PROLOG

5.9K 363 70
                                    

"Satu es coklat dari kedai Brunneis?"

Gadis berambut sebahu itu mendengus. Melempar bantal ke tempat tidur, sejurus kemudian membenamkan wajah di sana. "Enggak, makasi."

"Ayolah, Shaf." Si penelpon tampaknya belum jengah merayu, "Tumben lo nolak es coklat itu."

Menghela napas kasar, Shafiya bangkit. Minggu fajarnya kandas karena ajakan Retta pergi ke toko buku sepagi ini. Ralat, sepertinya, kata 'sepagi ini' hanya berlaku bagi Shafiya. Nyatanya, raja siang di luar sana telah menggelincir tinggi di atas kepala---yang artinya, ini sudah memasuki pukul 10.00 pagi.

"Kenapa hari minggu lo nggak pernah produktif, sih." Suara cempreng Retta masih bergema di ponsel Safiya. Mencecarnya dengan pertanyaan yang lebih mirip pernyataan.

Shafiya menguap lebar, tangannya terulur untuk menutup mulut. Sementara mata pandanya berair lantaran semalam sutuk insomnia menyerang waktu tidurnya.

Dengan malas-malasan, Shafiya menekan opsi ikon telepon bewarna merah di layar ponsel---mengakhiri pembicaraannya dengan Retta secara sepihak.

Mood gadis itu benar-benar berantakan sekarang. Es coklat kedai Brunneis tampaknya sudah tidak mempan lagi.

Mata yang terasa kantuk berat, perut kram akibat tamu bulanan, sesak di dada karena Raldi tidak mengacuhkannya seharian dan ajakan mendadak Retta pergi ke Gramedia. Kurang apalagi penderitaan Shafiya di hari weekend-nya saat ini?

Setelah kesekian kali menguap lebar, Shafiya memejamkan mata. Berniat melanjutkan mimpi indahnya ketika dilamar Raldi---senior yang sebangku dengan gadis itu ketika ujian akhir semester.

Akan tetapi, harapannya dipaksa pupus saat sebuah dering panggilan dengan penelpon yang sama kembali meneror ponselnya satu menit setelah Shafiya mengakhiri pembicaraan.

Awalnya, Shafiya berniat mengabaikan panggilan itu saja dan kembali bergumul dengan bantal, guling dan kasur empuknya.

Akan tetapi, Retta tidak patah arang dan membanjiri ponsel Shafiya dengan beberapa kali panggilan.

Karena sudah tidak tahan dengan suara bising yang ditimbulkan, diraihnya benda pipih persegi panjang tersebut gusar. Lalu, mendecih jengkel.

"Apalagi, sih? Gue udah berapa kali nolak lo, Ret?" keluh Shafiya seraya meloloskan decakan sebal. Sahabatnya itu memang keras kepala kalau sudah memiliki kemauan, seperti sekarang ini. "Ajak Laras aja, gih."

"Nggak bisa. Laras ada arisan keluarga. Lo yakin nggak mau nyusulin gue ke Gramedia?" bujuk Retta sekali lagi, tapi kali ini nadanya terdengar sedikit melembut.

Menyadari hal ganjil dalam nada suara Retta yang tidak seperti biasa, Shafiya menaikkan sebelah alis. "Ada apa emangnya?"

Tak terdengar sahutan. Hanya hiruk pikuk pengunjung Gramedia yang mengisi percakapannya dengan Retta.

"Retta?"

Retta tertawa geli di sebrang telepon, menimbulkan kerutan dalam di kening Safiya. Gadis berambut sebahu itu bangkit, bersila di atas tempat tidur dengan tangan kanan terulur menempelkan ponsel ke daun telinga.

"Shaf, lo pasti girang banget kalau tahu ini."

"Gue nggak bakal girang kalau nggak ada hubungannya sama Kak Raldi," dalih Shafiya asal.

Retta masih cekikikan. "Kak Raldi emang nggak ada. Tapi...."
Cewek bermata coklat terang itu menggantungkan kalimatnya di udara. Sengaja memancing tanda tanya besar di benak Safiya.

"Tapi apa?" pancingnya tidak sabaran. Kalau sudah berurusan dengan Raldi, kantuk Shafiya seolah meluap. Mata gadis itu berkilat cerah.

"Gue nemu buku non-fiksi terlaris minggu ini, judulnya Panduan Mendekati Gebetan." Retta menjeda kalimatnya sesaat, lalu, meraih buku bersampul merah muda dengan ilustrasi Mr. Cupid dari rak. "Dari cover sih, keliatan menarik banget! Ada testimoninya lagi. Ciamik, deh."

Mata Shafiya refleks melebar mendengar informasi teman sebangkunya itu. Wajah masamnya berubah cerah dalam hitungan detik. Selama ini, dia memang sering membaca tips memacari gebetan di internet, akan tetapi selalu berujung di lubang kegagalan.

Siapa tahu dengan buku---yang kata Retta termasuk jajaran buku non-fiksi terlaris---mampu melelehkan hati Raldi yang kelewat idealis itu?

"MAU MAU MAU," teriak Shafiya heboh. Kantuk, kram perut, dan rasa kecewa di dadanya meluruh kala mendapat info cemerlang dari sahabatnya.

"Cepet sini, gue tunggu!"

Tut ... tut ... tut....

Sambungan telepon dimatikan sepihak.

Dalam hati, Shafiya menjerit. Membayangkan memiliki buku itu dan wajah kaku Raldi ketika tersenyum saja sudah membuat langkahnya terayun cerah menuju kamar mandi.

Shafiya sudah memutuskan. Dia harus ke Gramedia. Sekarang.

***

a/n
Balik lagiii sama karya baruku <3
Makasi yang udah vote, komen, dan baca cerita ini. Aku sangat menghargai apresiasi kalian.

Semoga sukaa dengan cerita ini. Masih prolog sih eheh, nanti kalau udah memasuki chapter 1 dan seterusnya, kita bakal kenalan sama Safiya, Retta, dan Raldi lebih dalam ><

Salam Sayang,
Diffean.

Panduan Mendekati GebetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang