Dua Belas

3.3K 221 5
                                    

“Kamu nggak papa, Ta?” tanya Fino.

Thalita menoleh. “Nggak papa, mas,” jawabnya datar.

Sejak tadi Thalita hanya diam dalam perjalanan pulang dari taman kota. Pandangannya hanya mengarah pada jalanan pagi hari. Seperti biasa dan selalu seperti itu, bertemu dengan Fadhil membuat hati Thalita tidak menentu. Dia seperti dilanda kekalutan.

“Sepertinya dia nggak rela kamu jalan sama orang lain, Ta.”

“Maksud mas Fino?”

“Tadi aku hanya mancing Fadhil saja bagaimana reaksinya.”

Dahi Thalita membentuk kerutan. “Reaksi? Reaksi apa? aku nggak ngerti.”

Fino menyentil kening Thalita. “Soal kamu yang dideketin tentara sama polisi yang akan aku kenalin ke kamu, itu semua hanya pancingan saja. Aku ingin tahu reaksi Fadhil bagaimana saat mengetahui itu.”

“Lalu? Menurut mas Fino bagaimana reaksinya?”

“Kamu ini bodoh apa emang pura-pura bodoh sih. Dia kikuk gitu saat dengar semua itu dan langsung penasaran. Apa kamu nggak tahu saat dia tanya ‘siapa’ saat kusebut tentang temenmu yang tentara itu?”

Thalita diam. Pandangannya menunduk. Dia berganti memainkan jari-jarinya. “Entah!” Thalita mengangkat bahunya. Lalu menyandarkan tubuhnya pasrah ke kursi mobil dan memejamkan matanya. Thalita tahu bagaimana reaksi Fadhil saat itu namun dia tidak ingin meyakinkan dirinya lagi bahwa ada raut wajah yang kurang suka pada Fadhil. Toh bagi Thalita itu percuma. Buat apa Fadhil tidak suka? Semua itu juga karena ulahnya sendiri. Kalau memang Fadhil tidak suka ada seseorang yang mendekati Thalita seharusnya dia tidak meninggalkan Thalita dengan seenak jidatnya seperti itu. Meninggalkan tanpa alasan penyebab hubungan mereka kenapa harus berakhir.

Kalau memang Fadhil benar merasa cemburu itu sudah terlambat. Thalita sudah tidak menginginkan Fadhil lagi. Meski perasaannya tidak bisa menampik kalau dirinya masih ada rasa dengan Fadhil namun untuk mencoba kembali lagi ke Fadhil itu sungguh tidak mungkin. Namun bukankah sesuatu di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin? memang benar, tapi bagi Thalita sendiri semoga tidak ada kemungkinan itu lagi. Thalita masih cinta tapi untuk bersama Fadhil dia sudah tidak ingin. Thalita terlanjur sakit hati.

“Kamu nggak coba ngomong lagi ke dia?” tanya Fino.

“Ngomong tentang apa?”

“Akhir dari hubunganmu.”

Thalita menggeleng. Dia merasakan kalau itu semua hanya percuma. Hatinya sudah terlanjur sakit. Jadi, alasan apapun yang akan dikatakan Fadhil tidak akan mampu mengganti kesedihan yang sudah dua tahun ini dia lalui. “Mas, nanti kalau sudah sampai rumah bangunin aku, ya.” Thalita memejamkan matanya.

Fino menoleh ke arah Thalita. Dia lalu mengembus napas panjang dan kembali fokus mengemudi.

***

Ini adalah hari Minggu yang membosankan yang baru dirasakan Thalita kali ini. Dia ingin tidur tapi tidak bisa tidur. Menonton TV tidak juga mengembalikkan mood-nya. Berbaring di ranjang sambil memainkan ponsel juga sama saja tidak mengurangi rasa kesalnya.

“Ish!” Thalita memukul boneka teddy bear-nya. Dia merasa kesal yang dia sendiri tidak tahu. Hanya saja setiap bertemu dengan Fadhil yang Thalita rasakan seperti ini. rasa kesalnya memang karena Fadhil.

Air mata Thalita tiba-tiba keluar. Membasahi kedua pipinya. Dia berganti duduk jongkok di atas ranjang sambil memeluk kedua lututnya. Dia menenggelamkan kepalanya. “Kenapa sih Fadh kamu tidak berhentinya menyiksaku? Seharusnya kamu nggak usah muncul lagi, seharusnya kamu nggak usah ada.” Air mata Thalita semakin luruh. Membasahi lengannya yang menopang dagunya. “Kenapa aku harus ketemu lagi… kam.. kamu.. itu… laki-laki.. yang.. benar.. benar.. breng…sek. Dan.. aku tidak seharusnya berpacaran… denganmu…”

Thalita kemudian menghapus air matanya. Dia menarik napas panjang dan mengeluarkan lewat mulutnya. Dia beranjak menuju kamar mandi. Niatnya setelah ini dia akan pergi ke mall, entah apa yang dirinya lakukan nanti Thalita masih tidak tahu, yang penting rasa kesalnya bisa hilang.

***

Thalita sudah menginjakkan kakinya di mall. Tangannya sudah menenteng paper bag berisi baju yang dia beli. Dia kini berganti melihat-lihat berbagai macam sepatu. Namun sepertinya dia tidak ingin membeli, tidak ada yang dia minati. Akhirnya Thalita keluar. Dia menuju ke restoran Jepang untuk mengisi perutnya yang sudah mulai lapar.

Setelah Thalita memesan di konter pemesanan, dia mengambil tempat duduk di sudut restoran. Thalita memang suka duduk di sudut ruangan. Terasa nyaman baginya dan dia tidak suka jadi pusat perhatian.

“Thalita.” Suara seorang perempuan memanggil namanya.

Thalita menoleh. Perempuan berhijab dengan gamis warna ungu violet menghampirinya. “Delvi?” dia kaget saat mengetahui perempuan itu adalah teman sewaktu kuliahnya dulu. Perempuan itu juga sempat menjadi rekan kerja sebelum Thalita di terima menjadi PNS.

“Ya Allah Ta, lama nggak ketemu kamu.” Delvi memeluk Thalita sambil bercipika-cipiki. “Aku kangen lho sama kamu, Ta.”

Thalita melepaskan pelukan Delvi. “Duduk dulu, Del,” suruhnya. “Aku juga kangen sama kamu. Iya nih kita lama udah nggak ketemu.”

“Iya. Sejak kamu diterima jadi PNS. Wah.. beruntung kamu ya, Ta,” puji Delvi.

“Hehe.. nasib baik berpihak padaku, Del.”

Delvi celingukan. “Kamu kesini sendirian saja?”

Thalita mengangguk. “Sama siapa lagi?”

“Sama Fadh…il…” Delvi sedikit ragu mengatakannya.

Thalita tersenyum lalu menggeleng. “Kamu ‘kan tahu aku sudah tidak lagi sama dia, Del.”

“Oh ya, baru-baru ini aku lihat dia jalan sama perempuan, Ta.”

Seringai senyum yang Thalita sunggingkan perlahan memudar. Mendengar ucapan Delvi baru saja kenapa terasa sakit baginya? Apa benar yang dikatakan Delvi? Thalita menunduk. Dia menarik napas berat. Kenapa hatinya seperti tertusuk-tusuk? Apa Thalita masih belum rela jika Fadhil dengan perempuan lain sama seperti halnya dia mengetahui Fadhil berada di toko perhiasan dengan perempuan waktu itu sehingga membuatnya menangis sejadi-jadinya. Thalita kembali menarik napasnya.

“Eh.” Delvi menutup mulutnya. “Astaghfirullah.. maaf ya, Ta.” Dia menggenggam jemari Thalita. Merasa bersalah karena sudah memberitahu seperti itu.

Thalita balik membalas genggaman Delvi. “Iya nggak papa Del,” jawabnya. “Dia mungkin sudah berbahagia dengan orang lain dan aku… sudah tidak berhak atasnya.” Thalita menepuk-tepuk tangan Delvi.

“Kamu masih berharap sama dia, Ta?”

Thalita melihat Delvi dengan tatapan nanar. Hatinya kembali bimbang. Apakah dia masih berharap tentang Fadhil? Thalita menggeleng kecil. Tidak.. itu tidak seharusnya. Thalita harus ingat rasa sakitnya. Fadhil sudah begitu dalam menorehkan luka. Apa yang harus dia harapkan lagi? rasa sakitnya sudah tidak bisa dimaafkan lagi.

“Aku.. aku berusaha untuk tidak berharap lagi padanya.”

“Kenapa? Bukankah cinta harus diperjuangkan?”

Thalita menggeleng pelan. “Itu tidak mungkin. Hatiku masih sakit sekali.”

Delvi tersenyum. “Kamu yang sabar ya, Ta. Insya Allah akan dapat ganti yang lebih baik dari Fadhil.”

“Aku sudah tidak ingin menjalani hubungan lagi, Del. Aku.. ingin sendiri saja.”

“Iya untuk saat ini kamu masih perlu sendiri, tenangin hati kamu dulu, tapi untuk ke depannya nanti tidak, kan?”

“Sekarang dan seterusnya.”

“Ta…”

Belum sepenuhnya Delvi berbicara. seorang pelayan sudah mengantarkan pesanan. Delvi pun terpaksa tidak melanjutkan apa yang akan dia katakan untuk Thalita. Wajah Thalita berubah sendu dan Delvi tidak ingin melihat temannya seperti itu jadi dia mencari pembahasan lain.

***

Adakah yang sedih?

Thanks for reading..

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang