Mobil Fadhil berhenti tepat di sebuah resto ayam siap saji. Sebenarnya Thalita tidak mau menumpang di mobil mantan kekasihnya itu namun semua itu dia lakukan karena keterpaksaan. Thalita tidak bisa menolak permintaan Dinda. Apalagi Thalita yang penyuka anak-anak tidak tega membayangkan raut wajah Dinda yang bersedih karena penolakannya.
“Dinda mau apa?” tanya Fadhil di depan konter pemesanan makanan. Sedangkan Thalita hanya berdiri diam. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Pikirannya sejak tadi di dominasi hal-hal yang mengusik pikirannya. Apalagi saat ini Fadhil membawanya ke tempat makan untuk makan siang. Thalita jelas menjadi canggung. Pria yang ingin dia hindari mati-matian namun sekarang dia baru saja semobil dan akan satu meja makan dengannya.
“Kamu pesan apa?” tanya Fadhil. Namun Thalita masih tenggelam dalam pikiran kalutnya. Pandangan Thalita tidak terarah. “Ta..” tangan Fadhil menyentuh pundak Thalita sehingga berhasil menyadarkan Thalita dari lamunan.
Thalita yang mengetahui tangan Fadhil menyentuh pundaknya seketika dia harus singkirkan dengan kasar. “Kenapa?”
“Ngelamun terus,” ucap Fadhil. “Kamu mau makan apa?”
Thalita mendengus. Dilihatnya daftar menu di meja konter pemesanan. Dia lapar namun selera makannya hilang seketika. “French fries,” ucap Thalita dan di balas anggukan pegawai resto.
Fadhil melihat Thalita kemudian menoleh ke arah pegawai resto. “Ayam sama nasinya satu lagi, mbak. Kentang gorengnya nggak jadi,” ucap Fadhil.
Thalita seketika melihat Fadhil. Seenaknya saja pria itu memesan apa yang tidak di pesan oleh dirinya. Fadhil ternyata masih sama seperti dulu, selalu melakukan sesukannya. Thalita mengembus napas panjang lalu mengikuti Fadhil dan Dinda ke mejanya setelah apa yang di pesan sudah siap dimakan.
Tidak ada yang dilakukan Thalita saat ini. Dia hanya diam seribu bahasa. Makanan di hadapannya hanya dia amati dan malas untuk melahapnya.
“Bu guru, kok makanannya cuma dilihatin saja nggak dimakan?” tanya Dinda. “Kenapa? Nggak enak, ya?” kini dia berbisik.
“Hehe.. nggak, Dinda. Sebenarnya bu guru masih…..”
“Masih apa?” sahut Fadhil.
Thalita menoleh. Pandangannya kini saling beradu dengan mata Fadhil yang selalu memesona buatnya. Thalita hanya diam.
Fadhil mengambil nasi yang terbungkus di hadapan Thalita. Kemudian dia membuka bungkusannya. Dia juga mengambil kulit ayam itu dan menaruhnya di piringnya sendiri setelah itu dia menaruhnya lagi di hadapan Thalita. “Makan, Ta.”
Thalita menatap Fadhil. Dia tidak menyangka Fadhil akan melakukan itu. Fadhil melakukan persis ketika mereka masih merajut asmara. Setiap makan di resto ayam siap saji Thalita memang tidak menyukai bagian kulit ayamnya sehingga Fadhil yang selalu menjadi penampungan makanannya dan Fadhil juga yang bersedia melahapnya.
“Aku ke kamar mandi dulu,” pamit Thalita. Segera dia pacu langkahnya menuju kamar mandi.
Thalita ke kamar mandi untuk menangis, untuk meluapkan emosinya yang sudah memuncak. Dia sudah tidak bisa membendung air matanya lagi yang sedari tadi dia tahan. Kenapa Fadhil seperti itu? Kenapa Fadhil melakukan itu? Kenapa Fadhil menguak tentang kenangan itu? susah payah Thalita menghapusnya namun saat ini dia kembali masuk dalam kenangan yang sudah ingin dia kubur dalam. Sikap Fadhil justru semakin membuat Thalita susah untuk move on darinya.
“Fadhil… kenapa kamu muncul lagi……” Thalita menagis. Tangannya memegang bagian dadanya yang sesak. Dia membiarkan diri menangis sebisanya.
Hampir lima belas menit Thalita berada di kamar mandi. Thalita harus keluar karena takut Fadhil akan mencarinya. Apalagi sampai tahu Thalita pamit ke kamar mandi untuk menangis. Menangis karenanya, Fadhil tidak boleh tahu. Thalita menghapus air mata di pipinya lalu membasuh wajahnya dengan air yang mengucur di kran. Setelah itu dia kembali ke meja makannya.
Makanan di meja milik Fadhil dan Dinda sudah habis, hanya makanannya saja yang masih tersisa. Thalita lalu duduk di tempatnya, mengamati Fadhil yang kini sibuk menekuri ponselnya. Mungkin sedang sibuk mengurusi pekerjaan. Fadhil adalah seorang arsitek yang bekerja di sebuah perusahaan konstruksi di Surabaya. Sedangkan Dinda, namanya anak-anak, matanya celingukan melihat pengunjung di sekitar.
“Om,” panggil Dinda.
Fadhil menoleh. “Hem?” jawabnya.
“Dinda main kesitu, boleh?” pinta Dinda. Jari telunjuknya mengarah pada mainan luncuran yang berada di dalam resto ini. Mainan tersebut memang di sediakan untuk pengunjung anak-anak.
“Boleh, tapi hati-hati. Nggak boleh rebutan sama anak lain.”
