Namanya Mahesa!

174 43 2
                                    

Lima belas kali panggilan tak terjawab dari nomor yang sama selama tiga puluh menit. Hal ini tentu saja membuatku bingung, siapa dan sepenting apakah orang ini sehingga terus meneleponku tanpa jeda? Terlebih lagi ia sama sekali tidak mengirim pesan setelahnya, dan aku tidak tau ini nomor siapa.

Sudah menjadi kebiasaanku sejak dulu, yaitu selalu menyetel ponsel dalam mode hening, ditambah aku sangat jarang menyentuh ponsel, sehingga aku selalu tidak pernah tepat waktu dalam membalas pesan atau mengangkat telepon. Bahkan tak jarang ibuku selalu marah-marah saat aku tidak mengangkat teleponnya.

Aku langsung mengirim pesan kepada nomor yang sudah meneleponku sebanyak lima belas kali tersebut, namun ia tak kunjung membalas. Jam terus berputar hingga pukul tiga pagi dan orang tersebut akhirnya membalas pesanku, ternyata Catra. Laki-laki aneh yang belakangan kembali mengusik hidupku.

Kali ini ia memintaku untuk menemaninya mengganti senar gitar miliknya dengan alasan itu adalah bagian dari kerja seorang LO. Dia pikir aku tidak tau apa kerja LO apa aja? Walaupun aku jarang ikut kepanitiaan, tapi aku paham betul apa saja tugas LO setelah dijelaskan Keenan. Namun pada akhirnya aku tetap menemaninya karena bagaimanapun juga aku tidak ingin merasa canggung dengannya saat di MedFest, karena aku tau dia adalah bagian penting dari MedFest.

**

Langit mulai mendung saat aku melihat jendela hendak keluar dari kelas. Begitu aku keluar dari kelas, aku melihat Catra berdiri sembari memainkan ponselnya. Ia terlihat mencolok dibandingkan orang-orang disekitarnya yang berpakaian rapi dengan kemeja. Catra terlihat sangat nyaman dengan sweater dan celana ripped jeansnya.

Tangannya melambai ke arahku saat ia melihat aku berdiri di depan kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tangannya melambai ke arahku saat ia melihat aku berdiri di depan kelas. Dari mana ia tahu kelasku disini? Dari sekian banyak lantai, bagaimana ia tau jika aku berada di lantai tiga? Ia berjalan ke arahku dan memasukkan ponselnya di saku belakang celananya. Hal ini tentu saja menarik perhatian beberapa orang disekitarnya. Aku benci menjadi pusat perhatian, terutama karena Catra.

"Lama juga kelas lo," ucapnya begitu tiba dihadapanku.

"Kamu ngapain disini?" aku memilih untuk mulai berjalan dengan cepat, ingin segera keluar dari sini, namun ternyata langkah santai lebarnya mampu menyamai langkah cepatku. "Katanya kamu mau nunggu di parkiran? Kok masuk gedung?"

"Bosen di parkiran. Gak ada tontonan, mending masuk gedung. Banyak yang bisa dilihat. Kali aja gue dapet jodoh dokter," ia berujar santai sembari tertawa.

"Tapi dilihatin banyak orang, aku males,"

"Ngapain mikirin orang, lagian cuma dilihatin, gak di palak," aku cuma mendengus kesal mendengar ucapan santainya. "Sini gue bawain, buku lo berat banget kayaknya, mirip batako!" ia merebut buku yang berada di pelukanku, membawanya seakan itu adalah kapas yang sangat ringan.

"Eh, aku bi—"

"Udah gausah bawel," potongnya cepat. "Lagian bawa buku berat-berat banget sih? Lagi, tas lo kayak mau minggat tau gak?" dia melirik ke arah tas ransel hitam yang penuh dengan buku.

"Ya kan bawaan aku banyak, semua buku aku butuh," dia mengangguk-angguk, entah karena paham atau karena ingin segera menyudahi percakapan.

"Hati-hati turunnya, lo pake rok," ia mengingatkanku yang hanya aku balas dengan anggukan. Aku kira hanya perasaanku saja, namun ternyata memang benar jika sepanjang perjalanan dari lantai tiga hingga tiba di parkiran, seluruh mahasiswi memperhatikanku terutama kakak tingkat. Aku benar-benar tidak mau jika setelah ini namaku menjadi pembicaraan disana-sini. Terlebih lagi setelah aku mengetahui betapa terkenalnya Catra di kampus ini.

