Rahajeng tidak pernah menyangka jika ada manusia sekeras kepala dan seambisius Catra, laki-laki yang mengatakan ingin menjadi pacarnya disaat ia hanya tahu siapa namanya.
Catra Maharga dengan segala ambisi dan kelakuannya mencoba menarik perhatian...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jauh-jauh dari Jakarta ke Jogja yang dia lakukan hanya diam sembari mengikuti kemanapun kakiku melangkah sedari turun dari pesawat hingga tiba di rumah sakit. Katanya sih "Gue gak tau sih kenapa juga nganter lo ke Jogja, gue cuma lagi males bohong aja,".
Catra yang ambisius yang biasa aku kenal semuanya hilang. Paling tidak untuk hari ini. digantikan dengan Catra yang penuh pertanyaan seperti anak-anak berusia lima tahun. mulutnya tak berhenti bertanya tentang apa saja yang ia lihat disepanjang perjalanan menuju rumah sakit.
"Jeng ini yang namanya Malioboro ya? Gue baru pertama kali kesini!" ucapnya dengan nada antusias. Aku juga tidak menyangka jika ia bisa berbicara santai dengan ayahku saat tiba di rumah sakit.
Kini disinilah dia. Duduk di gazebo taman rumah sakit sembari meminum sebotol air mineral. Disamping kanannya masih terdapat tas pakaian berwarna hitam yang ia bawa dari Jakarta, bahkan ia belum menaruh seluruh barangnya di hotel.
"Cat, maaf ya kamu jadi nemenin aku sampe ke Jogja," ucapku sembari duduk disampingnya. "Kamu sampe belum naruh barang loh,"
"Gapapa kali, Jeng, santai aja. Orang tua lo lebih penting," ucapnya pelan. "Lo gak sedih lagi kan sekarang?"
"Ya masih, Cat, tapi udah mendingan lah," dia tertawa mendengar ucapanku. "Kenapa ketawa?"
"Muka lo, jelek banget waktu nangis," ia tertawa hingga matanya terpejam. Baru pertama kali sejak aku mengenalnya melihat ia tertawa sebebas ini, dan tawanya karena wajahku yang jelek karena menangis?!
"Seneng ya liat mukaku jelek waktu nangis?"
"Iya. Soalnya lo selalu cantik kalo di kampus, terus tadi jelek rasanya lucu banget!"
"Yah, jangan ngambek dong, Jeng!" ia menyenggol pundakku beberapa kali dengan tubuhnya yang besar itu. Membuatku mau tak mau melihat ke arahnya. Ia tersenyum lebar hingga giginya terlihat. Telinganya memerah karena terlalu banyak tertawa. "Jangan ngambek dong, Cantik, nanti jelek lagi," ucapnya pelan, tepat di samping telingaku. Membuatku terdiam dan jantungku sedikit berdegub lebih kencang dari biasanya.
"Duh, apaan sih, Cat! Rese deh kamu!" aku secara otomatis menjauh dan berdiri dari dudukku. "Udah ayo aku anter ke hotel kamu dulu, nanti aku balik lagi ke rumah sakit,"
"Gausah, gue ke hotel sendiri aja naik ojol, lo disini aja, nanti sore gue samperin lagi," ucapnya. "Lagian tempatnya gak jauh juga dari sini, masih bisa lah apa-apa sendiri," ia berdiri dari duduknya. Kini ia kembali terlihat lebih tinggi dariku. "Lo jangan lupa istirahat, jangan capek-capek. Jangan niatnya ngejenguk ibu lo tapi malah lo sendiri yang sakit. Gue cabut dulu!" tangan besarnya bergerak mengusak rambutku hingga sedikit berantakan sebelum kakinya melangkah meninggalkanku mematung di posisiku saat ini.
Jantungku berdetak tak karuan, mataku terus menatap ke arah kepergian Catra, wajahku memanas. Perasaan apa ini? tanganku bergerak untuk merapikan rambutku kembali setelah sadar dari pikiranku. Dasar laki-laki aneh!
**
From: Catra Gue udah sampe hotel nih, ternyata hotel di jogja murah2 juga Bagus lagi.
To: Catra Norak deh kamu
From: Catra Ya maap, kan gue gak pernah ke jogja, pernahnya ke luar negeri
To: Catra Sombong.
From: Catra Hehehe, biarin :p
Aku kembali mengunci ponselku setelah bertukar pesan dengan Catra. Paling tidak aku tau dia selamat tiba di hotel. Saat ini aku berada di perjalanan menuju rumah. Aku rindu rumah, dan sebentar lagi aku akan kembali ke rumah walaupun tidak lama.
Lima belas menit dari rumah sakit, akhirnya mobil yang dikendarai oleh budhe tiba di rumahku. Dengan segera aku turun dari mobil dan memasuki rumah. "Keenan disana baik-baik aja, nduk?" tanya Budhe Mirna, ibu dari Keenan.
"Baik, budhe, Keenan disana pinter, aku suka iri sama Keenan," ucapku sembari tertawa seperti bercanda, namun sebenarnya aku mengatakan yang sejujurnya.
"Kamu sama Keenan kan sama saja, nduk, dari kecil main bareng, ndak perlu iri, wong kalian sama-sama pintar. Yowes, budhe pulang dulu ya, di garasi ada mobil, dipake aja," aku mengangguk dan melambaikan tangan saat budhe Mirna meninggalkan rumah.
Aku memasuki kamarku dengan perasaan bahagia. Aku rindu! Kamarku jauh berbeda dengan kamar kos ku di Jakarta. Di kamarku suasanya sejuk walaupun tanpa pendingin ruangan. Terasa alami, tidak seperti di kamar kosku. Disudut kamarku tertempel berbagai foto, termasuk foto kelulusanku bersama teman-temanku yang kini sudah sama-sama sibuk untuk menimba ilmu.
Tubuhku jatuh begitu saja di ranjang kesayanganku. Kamarku masih tertata rapi sejak terakhir aku datang kemari. Rasanya seperti sudah lama sekali aku tidak pulang, dan semuanya terasa cepat. Terlebih setelah aku mengenal Catra. Kehidupanku terasa berbeda, tidak sedatar sebelumnya. Bahkan semenjak mengenal Catra aku jadi lebih bisa mengekspresikan diri. Baik emosi senang maupun marah. Berkat Catra pula hari-hariku seperti lebih cepat berlalu.
Aku menepuk-nepuk pipiku. Ada apa denganku? Mengapa aku justru memikirkannya?
Baru hendak memejamkan mata, ponselku bergetar. Panggilan masuk dari Catra. "Jeng, gudeg!" ucapnya tiba-tiba.
"Hah? Apanya yang budeg?"
"Gu-deg. Bukan budeg!"
"Oh, gudeg, kenapa gudegnya?"
"Gue mau makan gudeg. Anterin," ia menjelaskan maksudnya.
"Iya nanti sore aku anterin, kebetulan di rumah juga ada mobil, jadi bisa pergi kemana-mana tanpa naik ojol,"
"Oke,oke!" aku hendak mematikan sambungan telepon sebelum Catra memanggil namaku. "Makasih ya, Jeng,"
"Hah? Makasih kenapa?"
"Gak pa-pa, pengen makasih aja," aku mengangkat sebelah alisku, heran dengan ucapannya.
"Kamu tadi makan apa sampe hotel?"
"Gak makan apa-apa, kok,"
"Kok jadi aneh?"
"Aneh kenapa sih?"
"Bilang makasih. Kan kamu gak pernah bilang makasih," ujarku.
"Ya gak pernah bilang makasih bukan berarti gue gak bisa bilang makasih! Rese ya lu!" ia mulai meninggikan suaranya. Catra yang pemarah kembali lagi, yang justru membuatku merasa lega karena ini menjadi tanda ia tidak kenapa-napa.
"Hahaha, yah, abis minta maaf kok marah lagi?"
"Tau ah, rese!" Ia mematikan sambungan teleponnya, membuatku kembali tertawa.
Dengan Catra, aku bisa tertawa selepas ini bahkan setelah berkata jujur kepadanya. Dengan Catra aku bisa marah dan memperingatkan orang tersebut salah tanpa harus merasa tidak enak. Bersamanya, aku bisa menjadi diriku apa adanya tanpa perlu memikirkan orang lain. Perasaanku nyaman dengannya, namun orang sekitarku tidak.