“Siap, pak bos.” Dinda kemudian berlari menuju mainan itu. Bergabung dengan anak-anak lainnya.
Fadhil melihat Thalita. Makanannya belum sama sekali tersentuh. “Kok belum dimakan?” tanyanya.
“Hah?” Thalita menoleh. Wajahnya tegang namun sebisa mungkin dia harus bersikap tenang.
“Kamu diet?”
Thalita menggeleng.
“Terus?”
Thalita hanya diam.
Fadhil mengembus napas. “Kamu nunggu aku suapin dulu baru mau makan, hem?”
Bola mata Thalita membelalak. Entah kenapa dadanya kembali terasa sesak. Namun Fadhil kemudian tertawa. Bagaimana bisa dia tertawa seperti itu disaat hati Thalita merasa kalut karena dialah penyebabnya.
“Makan, Ta. Sambil nunggu Dinda asik bermain.”
Terpaksa Thalita harus menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Entah kenapa tiba-tiba makanan itu terasa hambar. Ya, mungkin karena adanya pria di hadapannya. Pelan-pelan Thalita mengunyah padahal dia sama sekali tidak selera makan. Pandangan Thalita tidak mau menatap pria itu lagi. Dia hanya menunduk mengamati makananya yang terasa pahit di lidahnya itu.
“Gimana pekerjaan kamu?”
“Hah?” Thalita refleks mendongak.
“Kerjaan kamu gimana?”
“Oh.. baik kok.” Thalita kembali menunduk. Mulutnya terpaksa dia sumpal kembali dengan nasi dan ayam.
“Sama Rosa lagi sekarang?”
“Iya,” jawab Thalita datar. Dia masih menunduk mengamati makanannya.
Bagaimana bisa Fadhil dengan santai berbicara itu kepadanya. Apakah dia sama sekali tidak ingat sudah melukai hati Thalita? Apakah dia tidak sadar akan kesalahannya selama ini? meninggalkan Thalita tanpa sebuah alasan. Meninggalkan Thalita begitu saja. Apa dia tidak merasakan perasaan Thalita saat ini karena dia.
“Ta, lihat aku kalau aku bicara,” ucap Fadhil.
“Kenapa lagi, sih?” tanya Thalita dengan intonasi bicara yang sedikit geram. Dia menatap Fadhil dengan rasa kesal. Namun secepat mungkin dia harus meredam. Dia tidak boleh terpancing amarah. Dia kemudian menatap piringnya. Menyingkirkan benda itu sedikit menjauh darinya. Makanannya masih tersisa setengah. Lalu dia beranjak untuk mencuci tangan dan setelah itu dia kembali.
“Fadh, aku pingin pulang,” ucap Thalita. “Sekarang.”
Fadhil menatapnya. Namun Thalita tidak ingin balik menatap pria itu.
“Kalau kamu masih nunggu Dinda aku pulang duluan…”
“Tidak,” sahut Fadhil. “Oke, kita pulang sekarang. Tunggu disini aku samperin Dinda dulu.” Fadhil memberi peringatan lewat telunjuk jarinya agar Thalita tidak pulang duluan.
Thalita melihat punggung Fadhil yang sedang berjalan menghampiri ponakannya. Dia mengembus napas. “Fadhil… kenapa kamu sama sekali tidak bisa aku benci……” gumamnya lirih.
Hal yang sulit bagi Thalita selama ini adalah menyingkirkan Fadhil dalam pikirannya. Thalita seakan larut dalam kenangan antara dirinya dan Fadhil selama ini. Dia selalu teringat tentang janji Fadhil yang akan mewujudkan impiannya untuk bersama. Sejak awal dulu Thalita berpikir hubungannya tidak akan mudah memperoleh restu dari pihak keluarga. Namun Fadhil terus menguatkannya dengan tekadnya yang akan berusaha berjuang bersama jika sesuatu yang tidak diinginkan Thalita itu terjadi.
Apalagi setelah Radit mengetahui hubungannya itu ketakutan Thalita semakin bertambah. Radit berubah menjadi pribadi yang angkuh ketika berhadapan dengannya. Salahkah dia mencintai sepupunya sendiri? Thalita bertahan karena Fadhil. Sebenarnya Thalita limbung dengan perasaannya menjalani hubungan dengan Fadhil. Namun pria itu selalu memberikan kekuatan bagi Thalita sehingga dirinya merasa yakin bahwa dia bisa melaluinya bersama Fadhil. Tetapi semua itu sangat disayangkan karena hubungannya harus kandas.
“Ayo kita pulang.” Fadhil sudah berdiri di hadapan Thalita. Dia menatap Thalita.
Thalita mengangguk. Mereka sama-sama berjalan keluar dari resto tersebut.
Fadhil melihat Thalita yang masih diam di tempat tidak jauh dari mobilnya terparkir. Kemudian dia menghampiri Thalita. “Kamu nggak masuk?”
“Aku naik taksi saja.”
“Tidak.”
Thalita menoleh. Dia tersentak kaget.
“Aku antar kamu pulang.”
Fadhil membuka pintu samping untuk Thalita. Dia menyuruh Dinda untuk menaiki kursi belakang. Thalita memejamkan mata sejenak. Diam. Lalu terpaksa memasuki mobil itu lagi.***
Thanks for reading...
KAMU SEDANG MEMBACA
Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)
ЧиклитThalita Naurah Rayyani, perempuan single berusia 26 tahun. Baginya, single adalah pilihan terbaik. Berbagai perjodohan yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya tidak membuat Thalita mudah menyerahkan hati. Masa lalu, penyesalan, dan cinta di anta...