"Buku sama tas lo gue taruh dibelakang aja ya?" tanyanya saat kami tiba di parkiran, tanpa menunggu persetujuan dariku, ia memintaku melepaskan tas punggungku setelah ia membuka pintu belakang mobilnya.

"Itu gitar kamu?" tanyaku saat aku melihat sekilas sebuah gitar di jok penumpang.

"Iya, namanya Matilda," ia berujar senang sembari menutup pintu mobil dan membukakan pintu untukku. Setelahnya, ia berjalan menuju kursi penumpang dan mulai menjalankan mobil. "Matilda gitar pertama gue hasil dari nyanyi di cafe-cafe. Cuma gitar akustik sih, tapi gue sayang banget!" dia mulai bercerita tanpa diminta.

"Kamu ada gitar lain selain Matilda?"

"Ada, gitar listrik, belum ada namanya, hahaha. Mau sumbang nama?"

 Mau sumbang nama?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Boleh?"

"Boleh dong!"

Aku berpikir nama apa yang kira-kira cocok untuk gitar Catra. "Warnanya apa?"

"Ada yang hitam, ada yang kuning, gue punya beberapa sih, hasil patungan sama Bagas juga ada,"

"Mahesa!" seruku. "Mahesa dalam bahasa sansekerta artinya aturan yang kuat, entah cocok aja buat gitar kamu yang warna hitam," Catra mengangguk.

"Mahesa," gumamnya pelan. "Oke, Mahesa!" dia tersenyum puas dengan pilihan nama yang aku sarankan.

Tak lama berselang, kami tiba di sebuah toko yang khusus untuk mereparasi gitar. Disana terdapat puluhan gitar yang dipajang, dan beberapa gitar yang sedang dalam tahap pembuatan. Semuanya terlihat cantik! Namun sayang aku tidak bisa bermain musik sama sekali, aku buta not dan buta nada. Aku hanya suka menikmati musik.

Sementara Catra bercakap dengan siempunya toko, aku berkeliling dan pandanganku tertuju kepada sebuah gitar akustik dengan pola bunga-bunga diatasnya. Pola bunga yang ada di lukis secara manual, hal itu semakin menjadikan gitar ini terlihat lebih cantik dan limited.

"Lo suka?" tanya Catra yang entah sejak kapan sudah berdiri dibelakangku.

"Iya, lucu, tapi sayang aku gabisa main musik hehe,"

"Mau gue ajarin?" Catra menawarkan diri.

"Hah? Gausah, aku gak ada waktu juga buat latihan, lagian kamu kan pasti sibuk juga,"

"Gue luangin waktu kok kalo lo beneran mau latihan, nanti gue pinjemin gitar dulu,"

"Gausah, beneran,"

"Yaudah kalo lo gak mau, padahal kalo les gitar bisa habis jutaan sih. Tapi yaudah, kalo berubah pikiran ngomong gue aja," aku melihat ke arah Catra dan mengangguk.

Kakinya kemudian melangkah menuju gitarnya yang telah selesai diganti senar. Ia mencoba beberapa kunci sembari menyetel agar nada yang dikeluarkan pas. Setelah merasa puas dengan hasilnya, ia membayar dan kami meninggalkan toko tersebut, namun entah mengapa pandanganku tak bisa lepas dari gitar bunga-bunga tersebut.

"Lo beneran gak mau gue ajarin gitar?" Catra kembali bertanya setelah ia selesai menaruh Matilda di jok belakang mobil. "Lo takut gue apa-apain pas latihan?"

"Eh? Enggak, bukan gitu,"

"Gini deh, kalo lo khawatir, kita bisa latihan di ruang seni, disana nanti gue undang Bagas,"

"Hah? Eh, yaudah nanti aku pikir-pikir dulu ya,"

"Okay,"

Kakinya mulai menginjak pedal gas dan meninggalkan toko tersebut. Sementara itu, aku masih bimbang antara harus menerima tawaran Catra atau tidak. 

RahajengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang