Dua Puluh Enam

3.1K 208 35
                                    

Baru pukul sebelas siang, Thalita sudah berada di ruang guru. Hari ini tidak ada pembelajaran efektif, karena sedang ada penilaian tengah semester. Thalita berkutat dengan kertas lembar jawaban, mengoreksi hasil jawaban murid-muridnya. Satu persatu lembaran-lembaran itu Thalita koreksi sampai mengabaikan ponsel yang sedari tadi berkedip-kedip. Notif tanda pesan masuk.

“Ta,” panggil Rosa dari arah mejanya. Dia juga sama seperti Thalita.

“Hem.”

“Gimana nomor asing kemarin?”

“Oh itu Mas Satriya.”

Rosa menghentikan menulis di atas lembar kertas koreksianya. Dia meletakkan pulpennya dengan asal, lalu menghampiri Thalita dengan gerakan cepat.

“Kamu yakin itu Mas Satriya?”

“Iya.” Thalita menjawab tanpa melihat Rosa yang sudah duduk di dekatnya. Seketika tangannya yang sedang menulis pun dia hentikan. Thalita melihat Rosa. “Kamu tanya nomor asing yang mana?”

“Yang mana lagi kalau bukan nomor yang sering neror kamu itu. Memangnya ada nomor asing yang neror kamu lagi?” tanya Rosa penasaran. Tatapannya penuh selidik. “Terus katamu tadi tentang Mas Satriya?”

Thalita menepuk keningnya. Kenapa dia memikirkan Satriya?

“Aku pikir kamu bertanya soal Mas Satriya.”

Rosa mengerut Dahi. “Wait! Kamu nggak papa, kan?” telapak tangan Rosa menyentuh dahi Thalita. “Siapa juga yang tanya soal Mas Satriya?” kini tatapan Rosa kembali menyelidik. “Kamu sedang mikirin Mas Satriya? Hayo ngaku!”

“Ih, apaan sih!”

“Terus?” Rosa masih tidak percaya.

“Semalam ada yang menelepon pakai nomor asing, ternnyata itu Mas Satriya. aku pikir kamu menanyakan nomor asing punya Mas Satriya.” Thalita kembali ke posisi semula, berkutat dengan kertas-kertasnya.

Terdengar embusan napas Rosa. Dia kemudian beranjak ke mejanya. “Aku pikir nomor asing yang sering menerormu itu Mas Satriya. Sumpah! hampir saja aku berasa shocking soda.”

“Lebay!” Thalita melempar remasa kertas yang berbentuk bulat, tepat mengenai kepala Rosa.

“Sialan!” umpat Rosa.

***

“Ta, nonton yuk!” ajak Rosa sambil berjalan menuju gerbang sekolah.

“Nonton apa?”

“Joker, gimana?”

Thalita menoleh, lalu menyipitkan kedua matanya. “Enggak!” tolaknya.

“Katanya bagus, lho.” Rosa masih bersikukuh meyakinkan Thalita.

“Aku lagi nggak pingin nonton.”

“Pinginmu apa?”

“Pingin gampar Fadhil,” ucap Thalita asal.

“Yasudah, silakan gampar saja! Mumpung orangnya ada juga.”

Langkah Thalita seketika berhenti, lalu menatap Rosa. “Maksud kamu?”

“Itu ada Fadhil!” Mata Rosa mengarah ke gerbang sekolah. Menyuruh Thalita untuk melihat siapa yang sedang berdiri di sana.

Mata Thalita nyaris terbelalak. Melihat Fadhil entah sejak kapan pria itu sudah berdiri di sana. Thalita melihat jam di pergelangan. Pukul setengah satu siang. Fadhil tidak mungkin ada di sini untuk menjemput Dinda, karena keponakannya itu sudah selesai dua jam yang lalu.

“Kamu ngapain ada di sini? Dinda sudah pulang sejak tadi. Kalau tidak salah lihat dia dijemput sama Mbak…”

“Aku kemari untuk menemuimu.” Belum selesai Thalita berbicara, Fadhil sudah memotongnya. “Aku mohon, Ta.”

“Nggak bisa. Aku pulang bareng Rosa,” pungkas Thalita.

Apa yang dikatakan Thalita memang benar. Dia ingin pulang bersama Rosa. Meski rumahnya dan Rosa berbeda arah, tetapi khusus hari ini Rosa ingin mengantarkannya pulang. Dalam hati sebenarnya Thalita ingin fasilitas pribadinya dikembalikan, toh dia juga sudah bersedia bertunangan dengan Lingga.

“Turuti saja, Ta,” bisik Rosa.

“Apa kamu udah gila?” sentak Thalita. Namun suaranya lirih. “Kamu tahu sendiri resikonya kalau ketahuan sama Mas Radit.”

“Ya.. caranya.”

“Cara apa?”

“Kamu ajak saja dia ke tempat yang tidak begitu ramai orang. Atau tempat yang tidak mungkin dikunjungi Mas Radit bahkan keluargamu.”

Thalita terdiam. Menimbang apa yang baru saja dikatakan Rosa. Dia sendiri masih bimbang antara ikut dengan Fadhil atau menghiraukannya. Kenapa Fadhil selama ini selalu muncul kembali dalam kehidupannya? Thalita juga penasaran. Lantas, apa ini ada hubungannya dengan nomor asing yang beberapa hari ini selalu menerornya?

Thalita mengembus napas. “Oke, aku ikut denganmu,” putus Thalita. Sebenarnya dia juga ingin mengetahui kenapa Fadhil terus menerus mengajaknya untuk bicara.

