Rahajeng tidak pernah menyangka jika ada manusia sekeras kepala dan seambisius Catra, laki-laki yang mengatakan ingin menjadi pacarnya disaat ia hanya tahu siapa namanya.
Catra Maharga dengan segala ambisi dan kelakuannya mencoba menarik perhatian...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dari kecil, aku selalu diajarkan untuk berlaku sopan sama siapa aja, baik orang yang aku benci sekalipun. Kata ibu "Jadikan musuhmu seseorang tempat kamu belajar kesalahan, bukan seseorang yang harus kamu balas dendamnya suatu hari," hal itu yang selalu aku pegang kemanapun dan dimanapun aku berada.
Selama tinggal di Jakarta, aku punya temen-temen yang baik sama aku, walaupun ada juga sih beberapa temenku yang nyebelin, tapi sebisa mungkin aku gak menganggap mereka musuh. Jakarta ini besar, kalau aku gak berusaha mencari teman disini, gimana aku bisa bertahan?
setiap hari aku selalu mencoba sabar dengan segala permasalahan yang aku hadapi disini, mecoba tersenyum dan membawa semuanya seakan semua itu adalah kapas yang sangat ringan, hingga aku bertemu dengan lelaki aneh bernama Catra. Laki-laki dengan senyum lebar dan telinga yang juga lebar. Sebenarnya ini bukan kali pertamanya aku melihat dia, karena ia sering sekali muncul di gedung kedokteran hanya sekedar lewat, bahkan hampir setiap hari. Hingga tiba-tiba ia mengajakku berkenalan di perpustakaan. Tempat senyap yang seharusnya digunakan untuk belajar.
Sebenarnya aku tidak mau berkenalan dengannya. Bukan bermaksud sombong atau mencari musuh, sungguh. Aku hanya ingin membatasi pergaulan, lagi pula aku sempat mendengar dari beberapa temanku yang mengatakan dia bukanlah laki-laki baik-baik. Itulah alasanku menolak berkenalan dengannya saat di perpustakaan. Namun aku juga sangat tidak menyangka jika tekadnya tidak mudah dipatahkan begitu saja, ia masih duduk dan menunggu hingga aku selesai membaca hanya untuk sekadar mengetahui namaku! Gila!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dan kini, dia kembali muncul di depan kelasku, menghalangi jalanku dan berucap "Lo mau gak jadi cewek gue?" yang tentu saja langsung membuatku harus berpikir dan mencerna ucapan dia berjuta kali. Dibelakangnya berdiri temannya dengan ekspresi datar namun seakan penuh harap aku akan menjawab pertanyaan temannya dengan jawaban "iya,". Ternyata temannya sama saja anehnya dengan dia.
"Apa sih? Udah gila ya?" ucapku kemudian meninggalkan dia begitu saja. Pikiranku sudah penuh dengan berbagai macam tugas dan kini seorang laki-laki yang bahkan baru berbicara denganku sekali menyatakan perasaannya padaku secara tiba-tiba? Sinting.
"Gas? Gue ditolak nih? Gas, reputasi gue gimana, Gas?" ucapnya dari kejauhan namun cukup untuk masuk ke gendang telingaku. Aku terus berjalan tanpa menoleh kembali ke arahnya.
Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi melihatnya di sekitar gedung kedokteran, yang artinya ia bukanlah mahasiswa kedokteran. Padahal semula aku mengira dia anak kedokteran, ternyata dia hanya sering lewat saja. Aku tidak bermaksud untuk berbesar kepala, namun aku sangat yakin jika dia datang ke gedung kedokteran hanya untuk melihatku.
Dua bulan berselang, dan ini kali pertamanya lagi aku melihat dia. Hanya dari kejauhan, sekilas aku melihat dia menatap ke arah meja tempat aku duduk. Aku tidak berusaha untuk benar-benar melihatnya, hanya tak sengaja melihatnya sekali. Aku bahkan tau dia menatapku dari kejauhan selama tiga menit, namun catatan didepanku ini lebih penting untuk aku salin daripada harus membalas tatapannya.
"Diminum, gue tau lo haus daritadi cuma nyatet," didepanku kini terdapat sebotol air mineral dan Catra yang berdiri tepat didepanku dengan jaket denim dan celana jeans hitam yang robek dibagian lutut.
"Aku bawa minum sendiri. Ada di tas,"
"Ck!" ia berdecak dengan kesal. "Susah amat ya nerima pemberian orang lain? Tinggal terima aja kenapa sih? Airnya juga gak gue racun kali! Gue juga gak minta lo buat bilang makasih," dia marah-marah. Gak jelas.
"Yaudah aku terima," ucapku cepat, daripada dia semakin marah dan menarik perhatian orang-orang di kantin. Aku sangat benci saat menjadi pusat perhatian orang-orang, namun setiap bertemu dengannya, akan ada mata yang melihat ke arah kami dengan tatapan sinis.
"Gue cabut dulu. Oiya, kalo nulis jangan deket-deket, mata lo makin minus nanti!" ia kemudian pergi.
"Apaan sih? Dasar aneh!" aku menggerutu kesal. Karena pertama kali dalam kehidupanku, aku bertemu dengan laki-laki yang tiba-tiba baik, lalu tiba-tiba marah-marah tidak jelas.
Aku melihat botol air mineral yang ia beri, ternyata dibalik label kemasan air tersebut terselip sebuah catatan kecil dari sticky note berwarna kuning. Hanya satu kata namun entah mengapa dapat membuat keningku berkerut heran.
Maaf.
Tulisan disana. Maaf? Untuk apa? Apakah ia baru menyadari jika perilakunya sangat menggangguku? Apakah ia minta maaf untuk ungkapan perasaannya dua bulan yang lalu itu? Atau ia minta maaf karena pernah memaksaku berkenalan? Atau apa?
Aku kembali melipat sticky note tersebut dan menempelnya di bagian paling belakang buku catatanku, menaruh botol air mineral tersebut ke dalam tasku dan melanjutkan menyalin isi catatan yang ada didepanku.
// Already understand the POV? Jadi 1 part POVnya Catra, satu part lagi POVnya Ajeng gitchuuuu. Hehe