"Kamu ini sudah menikah, kenapa masih berhubungan sama mantan?!" Emosiku tidak bisa dikendalikan lagi. Rasanya sakit saat kutemukan curhatan di dalam pesan masuk akun sosial media Mas Rudi.
"Tidak, Rin, kami sudah tidak ada hubungan apa-apa. Dia hanya berpesan, kalau minta maaf ke kamu, atas semua kesalahannya." Lelaki yang menikahiku empat tahun lalu tampak kelabakan, setelah 'tercyduk' melakukan kesalahan.
"Kamu jangan mengelak, Mas. Ini buktinya apa?!" Aku memperlihatkan pesan masuk yang ada di ponsel Mas Rudi.
Matanya membelalak, sepertinya dia lupa menghapus pesan-pesan dari Fitri. Wanita yang pernah ia perjuangkan, tapi malah menikah dengan laki-laki lain. Sekejap kemudian dia terduduk di kursi, dengan kepala menunduk. Aku melihat air mukanya berubah, tampak lebih ketakutan.
Bagaimana tidak takut? Ia 'tercyduk' berhubungan dengan mantan saat istrinya tengah hamil muda. Kalau sampai aku banyak pikiran dan berpengaruh di kandungan, gimana? Kata dokter, trimester pertama kehamilan itu rawan keguguran.
Aku berjalan ke kamar, airmata terus terjatuh dari pelupuk. Rasanya begitu sakit, melihat penghianatan dari laki-kali yang sebentar lagi menjadi ayah itu. Setidaknya di ruangan tiga kali lima ini aku bisa melepaskan beban lewat airmata.
Aku melihat jam dinding, dan sekarang sudah pukul sembilan. Mungkin tetangga kiri kanan sudah tidur, dan tak akan mendengar pertengkaran ini. Misalkan mereka dengar pun tak masalah, sebodo amat.
Aku mengambil album foto di dalam laci. Lembaran kenangan mulai dari berpacaran hingga kini yang kusimpan rapih ini menjadi penguat saat ada masalah. Bahwa sebuah hubungan harus diperjuangkan, sekalipun ada badai yang menghantam. Namun, bagaimana jika badai itu berbentuk wanita dari masa lalu yang merangsek masuk menerobos sekat bernama pernikahan? Entahlah, aku kuat menerimanya atau tidak.
"Rin ... tolong maafkan aku," ucap Mas Rudi di ambang pintu. Tampak airmata membekas di pipinya yang tembam.
Laki-laki bertubuh tinggi itu kini lebih berisi setelah kami tinggal di kontrakan. Sebelumnya, rumah orang tuaku menjadi tempat berlindung saat panas dan hujan datang. Sebab penghasilannya dulu belum terlalu mencukupi untuk mengontrak.
Mungkin dulu dia tertekan, sampai badannya kurus seperti orang tak pernah makan. Alhamdulillah, sekarang sudah lumayan berisi.
"Kalau kamu ga ngerasa salah, ngapain minta maaf? Atau kamu bikin salah, terus takut?" Aku terus mencecar berbagai pertanyaan untuk menggali lebih banyak informasi.
"Fitri cuma minta maaf, ga lebih," jawab Mas Rudi memelas. Lelaki yang tampak di hadapanku kini benar-benar berbeda dengan biasanya.
"Terus kenapa kamu bisa tahu kalau dia cerai?!"
Tak kehabisan akal, aku masih menyimpan seribu pertanyaan yang akan membuat Mas Rudi berkata sejujurnya. Untuk apa juga menutupi kebohongan, kalau suatu saat akan terbongkar juga? Busuk ya busuk, tidak perlu diberi pewangi.
"I-itu ...."
"Bingung, kan?"
Sudah kuduga, kalau ada sesuatu yang dia sembunyikan. Tampak dari gelagat dan raut wajah yang ketakutan. Harusnya dari dulu aku menyadari kebohongan itu, dan mengambil keputusan segera. Kalau sudah seperti ini sepertinya sulit. Apalagi aku sedang mengandung.
"Sudahlah, Mas, aku sudah tahu semua."
Tak mau capek-capek bicara, lebih baik aku mengalah dan diam. Biar laki-laki itu belajar sendiri, bagaimana sakit hatinya aku saat mengetahui kebohongan yang ia tutupi.
