Rahajeng tidak pernah menyangka jika ada manusia sekeras kepala dan seambisius Catra, laki-laki yang mengatakan ingin menjadi pacarnya disaat ia hanya tahu siapa namanya.
Catra Maharga dengan segala ambisi dan kelakuannya mencoba menarik perhatian...
15 panggilan tak terjawab dan 10 SMS masuk di hp gue pagi ini. Semua pesan yang masuk bertanya apakah gue bisa bantu dia apa enggak. Ajeng, dengan segala gengsinya belum pernah mengirimi gue pesan sebanyak ini jika bukan hal penting terjadi. Ponsel gue berdering sekali lagi, menampilkan nama ajeng di layar. Dengan segera gue menggeser tombol hijau dan mengangkatnya.
"Jeng, sori banget, gue baru bang—"
"Tolong aku," ucapnya langsung memotong. Suatu hal yang jarang dia lakukan. "Bantu aku bilang ke ketua pelaksana kalo keluar sama kamu, nemenin kamu kemana gitu,"
"Lo mau kemana?"
"Ibu aku masuk rumah sakit, aku harus pulang sekarang juga. Janji gak akan lama. Lusa aku pulang," janjinya. Suaranya sudah tergesa. Gue yakin dia sangat khawatir dengan keadaan orang tuanya sekarang.
"Lo gak minta bantuan sama Keenan-Keenan itu?"
"Keenan gak bisa bantu aku, ketua pelaksana aku galak banget, please," Dia mulai terisak. Dua hal yang paling gue benci di dunia adalah kekalahan dan isakan perempuan, gue paling gak bisa menerima keduanya. "Aku khawatir ibu aku kenapa-kenapa, Cat,"
"Lo ke Jogja naik apa? Pesawat?"
"Iya, aku mau pesen tiket sekarang,"
"Pesen dua, nanti gue ganti. Gue ikut ke Jogja," gue memutuskan untuk ikut Ajeng ke Jogja. Selain gue udah muak di Jakarta dan pengen berlibur di Jogja, gue juga lagi males buat bohong, jadi yaudah gak bohong kan kalo gue pergi sama Ajeng?
"Tapi kuliah kamu,"
"Gausah mikirin gue, kan yang kuliah gue, bukan lo," Ajeng terdiam. "Buruan pesen, keburu gak dapet tiket,"
"Eh, iya, Cat, aku tutup dulu," Ajeng langsung mematikan sambungan teleponnya. Sementara itu gue langsung memutuskan untuk mandi dan memasukkan beberapa pakaian ke tas yang akan gue gunakan selama disana. Gue juga memesan penginapan untuk dua hari kedepan. Karena bagaimanapun juga gue gak mungkin tidur di rumah Ajeng.
**
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jadi ini yang namanya Jogja? Ternyata sama-sama panas juga. Sama aja kayak Jakarta. Bedanya suasana disini gak begitu ribet dan masih terasa suasana tradisionalnya walaupun sudah terlihat modern.
Dari bandara Adi Sucipto, gue dan Ajeng memutuskan untuk menaiki taksi online dan langsung menuju rumah sakit tempat ibu Ajeng di rawat. Bau steril khas dari rumah sakit langsung menyeruak di hidung gue. Sebenarnya aneh juga mencium bau rumah sakit kayak gini, makanya gue gak begitu suka datang ke rumah sakit. Biasanya gue lebih memilih duduk di ruang tunggu daripada harus masuk lebih jauh di bangunan yang berbau steril ini. Tetapi kali ini yang sakit ibunya Ajeng, jadi gue harus nemenin dong? Hehe, siapa tau gue bisa langsung lolos dimata orang tua Ajeng?
Ajeng mengetuk pelan pintu salah satu kamar yang berwarna putih tersebut, kemudian ia menggeser pintu tersebut hingga terbuka sepenuhnya. Didalam ternyata sudah ada ayah Ajeng serta dua perempuan yang dia panggil budhe. Asli deh, kerasa Jawanya kalo kayak gini.
