Rahajeng tidak pernah menyangka jika ada manusia sekeras kepala dan seambisius Catra, laki-laki yang mengatakan ingin menjadi pacarnya disaat ia hanya tahu siapa namanya.
Catra Maharga dengan segala ambisi dan kelakuannya mencoba menarik perhatian...
Aku melihat dia lagi disana setelah lama tak berjumpa. Dia masih sama dengan gaya bebasnya. Mata kami bertemu, namun tak lama sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan tempatnya berdiri. Aku tak tau sudah berapa lama ia berdiri disana. Apakah ia kembali hanya untuk mencariku? Jangan gila, dia tak seluang itu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ajeng!" panggil Keenan dari kejauhan. Keenan ini saudara jauh aku yang sama masuk kedokteran, bedanya dia satu tahun diatasku walaupun usia kami sama. Walaupun di Jakarta aku memiliki Keenan, namun ibu selalu berpesan agar tidak bergantung padanya. Beliau hanya tidak ingin aku merepotkan siapapun.
"Gimana, Nan?"
"Lo jadi kan ikut panitia MedFest?" Ah, iya, aku lupa jika beberapa hari lalu aku ditunjuk untuk mengikuti acara Medical Fest, acara musik tahunan yang diselenggarakan fakultas kedokteran untuk umum, dan ini tahun pertamaku ditunjuk menjadi panitia pada acara tersebut.
"Jadi, Nan, kenapa?"
"Gak apa-apa, nanti lo jadi LO aja ya, terus ada special request,"
"Dari?"
"Ada deh, nanti dikasih tau kok," Keenan menepuk pundakku pelan. "Gue cabut dulu ya," ia melambaikan tangannya dan berlari menjauh. Dasar orang sibuk, tapi aku selalu berharap bisa menjadi seseorang seperti Keenan. Nilai akademis dan kemampuan non akademisnya seimbang. Dia aktif, ikut berbagai kegiatan volunteer, dan Ipnya tak pernah kurang dari 3,5, dan tentu saja terkadang hal ini menjadi rintangan sendiri bagiku, karena mau tak mau, dalam pertemuan keluarga pasti akan ada yang membandingkanku dengan Keenan.
Aku menghela napas dengan berat sembari menaruh semua buku dan sneli yang aku pakai tadi. Rasanya lega sekaligus deg-degan walaupun sudah melewati UAS hari ini. lega karena semuanya berakhir dan deg-degan karena menunggu nilai.
Tak lama berselang ponselku berdering tanda panggilan masuk. Dari Keenan. Untuk apa dia menelepon? "Kenapa, Nan?"
"Lo sibuk gak?"
"Enggak sih, kan UASnya udah selesai,"
"Bagus, gue minta tolong dong lo ketemu orang namanya Bagas di ruang seni, gue gak bisa kesana,"
"Ngapain?"
"Dia yang bakal kasih special request ke lo, dia minta lo yang jadi LO-nya,"
"Oh, yaudah nanti aku kesana ya sebentar lagi, mau ke perpus dulu balikin buku,"
"Oke, gue bilang ke dia 15 menit lagi gitu ya?"
"Oke,"
"Makasih!" dia langsung memutus sambungan telepon. Baiklah, karena ini adalah kali pertamaku mengikuti kegiatan ini, apa salahnya jika mengenal orang yang akan aku dampingi di acara besok?
**
Harusnya aku udah curiga saat bilang ada seseorang yang mau special request buat aku jadi LO-nya, ternyata benar saja, Bagas yang dimaksud Keenan adalah Bagas teman dari Catra, yang terakhir aku lihat dua bulan lalu.
Dia duduk didepanku dengan senyum yang lebar, berbeda dengan ekspresi yang ia tunjukkan saat itu, datar. Ia mengeluarkan selembar kertas yang berisi tulisan:
· Americano 4 gelas
· Air mineral 2 botol
· Waktu lo
Aku membaca isi kertas tersebut sembari mengerut. Jadi ini permintaan khusus yang dimaksud Keenan? Ini sih bukan permintaan khusus, tapi permintaan gak masuk akal. Maksud aku, bagian "waktu lo"? yang bener aja?
