Seorang Musisi

205 26 6
                                    

Aku tak menyangka jika Catra sangat cepat akrab dengan saudara-saudaraku disini. Dia adalah pembicara yang baik sekaligus pendengar yang sempurna. Dia banyak membicarakan pengalamannya berjalan dari panggung satu ke panggung lain untuk mengisi pertunjukan, disisi lain, ia juga mampu mendengarkan pengalaman ayahku berpindah satu daerah ke daerah lain untuk mengerjakan sebuah proyek sebelum akhirnya benar- benar menetap di Jogja bersama aku dan ibu.

            Malam ini aku berinisiatif untuk menunggu ibu semalaman, bergantian dengan budhe Mirna, namun yang membuatku terkejut, Catra akan ikut menemaniku disini, ia bilang ia bisa menggantikan ayahku malam ini. sebenarnya aku semakin merasa tidak enak kepada Catra, karena tentu saja ia tak perlu melakukan ini, apalagi ia sudah jauh-jauh ke Jogja.

            "Gak pa-pa kali, Jeng, santai aja, lagian kasian bokap lo, gak tidur dua hari,"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

            "Gak pa-pa kali, Jeng, santai aja, lagian kasian bokap lo, gak tidur dua hari,"

          "Iya tapi kan tetep aja, Cat, lagi pula kamu udah pesen hotel, buat apaan coba kalo kamu gak tidur disana?"

            "Ya buat naroh barang lah, apa lagi? Masak barang-barang gue ditaroh disini?" ucapnya keras kepala.

            "Tapi janji ya cuma malem ini?"

            "Ya gak tau sih, Jeng, liat aja besok,"

            "Catra!"

            "Sst, berisik, nanti ibu kamu bangun, Jeng," ucapnya membuat gue benar-benar terdiam, lagipula seperti sia-sia berdebat dengan Catra, karena ia dan pendiriannya tidak bisa terkalahkan.

            Jam dinding menunjukkan pukul dua pagi, namun Catra tak kunjung tidur, begitupula dengan aku. Aku masih duduk disamping tempat tidur ibu, sedangkan catra berbaring di sofa tamu dengan ponsel ditangannya. Mungkin ia masih asik bertukar pesan dengan seseorang. Tidak, aku tidak cemburu kok, lagi pula bukan hakku untuk mencurigai dengan siapa dia bertukar pesan.

            "Cat, kamu gak tidur?" tanyaku sembari berjalan menghampirinya. Ia langsung bangkit dari posisinya dan duduk di sofa, menepuk tempat disebelahnya agar aku ikut duduk disebelahnya.

            "Belom ngantuk, gue biasa begadang,"

            "Padahal begadang gak baik loh,"

            "Iya tau, bu dokter, tapi mau gimana? Gue merem juga pikiran gue masih jalan," aku tertawa dengan sebutan bu dokter dari Catra. Sebenarnya bukan pertama kalinya aku dibilang bu dokter oleh orang lain, karena Rendra dan Widuri sering memanggilku seperti itu, terlebih saat mereka terluka dan aku yang membersihkan lukanya, namun kali ini terdengar benar-benar aneh saat kata bu dokter keluar dari bibir Catra.

            "Susah sih kalo udah kebiasaan. Dari dulu emang kamu suka begadang?"

            "Dari SMA. Waktu itu gue kerja shift malem, makanya sejak itu gue kebiasaan begadang,"

RahajengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang