja yang pertama Mas Rudi, laki-laki dari Pluto yang lebih mirip bajingan itu.
"Ini, Mbak," kata Mbak Lalapan sambil memberikan satu kantong nasi lalapan pesananku.
"Ini, Mas. Totalnya empat puluh lima ribu." Mbak Lalapan juga memberikan pesanan Mas Hendra.
Loh? Kok ditotal jadi satu, sih? Bisa-bisa dibayarin sama Mas Hendra, aku jadi keenakan.
"Bayar sendiri-sendiri, Mbak," sanggahku kemudian, sambil menyodorkan satu lembar uang pecahan lima puluh ribu.