"Sudah dijemput, tuh." Perempuan tinggi dengan rambut panjang berdiri sambil menyilang tangannya di depan dada.
"Masih jam segini ngapain sudah jemput, sih!" Thalita menggerutu sambil melihat jam dipergelangan tangannya. Dia kemudian membereskan buku-bukunya di meja lalu meletakkan ATK-nya ke dalam wadah berbentuk tabung dengan karakter minion.
Thalita mengembus napas. mengusap wajahnya kasar lalu menatap Rosa, perempuan yang tengah berdiri tepat di depan meja kerjanya. Thalita berdiri sambil mengambil tasnya.
"Sepertinya dia sudah nungguin lama."
Talitha memicingkan mata. "Emang nggak ada kerjaan ya dia." Lalu dia memutar matanya jengah sambil keluar dari ruangan.
"Bye." Rosa setengah berteriak memberikan ucapan selamat tinggal. Namun tidak digubris oleh Thalita.
Thalita masih dalam wajah sebalnya. Langkah kakinya menyusuri koridor sekolah. Kebetulan sekolah sudah sepi karena semua warga sekolah, terutama siswa-siswi sudah pulang. Hanya menyisahkan dirinya dan Rosa. Thalita sampai di gerbang sekolah. Dia menatap datar sosok pria tinggi yang bersandar di bagian depan mobil Honda jazz hitam milik pria itu.
"Lima belas menit aku disini." Pria itu berujar sambil melihat jam ditangannya. Lalu membukakan pintu mobil untuk Thalita.
"Siapa suruh datang lebih awal." Thalita mengurungkan tubuhnya masuk ke dalam mobil. "Lagian aku juga nggak nyuruh jemput."
Pria itu menatap Thalita. Mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan perempuan itu. "Kamu lapar, kan? Ini sudah jam siang." Pria itu menutup pintu mobilnya setelah menyuruh Thalita segera masuk ke dalam.
Thalita mengembus napas panjang sambil melihat pria itu lewat kaca depan sedang berjalan menuju pintu kemudi.
"Kamu kalau lapar memang cerewet," ucap pria itu setelah memasang sabuk pengamannya. Dia melirik Thalita. Lalu tangannya bergerak membenahi sabuk pengaman Thalita yang masih belum terpakai.
Thalita melepaskan tangan Pria itu saat membenahi sabuk pengamannya. "Aku bisa sendiri," ucapnya dengan nada ketus. "Aku bisa pulang sendiri, Ga. Nggak perlu kamu jemput aku setiap hari. Kita ini nggak ada apa-apa. Dengan kamu jemput aku terus menerus penghuni sekolah ngira aku ada apa-apanya sama kamu. Jadi...." Thalita menarik napas pelan. "Stop untuk jemput aku lagi."
Lingga Mahardika diam sejenak. Lalu menatap perempuan di sampingnya. "Kita bicarakan ini saat makan siang nanti." Lalu dia melajukan mobilnya menembus padatnya lalu lintas kota Surabaya.
***
Thalita menyilangkan tangannya didada. Mengalihkan pandangan ke segala arah di restoran tempat dirinya saat ini makan siang bersama Lingga. Dia sama sekali tidak ingin menatap Lingga. Pria itu adalah pria yang ingin dijodohkan papanya. Sebenarnya Thalita tidak menyetujui perjodohan itu. Dia sama sekali tidak menginginkan adanya pemilihan pilihan hidup dengan model perjodohan yang dilakukan papanya. Ini sudah jaman milenial bukan lagi jaman Siti Nurbaya dan Datuk Maringgi yang harus dijodohkan.
"Jalani dulu, Ta," kata papanya. "Lingga ini orangnya baik. Papa kenal betul siapa dia. Lingga itu anak dari rekan bisnis papa."
Thalita tidak bisa mengelak saat papanya begitu keras kepala untuk menyuruhnya dekat dengan pria yang berprofesi sebagai dokter jiwa di salah satu rumah sakit swasta di kota Surabaya. Memang Lingga itu baik. Dia juga sopan dan dewasa. Namun Thalita tidak ada rasa untuk pria itu. Bahkan sedikitpun rasa itu tidak ada. Hambar. Hampa. Thalita merasa dia sudah mati rasa untuk menyukai seseorang lagi.
Lingga sedang menatap Thalita ketika pandangan Thalita sama sekali tidak ingin menatapnya. Bahkan perempuan itu tidak tahu kalau makanan yang dia pesan sudah tersedia di atas meja. Thalita terlihat begitu merasa malas.
"Ta," panggil Lingga. Sama sekali Thalita tidak meresponnya.
Hingga kali kedua Lingga terus memanggilnya dan hasilnya masih sama."Thalita," panggilan keras yang ketiga kalinya dari Lingga akhirnya membuyarkan lamunan bebas Thalita. Perempuan itu menoleh. Namun dahinya berkerut. Tanda perempuan itu tidak menyukainya.
"Makan," mata Lingga mengarah pada makanan di meja. Mengintruksi Thalita untuk segera menyantapnya.
Thalita menghela napas. Dia kemudian menyantap makanannya. Tidak ada pembahasan diantara mereka. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang mengisi kekosongan waktu mereka makan. Thalita juga merasa malas dengan semua ini.
Setelah semuanya tandas. Thalita menyingkirkan piring yang telah kosong itu sedikit menjauh agar kedua tangannya bisa dia lipat di atas meja. "Ga, aku pingin bicara."
Lingga yang baru saja selesai menandaskan makanannya menolehkan kepala. Fokus menatap retina Thalita yang kini sedang dalam mode serius. "Apa?" jawabnya.
Sebelum berbicara Thalita mencoba mengatur napasnya. Semoga apa yang sudah dia pikirkan sejak diperjalanan tadi tidak membuat masalah baru dalam hidupnya. Thalita merasa hidupnya sudah bosan dengan semua ini. Aturan papanya yang selalu menjodohkannya dengan anak-anak dari koleganya membuat Thalita merasa geram. Hidupnya tidak suka terlalu diatur.
"Kita akhiri saja semua ini." Thalita menatap retina Lingga dengan tajam. Menekankan ucapannya adalah sebuah kesungguhan.
Dahi Lingga berkerut. "Maksud kamu?"
"Ga, aku nggak suka perjodohan ini bahkan sejak awal. Aku nggak bisa, Ga. Selama ini aku berusaha untuk menyukai kamu tapi tetap saja aku nggak bisa. Daripada aku malah bikin kamu sakit hati nantinya, mulai detik ini kita akhiri saja disini."
Ada rasa kepuasan batin tersendiri bagi Thalita setelah mengucapkan. Ya, dia sudah mencoba untuk menyukai pria dihadapannya namun sama sekali tidak bisa. Tidak ada rasa cinta yang tumbuh dalam hati Thalita. Kata papanya 'cinta akan tumbuh seiring berjalan waktu, seiringnya bersama'. Namun sama sekali tidak berlaku untuk Thalita. Hatinya memang sudah mengeras. Setelah dua tahun yang lalu dia enggan untuk mencintai seseorang lagi hingga kini membuat dirinya sudah tidak mempunyai hasrat untuk mencintai. Siapapun itu. Thalita sudah mencoba namun tetap saja hasilnya sama.
Keputusan yang Thalita ambil adalah benar menurutnya. Daripada dia tetap menjalankan perjodohan ini toh hasil akhirnya Lingga adalah pihak yang tersakiti.
"Kenapa?" Lingga bersuara setelah beberapa menit dia terdiam. "Apa kamu masih mencintai dia?"
Thalita menyatukan kedua alisnya. Membentuk sebuah kerutan didahinya. "Jangan kaitkan hubungan ini dengan semua itu, Ga," jawabnya.
"Lalu?"
"Entah." Thalita mengangkat bahu. Lalu mengembuskan napasnya pelan. "Aku mohon Ga, hargai keputusanku. Kita akhiri disini. Maaf, Ga." Thalita beranjak dari duduknya. Lalu pergi meninggalkan Lingga yang masih tercengang dalam posisinya.
***
Cerita baruku.....
Mungkin ini kisahnya sedikit gimana gitu yaa, Hehe. Tapi nggak papa nikmati saja dulu.
Thanks for reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)
ChickLitThalita Naurah Rayyani, perempuan single berusia 26 tahun. Baginya, single adalah pilihan terbaik. Berbagai perjodohan yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya tidak membuat Thalita mudah menyerahkan hati. Masa lalu, penyesalan, dan cinta di anta...