Dua Puluh Tiga

2.9K 203 4
                                    

Mobil Lingga berhenti di sebuah rumah mewah dekat dari rumah sakit tempat dia bekerja. Dia melihat Thalita lalu menyuruh perempuan itu menyusulnya keluar dari mobil. Thalita memandangi rumah mewah yang didesain dengan apik itu, terdapat air mancur di tengah taman depan menuju pintu rumah entah siapa pemiliknya. Rumahnya sendiri juga besar, namun tidak sebesar rumah yang saat ini dia pijaki.

“Akhirnya kamu datang juga, Ga.” Suara perempuan membuat Thalita membuyarkan pandangannya mengamati rumah tersebut.

Lingga berjalan menghampiri perempuan setengah baya itu lalu memeluknya. “Baru sempat datang sekarang, Tan,” jawab Lingga melepaskan pelukan perempuan itu.

Perempuan itu melihat Thalita. “Ini calon isterimu, Ga?”

Lingga mengangguk.

“Cantik, cocok sama kamu,” ucap perempuan itu lagi, lalu memeluk Thalita. “Ayo, kalian duduk dulu.”

Baik Thalita maupun Lingga mendudukkan diri. Kemudian perempuan itu pamit untuk mengambil sesuatu yang katanya ingin dia tunjukkan kepada Thalita dan Lingga. Sepuluh menit kemudian perempuan itu kembali sambil membawa kotak beludru berwarna merah.

“Ini sesuai pesanan mamamu, Ga.” Perempuan itu membuka kotak beludru berwarna merah sehingga membuat Thalita tercengang. Kotak itu berisi dua cincin berawarna silver yang mewah. “Mamamu minta pesankan cincin untuk pertunangan kalian. Ini cincin limited edition dan harganya jangan tanya lagi. You know, mamamu itu nggak mau kalau nggak pakai barang branded, apalagi untuk momen pertunangan kalian.”

Lingga melirik Thalita yang sejak tadi diam. Kerongkongan Thalita seketika terasa kering. Apa benar dia harus bertunangan dengan Lingga? Pertanyaan itu yang saat ini berputar-putar di otaknya.

“Ta,” panggil Lingga.

Thalita terbangun dari lamunannya. “Ya?”

“Kamu suka?”

Thalita diam lagi. Lalu menatap dua benda mewah dalam kotak itu. “Oke,” ucapnya sambil mengembus napas pasrah.

***

Thalita mengaduk-aduk jus jambu merahnya. Petang ini dia berada di café tempat di mana dia biasa nongkrong bersama Rosa.

“Woi!” kibasan tangan Rosa akhirnya membuyarkan lamunan Thalita.

“Hobi banget ya ngagetin orang,” gerutu Thalita.

“Kamu bengong mulu, awas nanti kesambet genderuwo, lho.”

“Nggak usah ngaco deh.”

“Kenapa lagi?” Rosa menumpu dagunya, sementara Thalita mengembus napas panjangnya.

“Aku sudah memutuskan untuk menerima pertunangan dengan Lingga.”

“Yakin?”

Thalita mengangguk. “Walau itu terpaksa.”

Suara decakan keluar dari mulut Rosa. “Kalau kamu nggak suka ngapain kamu terima pertunangan itu?”

“Aku terpaksa,” Kedua mata Thalita  berkaca-kaca. “Aku terpaksa menerima pertunangan itu. Aku nggak bisa menolaknya. Papa dan Mama sudah tahu hubunganku dengan Fadhil.”

“Apa?” Rosa tersentak kaget. “Kok bisa?”

“Mas Radit yang sudah memberitahu soal itu.” Thalita menceritakan kronologi perdebatan antara dirinya dan kakaknya waktu itu. “Aku terpaksa menerima pertunangan pakasaan itu.”

Rosa menggenggam jemari Thalita. “Pertunangan paksa ini mungkin jalan untukmu bisa menemukan cinta yang lain, jalan untukmu membuka hati kembali.”

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang