Lima

5K 348 12
                                    

Pandangan Thalita mengarah pada sosok pria paruh baya yang sedang menekuri beberapa berkas di ruang tengah. Thalita mencoba menghampiri papanya itu, dia juga sedikit sangsi karena sejak tadi di rumah Syarif tidak berbicara kepadanya meski sudah beberapa kali bertatapan dengannya.

“Pa,” panggil Thalita. Seperti anak kecil yang ingin manja, tubuhnya beringsut ke papanya.

“Hm,” jawab Syarif, namun tidak melihat kearah putri cantiknya.

Thalita menarik kepalanya yang sebelumnya bersandar dipundak pria paruh baya itu. “Papa,” serunya sebal.

Syarif mengembus napas, lalu menoleh ke Thalita. “Kenapa, Ta? Papa lagi sibuk jangan diganggu.” Syarif kembali lagi menekuri berkas-berkasnya. “Lagian kamu ini kayak anak kecil saja.”

Thalita juga ikut mengembus napas. Dia menundukkan kepalanya sambil jemarinya dia tautkan berkali-kali. “Papa marah sama Thalita?” tanyanya dengan suara lirih, namun Syarif bisa mendengarnya.

“Marah kenapa?”

“Kok nggak ngajak bicara Thalita.”

Syarif mengelus puncak kepala putrinya itu, lalu mengecupnya sayang. “Papa lagi banyak kerjaan, sayang. Kamu jangan seperti mamamu lah, sukanya ngambekan kalau papa lagi nggak ngajak bicara.”

Thalita menyeringai, menunjukkan deretan gigi rapinya. “Kirain marah sama Thalita,” balasnya. “Emm.. Thalita pikir papa marah gara-gara Thalita mengakhiri…… perjodohan dengan Lingga.”

Berkas-berkas yang tadinya dicermati Syarif kini dia biarkan di atas meja. Dia beralih lebih menfokuskan dirinya ke Thalita. “Kenapa kamu menolak Lingga? Padahal dia baik orangnya. Banyak perempuan diluaran sana yang mengincar dia tapi kamu malah menolak.” Syarif menarik napasnya. Mengamati prilaku putrinya yang terasa janggal menurutnya. Beberapa perjodohan yang dia lakukan dengan mengenalkan seseorang untuk putrinya pada akhirnya ditolak.

Thalita hanya diam.

“Papa ingin kamu jawab jujur,” sambung Syarif lagi.

Thalita yang menunduk kini mendongakkan kepalanya.

“Sebenarnya kamu itu cari suami yang seperti apa? Kamu itu perempuan, nak. Umur kamu sudah dua puluh enam. Teman-temanmu juga sudah menikah semuanya. Terus kamunya kapan?”

“Si Rosa juga belum,” sahut Thalita. sedikit sebal dengan papanya. Namun Thalita tidak ingin mencak-mencak, dia tahu siapa yang dihadapinya.

“Setidaknya Rosa sudah punya pandangan. Dia sudah dengan tentara itu, kan?”

“Pacaran juga belum tentu berakhir ke pelaminan.”

Syarif kembali mengembuskan napasnya, lalu memijit pelipisnya. Percuma saja debat dengan putrinya yang selalu saja mengeluarkan sanggahan.

“Ta, kalau kamu nggak mau papa jodohkan ya kamu usaha dong. Kamu cari sendiri.”

Thalita menyandarkan punggungnya disofa sambil kedua tangannya dia rentangkan. “Haduh pa, Thalita malas. Nggak menikah juga nggak papa, kan?”

Dahi Syarif membentuk sebuah kerutan ketika mendengar apa yang baru saja diucapkan Thalita. “Ta, sepertinya kamu perlu ke Lingga.”

Cepat-cepat Thalita menoleh dan menatap Syarif dengan sarkatis. “Ngapain harus ke Lingga?”

“Ada yang nggak beres diotakmu ini. Bagaimana bisa berkata seperti itu.” Syarif menyentil tepat diubun-ubun Thalita. “Alasan apalagi kamu nolak untuk menikah? Alasan kuliah? Karir? Kamu sudah jadi PNS sekarang jadi papa rasa nggak ada alasan menunda untuk mencari pasangan hidup.”

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang