Mata gue gak berhenti untuk melihat sekeliling saat Ajeng mengajak gue mengitari kota Jogja. Beberapa pertanyaan pun secara refleks keluar begitu saja dari mulut gue yang tentunya dijawab Ajeng dengan tenang sembari menyetir. Menurut gue saat ini tingkat kepintaran Ajeng bertambah 20 persen dari biasanya, walaupun gue sebenernya gak tau sih sepintar apa Ajeng sehari-harinya.
"Ternyata Jogja sama aja kayak Jakarta, panas-panas juga, macet-macet juga," ucap gue saat duduk disalah satu tempat es krim terkenal di Jogja. Gue memutuskan untuk membeli es krim dengan rasa sea salt dan mint, sedangkan Ajeng coklat cookies dan vanila. Sederhana banget emang, gak aneh-aneh.
"Ya emang, cuma bedanya di Jakarta gak ada keraton, kalo disini masih ada,"
"Bener juga,"
Ajeng menatap ke luar jendela, matanya melihat ke arah jalan raya kemudian tersenyum sekilas. "Biar Jogja kayak gini juga, kamu bakal kangen sama Jogja," ia berujar yakin. "Suasana di Jogja yang kadang bikin kangen," ia mengalihkan pandangannya dan menatap ke arah gue. Bibirnya masih tersenyum. Manis, lebih manis daripada es krim disini.
Gue menunduk, memilih untuk menyudahi melihat wajah Ajeng yang masih menatap gue. Kalo pun gue kangen Jogja, gue gak akan kangen suasanya atau tempatnya, gue kangen sama orang yang memperkenalkan Jogja ke gue, yaitu Ajeng.
Entah kenapa gue bisa sesuka ini sama Ajeng. Padahal biasanya gue gak tertarik dengan cewek polos dan sederhana model Ajeng. Tapi Ajeng beda di mata gue. Cuma dia cewek yang bisa membuat gue rela pergi jauh-jauh ke Jogja yang sebenernya gue bisa menghabiskan waktu di Jakarta buat latihan MedFest.
"Halo, Catra? Habis ini kamu mau kemana?" tanyanya membuyarkan lamunan gue.
"Eh, terserah lo aja mau kemana,"
"Kamu ngalamun ya? Ada masalah ya? Apa ada janji yang kamu lewatin gara-gara nganter aku ke Jogja?" serentet pertanyaan darinya yang justru membuat gue tertawa. "Kok ketawa sih?"
"Gak apa-apa, Jeng, gak ada janji yang gue lewatin kok gara-gara nganter lo ke Jogja,"
"Ya terus? Kayaknya wajah kamu tadi mikir banget tau gak sih? Mana sampe ngelamun lagi!"
"Enggak, gue gak kenapa-kenapa kok," iya kenapa gue bisa bego banget ngelamunin Ajeng padahal jelas-jelas orangnya ada didepan gue sekarang. Nyata. Tangan gue menyentuh puncak kepala Ajeng, mengusapnya sekali. "Gue gak apa-apa kok, gausah panik,"
"Kalo ada apa-apa ngomong ya, aku gak enak jadinya,"
"Lo mau back-up gue?"
"Iyalah, gimana juga kan ini bukan kota kamu. Biar sama kayak Jakarta juga, ini bukan Jakarta, aku lebih tau Jogja daripada kamu,"
"Iya-iya, bawel banget sih," gue mencubit pipinya yang membuat Ajeng meringis. "Kalo gue butuh apa-apa gue pasti bilang, kan lo LO gue,"
"Eh, enak aja,"
"Ya kan emang? Lagian lo ijin ke Jogja buat nemenin gue? Bukan gue nemenin lo,"
"Ya iya sih,"
"Dan gue mau nemenin nyokap lo bareng lo, jadi gak usah khawatir ya, santai aja," Ajeng tersenyum mendengar ucapan gue. Bisa gak sih gue ngelihat senyum dia terus? Bisa gak ya gue jadi alasan tiap dia tersenyum?
**
Malam tiba, kini gue dan Ajeng sedang berada di rumah sakit setelah seharian berada di jalan untuk sedikit eksplor Jogja. Gue gak nyangka Ajeng bener-bener mau nemenin gue muter Jogja, padahal alasan dia pulang untuk menjenguk ibunya yang berada di rumah sakit.
Di kamar rumah sakit ternyata ada budhe Ajeng, ayahnya dan dua sepupu Ajeng yang bernama Rendra dan Widuri. Rendra berusia 7 tahun, sedangkan Widuri berusia 5 tahun. Keduanya terlihat senang saat Ajeng tiba di rumah sakit, telebih saat melihat Ajeng membawa oleh-oleh berupa donat yang kita beli tadi di jalan saat hendak menuju kemari.
"Mbak Ajeng! Itu siapa?" tanya Widuri dengan mulut penuh dengan coklat. Widuri ini dari kecil aja udah cantik banget, mungkin gedenya bakal makin cantik kayak Ajeng. Terus cantiknya Widuri ini kalem juga. Sekeluarga kalem semua kayaknya.
"Temen Mbak," ucap Ajeng kalem.
"Beneran? Rendra kira pacarnya Mbak Ajeng," Belum, masih calon,
"Ngawur," Ajeng mengusap kepala Rendra sembari tersenyum.
"Enak donatnya?" tanya gue ke keduanya.
"Enak, Mas!" Widuri berujar paling antusias. "Yang coklat enak, yang ini juga enak!" telunjuknya mengarah ke sebuah donat dengan parutan keju diatasnya.
"Mas, Mas," panggil Rendra. Wajahnya mendadak serius. Tangannya membuat isyarat agar gue lebih mendekat ke arahnya. Ia mulai membisikkan sesuatu. "Mas Catra beneran cuma temennya Mbak Ajeng?" Pertanyaan Rendra membuat gue tersenyum lebar, bahkan tertawa kecil, ternyata Rendra gak semudah percaya itu dengan Ajeng.
Kini gantian gue yang membisikkan sesuatu di telinga Rendra. "Iya, tapi mas naksir Mbak Ajeng,"
Rendra menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang penuh coklat. Bibirnya membulat membentuk huruf O, "Beneran, mas?" ucapnya pelan.
"Beneran lah, masak mas bohong sama kamu?"
"Apaan nih? kok bisik-bisik Mbak Ajeng gak dikasih tau?" Ajeng datang menghampiri kita setelah mengobrol dengan ayahnya.
"Sst, jangan dikasih tau Mbak Ajeng ya, ini rahasia kita aja!" ucap gue kepada Rendra. Dengan cepat rendra merespon dengan anggukan dan menaruh telunjuknya didepan bibirnya.
"Siap, bos! Sst," gue benar-benar tertawa dengan respon Rendra, sementara Widuri hanya menatap kami bingung dan ikut tertawa karena tawa kami berdua. Malam ini adalah malam yang sempurna bagi gue.
##
Gatau ada yang nunggu kagak, tapi mari kita selesaikan wkwkwkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahajeng
FanfictionRahajeng tidak pernah menyangka jika ada manusia sekeras kepala dan seambisius Catra, laki-laki yang mengatakan ingin menjadi pacarnya disaat ia hanya tahu siapa namanya. Catra Maharga dengan segala ambisi dan kelakuannya mencoba menarik perhatian...