Aku meletakkan album foto ke nakas sebelah ranjang, lalu merebahkan diri. Berharap segera terlelap ke alam mimpi bertemu kupu-kupu biru yang siap membawaku pergi ke tempat sejauh mungkin.
"Rin ... Rina, maafkan aku, ya." Mas Rudi menggoyang-goyangkan tubuhku, sepertinya wajah lelaki itu memelas sekarang. Rasakan saja, ini pelajaran berharga yang harus ia dapatkan.
***
Alarmku berbunyi tepat pukul setengah dua pagi, menandakan waktu yang tepat untuk bermunajat di sepertiga malam. Kulihat Mas Rudi tidur meringkuk di sofa, tanpa bantal dan selimut. Masa bodoh dengan lelaki itu, mau tidur di mana saja bukan urusanku.
Selesai tahajud aku membuka mushaf, membaca beberapa ayat supaya tenang. Alhamdulillah, emosi yang sejak tadi malam berangsur mereda. Ikhlas menjadi obat ampuh menghilangkan prasangka, meskipun masih ada sakit di hati.
Aku melihat sesuatu yang menyala di bawah sofa, sepertinya ponsel Mas Rudi terjatuh. Aku meraih ponsel dan mulai mengusap benda tipis enam inchi berwarna hitam metalik itu.
Betapa terkejutnya aku saat mendapati ada beberapa pesan masuk di akun sosial media Mas Rudi. Fitri, nama yang menjadi pemantik amarah di antara kami.
"Mas, besuk bisa ketemu, kan? Aku mau minta solusi tentang perceraianku," tulis Fitri sebagai pesan pembuka.
Pesan kedua dan seterusnya membuatku naik pitam. Sekeji itukah wanita yang tampak lemah lembut dalam foto yang biasa ia unggah?
"Mas! Bangun kamu!" teriakku di dekat telinga Mas Rudi.
Sontak teriakkanku mengagetkan Mas Rudi yang mungkin tengah terbuai mimpi.
"Kenapa lagi, Rin? Masih mau marah?" tanya Mas Rudi dengan ekspresi tanpa dosa. Mirip seperti karakter senyum di papan tombol qwerty di ponsel pintar.
"Baca ini! Apa maksudnya?!"
Mas Rudi kembali gelagapan. Laki-laki berkulit sawo matang itu tampak takut, terlihat dari sorot mata yang kebingungan. Aku semakin yakin, banyak hal yang sudah mereka bicarakan lewat pesan sosial media selama aku pulang kampung.
"I-itu ... dia pasti salah kirim, Rin," sanggah Mas Rudi sambil menggaruk-garuk kepala.
Aku benar-benar tidak percaya dia berani sejauh ini dengan mantan pacarnya. Mungkin saat melakukan perbuatan keji ini, dia tidak mengingatku dan calon anaknya. Ya Allah, setega itukah kamu, Mas?
"Jangan bohong kamu, Mas!!! Masih kurang bukti apa, sampai kamu tetap mengelak seperti itu?"
Aku mulai menangis, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah juga. Biarlah bening ini menjadi saksi kekejaman suami serta wanita jalang itu.
"Maafkan aku, Rin. Aku khilaf, Sayang ...."
Mas Rudi bersujud di kaki. Mungkin dia akan berpikir kalau aku akan memaafkannya. Tidak akan! Laki-laki seperti dia akan melunjak kalau diperlakukan secara lembut.
Tanpa babibu, aku pergi menuju lemari dan mengemasi pakaian. Pagi ini kuputuskan untuk pulang ke rumah Bapak di kampung.
"Aw ... aduh, perutku." Rasanya perutku sakit sekali, seperti diremas-remas.
"Rina! Kenapa kamu, Rin?" Mas Rudi tampak berlari ke arahku.
"S-sakit, Mas," ucapku sambil memegang perut yang semakin lama semakin sakit.
"Ya Allah, Rin, kamu pendarahan."
Apa? Pendarahan? Bagaimana bisa pendarahan, sementara aku tidak jatuh atau kecapekan?
Perutku sakit sekali, pandangan semakin kabur, dan sepertinya semua menjadi menjadi gelap.
Bersambung.