Ba'dha Ashar aku dan keluarga baru saja sampai di rumah. Kampung halaman ini begitu nyaman, tapi ada kenangan yang tak bisa hilang begitu saja; malam pertama dengan Mas Rudi.
Aku duduk di ranjang tempat bergelut ketika hasrat datang. Perut rasanya masih dingin setelah kuretase. Apa memang seperti ini rasanya keguguran?
Aku jadi mengingat Fitri, penyebab kesakitan dan penderitaanku selama ini. Ah, rasanya ingin segera balas dendam, dan memasukkan paku juga beling ke perutnya.
Sepertinya lucu juga, kalau perempuan itu menderita pelan-pelan. Lebih baik aku segera menyusun rencana, biar bisa cepat-cepat bertindak.
Klik!
Suara ponsel berbunyi. Ah, paling juga pesan dari Mas Rudi.
"Hari sabtu aku nyusul kamu, ya, Rin? Aku mau minta maaf sama Bapak dan Ibu," tulis Mas Rudi lewat pesan singkat.
Tidak perlu dibalas ajalah, biarkan dia rasakan akibatnya mengkhianati istri sampai seperti ini. Pelajaran berharga juga untuk para suami di luar sana. Jangan sekali-kali khianati istri, atau sumpah serapah akan keluar dari mulut yang selama ini mencintai dan menghormatimu.
Jaringan internet di kampung pun sangat sulit, aku harus naik ke lantai dua kalau mau membuka sosial media. Susah sekali hidup di zaman serba modern, tapi ada keterbatasan akses internet.
Padahal aku mau mencari tahu seluk-beluk wanita unfaedah macam si Fitri. Bagus banget namanya, tidak pantas kalau punya perangai seperti itu. Bagaimana kalau dipanggil Mak Lampir? Nenek Sihir? Voldemort?
Atau panggil saja dia "The Red Queen" yang merupakan karakter antagonis di dunia Wonderland. Dia adalah ratu temperamen, dan selalu memberikan hukuman mati untuk yang melanggar peraturannya. Kalimat terkenal dan selalu dia ucapkan adalah, “Off with their heads!” Helena Bonham Carter memerankan tokoh ini. Namun, terlalu bagus juga untuk nama panggilan mantan jahanam seperti dia.
Huh! Aku sebal sendiri rasanya. Baiklah, panggil saja dia Nenek Sihir, lebih pantas, sebab sudah menambahkan mantra di setiap pesan sosial medianya yang dikirim ke Mas Rudi.
***
"Rin, kalau Rudi jadi ke sini, Bapak saja yang temui. Kamu pura-pura marah saja," ucap Bapak sambil menyesap kopi hitam di cangkir kesukaannya.
"Rina memang marah, Pak, tidak perlu pura-pura lagi."
Bapak ini ada-ada saja, anaknya benar-benar marah, malah disuruh pura-pura.
"Oh iya, ya. Bapak lupa, Rin, maklum sudah tua," kata Bapak seraya terkekeh. Perut gendutnya sampai bergerak naik turun.
"Bapak baru nyadar sekarang, to?" timpal Ibu yang baru keluar dari dapur.
Aku terkekeh mendengar dua manusia absurd yang sudah berumur itu. Sepertinya dunia akan berubah menjadi tempat paling menyenangkan, kalau semua orang bisa saling menghadirkan tawa di setiap kebersamaan.
Sekarang sudah hari sabtu, berarti sebentar lagi Mas Rudi tiba. Aku harus bersiap mengeluarkan jurus pamungkas yang mematikan untuk membuat laki-laki itu kapok. Salah sendiri main-main sama Rina. Hahaha.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, baru saja dibatin sudah datang saja. Mas Rudi tiba-tiba sudah berdiri di teras rumah, dengan membawa kantong kresek besar. Aku belum mengetahui apa isinya, tapi sepertinya oleh-oleh dari kota.
Mau menyogok ternyata dia. Jangan harap aku akan luluh dengan cara seperti itu, yang ada malah risih. Seperti remaja yang ketahuan selingkuh saja!