"Ini maksudnya gimana ya?" tanya aku. Sementara itu terdengar petikan melodi gitar dari sudut ruangan. Sebenarnya ruang seni ini gak terlalu besar untuk ukuran ruang latihan, hanya berdiameter 10x10 meter. Sehingga mau tak mau petikan gitar dari Catra yang dimainkan dari ujung ruangan jelas terdengar di telingaku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ya udah jelas kan? 4 gelas americano, 2 botol air mineral, sama waktu lo. Kita gak butuh makan, soalnya makanan anak panitia biasanya nasi kotak doang,"
"Ya maksud saya bagian waktu ini gimana?"
"Oh, ini permintaan dari Catra sih, kalo gue cuma minta americano sama air," ucapnya sembari melirik ke arah Catra. "Tra! Jelasin nih permintaan lo,"
Petikan gitar langsung berhenti digantikan suara langkah kaki Catra. Laki-laki itu berjalan dan menaruh tangannya diantara meja dan kursi yang aku duduki. Tangannya yang berada di atas meja meraih kertas yang tergeletak begitu saja. "Ya waktu lo, kan lo bakal nemenin gue dari gue belum naik stage, pas di stage, sampai turun stage, bahkan sampai gue mutusin buat pulang,"
"Ya gak gitu dong, kan aku juga ngurusin yang lainnya,"
"Gue udah ngomong ke Keenan semuanya, jadi lo gak usah ngurusin aneh-aneh," potong Bagas. Ya ampun, ternyata manusia bernama Bagas ini ngeselin banget, sama aja kayak Catra.
"Terus Keenan setuju aja gitu?"
"Iya dong, kalo kita gak tampil, acara kalian gak bakal rame,"
"Bisa jamin apa kalian kalo kalian gak dateng MedFest gak bakal rame?" tanyaku yang justru membuat Bagas tertawa dengan keras sedangkan Catra tersenyum menahan tawa.
"Tra, kayaknya dia bener-bener gak tau siapa lo deh, pantesan aja lo nembak di tolak!" ucap Bagas. Apaan sih?
"Kan! Gue bilang apa, dia tuh unik! Gak sama kayak yang lain," Bagas mengangguk setuju dengan ucapan Catra.
"Gini, ya, Rahajeng, Catra sama gue ini udah terkenal diseluruh anak seni, dan dari dulu, MedFest yang ngeramein ya anak seni. Yang bakal dateng ke acara MedFest tuh ya anak seni. Sedangkan anak kedokteran sendiri biasanya cuma ramein bazar. Jadi kalo kita gak tampil, anak seni gak bakalan ada yang dateng, kalo gak ada yang dateng, MedFest bakalan sepi," jelas Bagas. Kayaknya ini efek setiap ada MedFest pulang Jogja deh.
Gue masih diam, gak menyangka kalau power mereka bakal sekuat itu buat ngeramein acara fakultas kedokteran. "Gimana? Jadi lo udah tau kan siapa kita?" tanya Catra sembari melihat ke arahku yang mau tak mau membuatku ikut menoleh ke arah Catra, menyisakan jarak 10 senti diantara wajah kita. Bahkan aku bisa mendengar napasnya saat ini. bibirnya tersenyum sebelum akhirnya ia menjauh dan kembali duduk di sudut ruangan, memainkan gitarnya sembari terpejam.
Mataku masih melihat ke arah Catra di ujung ruangan, entah mengapa rasanya jengkel sekali melihat dia bisa setenang itu setelah berhasil mengatur segalanya termasuk tugasku didalam kepanitiaan besok. Aku menghembuskan napas dengan berat sebelum kembali menatap ke arah Bagas.
"Oke, aku mau,"
Bagas tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Sip! Gitu dong!" dia tersenyum lebar diikuti dengan senyuman lebar pula dari bibir Catra yang bisa aku lihat dari sudut mataku.