"Ibu pripun kabare budhe? (Ibu bagaimana kabarnya budhe?)" tanya Ajeng sembari mengusap tangan ibunya. Ya ampun, sumpah deh, Ajeng jadi kelihatan seratus kali lebih kalem saat berbicara Bahasa Jawa, walaupun gue sendiri gak tau artinya apa.
"Ibumu kui kekeselen, nduk, kakehan pikiran,(ibumu itu kecapenak, nduk, kebanyakan pikiran,)" Ajeng hanya terdiam mendengar ucapan dari budhenya.
"Kui cah lanang sopo, Nduk? (Itu anak laki-laki siapa, Nduk?)" tanya seorang laki-laki yang gue yakini bapak dari Ajeng.
"Oh! Niki rencange Ajeng, namine Catra, (Oh! Ini temennya Ajeng, namanya Catra,)" ucap Ajeng yang dibarengi dengan 'kode' untuk gue agar bersalaman dengan ayahnya.
"Catra, Om," Ayah Ajeng tersenyum dan membalas salam gue.
"Repot-repot, mas nemenin Ajeng sampe sini,"
"Gak repot kok, Om, sekalian mau tau Jogja kayak apa, hehe, di Jakarta terus bosen," gue pura-pura tertawa untuk mencairkan suasana.
"Ibunya Ajeng ini kecapekan, Mas, makanya sampe sakit masuk UGD,"
"Terus kata dokter sakit apa, Om?"
"Katanya sih ya gejala tipes. Tapi ya semoga cepet sembuh ya,"
"Iya, semoga tante cepet sembuh, Om," gue hanya bisa tersenyum. Baru pertama kali kayaknya gue merasa canggung ngobrol dengan orang baru. Biasanya mah boro-boro canggung. "Om, saya tinggal di luar dulu ya, cari angin, hehe,"
"Oh, iya, mas,"
"Jeng, gue tunggu di luar ya," ucap gue kepada Ajeng yang hanya dibalas dengan anggukan.
Sebenarnya gue gak tau mau keluar kemana. Rumah sakit ya gitu-gitu aja. Mau didaerah mana juga sama aja. Gak bisa ngerokok dan gak bisa sembarangan. Jadilah gue cuma duduk-duduk doang di taman setelah membeli air mineral.
Kayaknya baru hari ini deh gue ngerasa lega banget. Apa karena hari ini gue pergi dari Jakarta yang sesak? Makanya gue bisa bebas dan ngerasa lega. Ponsel di saku gue bergetar tanda panggilan masuk. Bagas. Mau apa lagi nih anak?
"Kenapa?" ucap gue setelah gue menggeser tombol hijau di layar.
"Lo dimana?"
"Jogja,"
"Anjir ngapain?"
"Main lah, bosen di Jakarta," ucap gue sembari tertawa.
"Nyet, lo lupa ada latihan?"
"Gue latihan disini aja nanti. Lusa gue juga pulang,"
"Astaga, yaudah oke." Bagas menyerah. "Sama siapa di Jogja?"
"Ajeng. Oiya gue jadi inget. Ijinin ke ketua acara MedFest, bilang gue ke Jogja sama Ajeng atas permintaan gue,"
"HAH? Nyet, seenak jidat banget lo,"
"I thought we had special privilage?"
"YA TAPI GAK GITU JUGA!" Teriak Bagas membuat gue harus menjauhkan ponsel dari telinga untuk beberapa saat.
"Udah pokoknya ijinin, lagian gue sama Ajeng ke Jogja ngejenguk ibunya Ajeng yang sakit, tapi lo jangan bilang kalo jenguk. Bilang aja gue yang ngajak Ajeng ke Jogja. Udah ya, Gas! Gue percaya lo! Bye!" gue langsung mematikan sambungan telepon yang diiringi tawa. Gue yakin di sana Bagas lagi memaki-maki gue didepan ponselnya. Gue berani jamin!