"Assalamualaykum, Pak, Bu," ucap Mas Rudi di ambang pintu.
"Waalaykumsalam." Bapak menjawab sambil fokus membaca surat kabar, sementara Ibu memilih pergi ke dapur.
Jangan tanya sikapku seperti apa, lebih cuek dari Uchiha Sasuke di anime Jepang Naruto. Orang seperti dia memang pantas diperlakukan seperti ini, biar greget.
Mas Rudi segera masuk dan duduk di hadapan Bapak, dengan kepala menunduk. Seperti ajudan yang kena marah atasannya.
"Pak, Rudi ke sini mau minta maaf sama Bapak sekeluarga, terutama Rina yang sudah Rudi sakiti." Mas Rudi menarik napas dalam-dalam, "Rudi benar-benar menyesal, Pak," lanjutnya kemudian.
"Heleh, maaf-maaf, palingan juga diulang lagi!" kata Bapak ketus.
"Rudi benar-benar menyesal, Pak."
"Aku bikin beling sama paku keluar dari perutmu dulu, baru tak maafin. Piye?"
"Ampun, Pak, ampuuunnn ... hiks hiks." Mas Rudi bersujud di kaki Bapak sambil menangis.
Aku yang melihat adegan ini hanya tertawa. Mereka berdua mirip pemeran di drama teater yang pernah kutonton bersama Bapak dulu.
"Hahahaha!" Bapak tertawa jahat.
Ibu pun tertawa dari dapur, terdengar dari suaranya yang lebih mirip cericit tikus. Tingkah konyol Bapak dan Mas Rudi mungkin bisa dijadikan inspirasi sinetron azab yang biasa tayang di televisi itu. Judulnya Azab Beling dan Paku Keluar dari Mulut Mantu Akibat Masih Berhubungan dengan Mantan.
Kalau boleh, aku mau tertawa jahat saja. Namun, Bapak sudah menyuruhku untuk diam dan jual mahal. Biar Mas Rudi kapok, begitu kira-kira.
"Sudah to, Pak, Pak. Kasian mantumu itu, sudah kayak maling pakaian dalam yang digrebek warga," timpal Ibu dari dapur, sambil membawa nampan berisi teh dan pisang goreng.
"Kamu itu terlalu lembek, Bu. Kayak jenang merah-putih," ucap Bapak. Bibirnya mencebik, mirip anak kecil menolak makan sayur.
"Kalo ibu keras dan cerewet, Bapak pasti mati muda. Mirip ceramahnya Ustaz Anwar Zahid yang diputar di radio itu."
Aku jadi bingung, sebenarnya mereka mau kasih pelajaran sama Mas Rudi atau melawak? Kok lebih mirip Cak Precil sama sinden bule lagi ndalang.
"Sekarang maumu apa?!" tanyaku lugas, tanpa menoleh ke arah Mas Rudi.
"Kamu pulang, ya, Rin. Kita mulai semuanya dari awal, aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Mas Rudi mendekat, kini dia bersimpuh di bawah kakiku.
"Aku mau pulang, tapi siapkan dulu seribu candi seperti yang dilakukan Bandung Bondowoso waktu mau memperistri Roro Jonggrang. Gimana?"
"Kamu jangan minta yang aneh-aneh seperti itu, Rin. Aku mana sanggup." Mas Rudi mendongak, wajahnya merah seperti kepiting rebus. Mungkin dia malu, karena harga dirinya sedang dipertaruhkan di sini.
Wajah memelasnya yang unfaedah itu tidak akan membuatku goyah. Biarkan dia berusaha sampai bumi dinyatakan datar oleh PBB, baru aku mau ikut pulang ke kota.
Bapak mengedipkan matanya, mungkin memberi kode supaya aku tidak mengikuti Mas Rudi pulang ke kota. Lagian siapa juga yang mau ikut Mas Rudi? Lebih baik di kampung dulu, lalu menyusun strategi untuk membalas dendamku pada Nenek Sihir itu. Ide bagus, kan?
Bersambung