Oke.”

Fadhil sudah membuka pintu mobilnya untuk Thalita. Terlihat wajahnya yang begitu lega saat Thalita menyetujui untuk ikut dengannya.

“Kita ke warung Mak Yem saja,” kata Thalita. Mobil Fadhil sudah berjalan.

“Apa?!” Fadhil tersentak kaget.

Thalita tahu konsekuensi mengajak Fadhil ke warung Mak Yem akan membuat kembali bernostalgia. Warung Mak Yem adalah tempat dirinya dan Fadhil pergi makan saat masih berpacaran dulu.  Mereka berdua sering makan di sana, sebab jarak kontrakan Fadhil dan warung itu begitu dekat.

“Kenapa?” Thalita mencoba memberanikan diri menatap Fadhil. Karena selama ini dia tidak berani bertatap muka dengan pria itu lebih lama.

“Kamu yakin ingin makan di sana?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Apanya?”

“Kenapa kamu ingin makan di sana? Sedangkan sudah banyak restoran di Surabaya.”

“Ya pingin saja makan di sana, sekalian ketemu sama Mak Yem,” jawab Thalita asal. Bukan itu alasan sebenarnya. Thalita hanya tidak ingin pertemuanya dengan Fadhil diketahui orang. Akan menjadi masalah besar jika keluarganya tahu.

“Kamu merindukan Mak Yem apa kisah dua tahun yang lalu?”

Mobil Fadhil berhenti di sebuah warung sederhana di dalam rumah kecil dengan cat biru muda. Di kaca rumah itu bertuliskan “Warung Mak Yem”. Fadhil lebih dulu turun, sedangkan Thalita masih tercengang dengan ucapan Fadhil.

“Astaga! Apa yang baru saja kudengar?” Thalita mengusap wajahnya kasar.

“Turun.” Fadhil membuka pintu mobilnya. Melihat wajah Thalita yang begitu kentara sekali terkejut.

Thalita segera turun dari mobil dan mengikuti langkah Fadhil memasuki warung Mak Yem. Thalita melihat wanita paruh baya sedang duduk sambil melihat serial drama India yang diperankan aktor Arjun Bijlani.

“Nak Fadhil?” Mak Yem begitu kaget melihat Fadhil menghampirinya. “Lho, Nak Thalita juga? Masya Allah.. sudah lama kalian ndak kemari. Ayo wes ndang dipesen mau makan apa,” kata Mak Yem dengan senyum seperti sangat merindukan seseorang.

“Kita makan seperti bisanya. Mak Yem masih ingat kesukaan Thalita?” Fadhil memang berbicara kepada Mak Yem, tetapi pandangannya mengarah ke Thalita.

Apa lagi ini? batin Thalita. Dia hanya bisa  tersenyum.

“Penyetan Ayam, toh? Daun kemanginya yang banyak, ndak pakai mentimun.” Ternyata Mak Yem masih mengingat makanan yang sering dipesan Thalita, padahal Thalita sudah lama tidak mampir ke warung ini hampir dua tahun lamanya.

“Hahahaha.” Fadhil terbahak.

Setelah dua tahun berlalu, Thalita melihat tawa Fadhil kembali. Segera dia menggeleng kepala, tidak ingin mengingat masa lalu. Dia mengembus napas, lalu memainkan ponselnya agar tidak merasa canggung dengan suasana hatinya yang halu.

Mak Yem sudah membawakan pesanan Thalita dan Fadhil. Menaruhnya di atas meja mereka. Fadhil dan Thalita berada pada satu meja, saling berhadapan, begitu dekat. Warung yang tidak ada pengunjung siang ini, hanya mereka berdua.

“Kamu mau bicara apa?” tanya Thalita sambil tangannya sibuk dengan makanan. Sedikit canggung untuk memulai obrolan. 

“Makan dulu. Bicaranya nanti,” jawab Fadhil.

Mereka berdua hanyut dalam keheningan. Sibuk dengan makanan masing-masing. Tidak ada alunan musik yang mengiringi seperti saat makan di restoran. Hanya kicauan burung yang sengaja Mak Yem pelihara di depan warungnya.

Lima belas menit mereka berdua menandaskan makanan. Fadhil menyingkirkan piring makanannya agar dia bisa melipat tangannya di atas meja.

“Ta,” panggil Fadhil.

Thalita yang baru saja mengusap mulutnya dengan tisu pun menoleh.

“Aku minta maaf, mungkin  sebelum bicara aku…”

“Langsung saja kamu mau ngomong apa?” potong Thalita.

Oke,” jawab Fadhil sambil menatap Thalita. “Sebaiknya kamu tidak melakukan pertunangan dengan Lingga, Ta. Sebelum semuanya terlambat dan kamu akan menyesal…”

Belum selesai Fadhil berbicara, Thalita menggebrak meja di depannya. Dia sudah berdiri dengan tatapan murka. Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di pipi kiri Fadhil. “Sudah kuduga kalau ternyata kamu adalah dalang di balik semua ini.” Thalita meraih tasnya kemudian meninggalkan Fadhil. Dia keluar dari warung Mak Yem sambil menangis.

***

Hollaaaaaaaa

Maaf baru bisa update cerita mereka. Mamaknya Thalita sibuk hehe

Hemm... Ternyata Padil toh orangnya yang selama ini neror bu guru? Minta dijewer itu kupingnya.

Kalian tim mana nih?

Thalita - Fadhil

Thalita - Lingga

Thalita - Satriya

Mamak kok kangen lugunya Mas prajurit yess??

Thanks for reading...

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang