Dua Puluh Delapan

2.7K 215 36
                                    

Thalita baru saja sampai di sebuah kafe yang berada di Jalan Dharmahusada. Kafe milik chef terkenal di Indonesia, Chef Arnold Purnomo dan tunangannya. Pandangan Thalita melihat sekitar kafe yang lumayan banyak pengunjung, juga orang-orang yang sambil berfoto bersama. Karena kafe ini memiliki tempat yang bernuansa modern dan feminism, tetapi cocok untuk berbagai usia.

Seorang pelayan baru saja menghidangkan es krim yang baru saja dipesan oleh Thalita. Tanpa pikir panjang, Thalita langsung menyantap es krim itu. Thalita memang suka es krim, apalagi di saat mood-nya lagi kacau, dia bisa menghabiskan beberapa es krim sekaligus.

"Maaf, sudah nunggu lama." Satriya baru saja tiba di kafe ini. Kepala dan sebagian bajunya terlihat basah. Di luar sedang hujan dan Thalita baru saja menyadarinya.

"Lumayan." Thalita melihat arloji. "Dua puluh menit lah. Aduh, maaf ya, Mas Satriya harus kehujanan gara-gara nurutin aku."

"Nggak papa. Sedikit saja basahnya ini."

Satriya mengamati Thalita yang tengah lahap menikmati es krimnya. "Hujan-hujan gini makan es krim." Dia menggelengkan kepala.

"Memangnya kenapa? Oh ya, Mas nggak pesan juga?"

"Nggak. Adik saja."

"Kok gitu? Mas cuma lihatin aku makan doang tanpa pesan?"

"Mas nggak begitu suka es krim. Adik saja yang makan. Oh ya, ada apa ngajakin Mas bertemu?"

Thalita berhenti menyendokkan es krim ke mulutnya. Saking enaknya menikmati es krim, dia lupa tujuannya mengajak Satriya bertemu. Thalita kemudian mengambil tasnya, lalu mengeluarkan sebuah benda persegi dengan lapisan pita berwarna merah muda menyala. "Ini Mas," ucapnya memberikan benda itu.

Satriya tercenung sesaat, mengamati undangan berwarna merah jambu itu. Tangannya mengambilnya dengan teramat pelan. "Apa ini?"

"Itu...undangan pertunanganku."

Satriya menatap Thalita. Menembus retina milik Thalita, menyelami bola mata perempuan itu yang terdapat keraguan. Thalita memang sebenarnya ragu dengan pertunangannya. Namun, hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menjaga keutuhan hubungan dengan keluarganya dan kebaikan dirinya sendiri. Dia tidak ingin Fadhil terus menerus mengganggunya. Thalita berharap, pertunangannya dengan Lingga nanti membawa sebuah harapan baru untuknya. Meski dia sama sekali tidak mencintai lelaki yang berprofesi sebagai dokter jiwa itu, tetapi Thalita ingat pesan mamanya bahwa cinta akan tumbuh dengan sendirinya.

"Aku harap, Mas Satriya datang, ya," pinta Thalita.

"Tiga hari lagi, ya?" tanya Satriya setelah melihat tanggal pertunangan di undangan itu. "Kayaknya Mas nggak bisa datang, Dik."

"Kenapa?"

"Mas ada tugas."

Thalita mengerutkan dahi. "Acaranya malam, kok. Masak malam-malam ada tugas?"

"Hehehe, seorang prajurit tidak peduli siang atau malam untuk bertugas, Dik. Masalahnya, tugas Mas tidak di sini."

"Lalu?"

"Mas ditugaskan ke Papua besok pagi. Makanya malam ini Mas nggak bisa lama-lama bertemu. Mas harus persiapan sebelum terbang ke sana."

"Berapa bulan?"

Satriya tersenyum, mengamati wajah cantik Thalita untuk terakhir kalinya sebelum dia terbang ke Papua untuk menjalankan tugas teritorialnya. "Mas akan di sana selama satu tahun."

"Oh."

Susana pun berganti hening. Hanya alunan musik kafe dan rintikan hujan di luar sana. Udara dingin mulai menyerbu. Thalita menandaskan es krimnya, sedangkan Satriya hanya terdiam dan sesekali melirik undangan merah jambu itu.

"Kalau sudah selesai kita pulang, ya," ajak Satriya.

Thalita mengangguk. Dia meraih tas di samping kursinya. Kemudia dia berjalan menuju pintu keluar mengikuti Satriya yang sudah terlebih dulu. Di luar masih hujan. Meski tidak begitu deras, tetapi cukup membuat tubuh basah kuyup jika tidak menggunakan mantel. Satriya melihat Thalita yang sedang bingung. "Kenapa?"

"Mas Satriya pulangnya gimana?"

"Hehehe, kok malah tanya tentang Mas. Justru Mas yang tanya kamu pulangnya gimana, hem?"

"Aku bisa pesan taksi online. Tapi, Mas bawa motor. Pasti sampai di markas basah kuyup."

Satriya terdiam sesaat. Memandangi mendung yang tak tampak karena langit sudah gelap. "Mas mau nganter kamu pulang, tapi Mas takut."

"Takut kenapa?"

Satriya tertawa kecil. Kemudian dia mengahadap Thalita sambil memegangi kedua pundak perempuan itu. "Mas nggak mau babak belur."

"Babak belur?"

"Mas nggak mau dong disangka nyulik calon tunangan orang."

Thalita terdiam. Entah apa yang baru saja dikatakan Satriya seperti ada sesuatu yang berbeda dari pria itu. Mengapa Thalita jadi merasa sedikit bersalah?

"Hahaha, Mas bisa saja. Calon suamiku bukan orang yang frontal."

"Baguslah. Kalau frontal langsung ajak dia bertemu Mas."

"Ngapain? Mas mau hajar dia sampai babak belur?"

"Nggak. Itu terlalu mudah."

"Lalu?"

"Mas mau lempar rudal ke mukanya."

Thalita tertawa mendengarnya. Dia memukul bahu Satriya berkali-kali karena menurutnya itu lucu.

"Mas titip pesan ya, Dik." Kini wajah Satriya lebih serius dari sebelumnya.

"Apa?"

"Baik-baik dengan calon suamimu. Cintai dan sayangi dia. Hilangkan segala keraguan yang selama ini sudah mengganggumu."

Sebuah taksi tiba-tiba berhenti di depan mereka berdua. Ternyata taksi itu Satriya yang memesannya untuk Thalita, sebelum perempuan itu memesan untuk dirinya sendiri.

"Pulanglah! Hati-hati di jalan." Satriya membuka pintu taksi itu. Thalita menurut, tetapi masih dalam wajah kebingungan dengan tingkah Satriya malam ini.

"Pak, antarkan perempuan cantik ini sampai ke rumahnya. Dia adalah penentu masa depan bangsa dan anak saya nantinya." Satriya menutup kembali pintu taksi, lalu berlari kecil menuju motornya terparkir.

Thalita mengamati pergerakan Satriya melalui kaca jendela taksi yang ditumpanginya. Pria itu sudah memacu motor dinasnya, menembus rintiknya hujan yang belum sepenuhnya reda.

***

Dikit saja nggak papa ya.. pokoknya update. Hehehe edisi khusus Thalita - Satriya.
Mana penggemarnya?

Penggemar Thalita - Lingga sabar dulu, apalagi Thalita - Fadhil 😂

Thanks for reading

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang