Tips 7: Mencoloklah Di Depan Gebetan (2)

555 92 2
                                    

"Den, lo kan anak OSIS ya dari zaman SMP. Menurut lo, jadi ketua OSIS tuh harus gimana, sih?" tanya Shafiya iseng seraya mendaratkan pantat ke sofa ruang keluarga.

Di luar dugaan, respon adik tirinya tersebut justru sangat hiperbola. Dia memandang Shafiya dengan sorot ngeri dari atas sampai bawah sembari meloncat ke atas sofa. "Lo kesurupan, Mbak? tanyanya linglung.

"ASTAGA! INI BENERAN SHAFIYA MAYRELZA KAKAK TIRI GUE YANG CEREWET MINTA AMPUN DAN TUKANG MAGER ITU BUKAN, SIH!?"

Merasa kesal terhadap reaksi adiknya yang berlebihan, Shafiya mengerucutkan bibir. Dilemparnya bantal sofa tepat ke wajah Auden seraya berdecak geram. "IYA, INI GUE SHAFIYA!"

Auden menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sejurus kemudian, pemuda tersebut menempelkan telapak tangannya ke dahi Shafiya dengan penuh kecurigaan. "Nggak panas, kok."

"Gue nanya serius, Auden," seloroh Shafiya malas."Gue tuh menjalani apa yang tertera di buku Panduan Mendekati Gebetan."

Auden memicingkan mata. Mulai curiga. "Kenapa nanya-nanya tentang ketua OSIS, lo mau daftar jadi ketua OSIS?"

Hening. Shafiya tampak menimang-nimang aksi nekatnya sejenak. Gadis berambut sebahu tersebut mengigit bibir bawahnya---tanda kalau sedang bingung.

Menghela napas berat, Auden menghempaskan tubuh di samping Shafiya, sorot matanya kini berubah serius. "Mbak, jadi ketua OSIS itu amanahnya berat. Apa lo yakin, hanya karena cowok lo mau terlibat dalam organisasi merumitkan begini? Gue tahu mbak, lo anaknya mageran dan males berurusan sama hal semacam itu."

"Jadi ketua OSIS itu nggak melulu tentang leaderhip. Tapi lebih dari itu," lanjut Auden setelah sunyi menguasai keadaan.

"Apa gue punya jiwa pemimpin?" gumam Shafiya yang ditunjukan kepada dirinya sendiri.

Tangan kanan Auden merangsek menepuk pelan bahu Shafiya. "Pikirin mateng-mateng dulu." Lalu, pemuda tersebut beranjak menuju lemari camilan di meja dapur.

Selama beberapa saat, Shafiya mulai merenungi perkataan Auden. Benar juga. Dia tidak pernah aktif berorganisasi. Pasif. Bagaimana bisa dia menjadi ketua OSIS? Lawakan yang lucu, bukan?

Namun, di buku panduan tertera jadilah yang mencolok di depan gebetan. Jika Shafiya terpilih sebagai ketua OSIS, pasti dirinya akan lebih bersinar di mata Raldi.

Lagipula, bukankah di periode sebelumnya Raldi juga pernah mencalonkan diri sebagai ketua OSIS tetapi gagal? Kalau saat ini dia berhasil Raldi pasti kagum kepadanya.

Harusnya, begitu. Tapi, ia tidak tahu apa kata semesta.

***

Terik matahari terasa membakar. Membias pada wajah-wajah yang dibanjiri keringat. Debu bercampur polusi mengudara menjadi satu kesatuan dengan panasnya udara.

Seorang pria dengan walkie-talkie di tangan berjalan hilir-mudik membelah keramaian acara persiapan festival sekolah. Langkah kakinya yang panjang, membuatnya berjalan setengah berlari mengawasi kegiatan panitia lain.

"Dindaa, HUMAS gimana? Ada kendala?"

"Sedikit," sahut Dinda tanpa menoleh karena dia sibuk dengan anggota HUMAS yang lain. "Sponsor dari salah satu produk makanan bakalan nelat masang tenda. Harusnya H-1 udah siap semuanya dan tinggal gladi bersih."

Raldi mengagguk, lalu meneruskan langkah. "Koor Sie Acara gimana?" Ia mengirimkan tatapan pada pria bertumbuh bongsor di hadapannya. "Ada kendala?"

Pria itu menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Bingung gue, kelas X MIPA 6 belum konfirmasi mau nampilin apa di acara FKS. Padahal udah diobrak dari kemarin sama anak sie acara."

"Besok harus komplit semua yaa." Walkie talkie di tangannya bergetar, kemudian disusul dengan gemerisik bunyi tersendat.

"Test, koor sie konsumsi masuk. Raldi, raldi, urgent."

"Raldi masuk. Urgent kenapa?" sahutnya dengan napas memburu. Bola matanya beredar membidik setiap kegiatan panitia lain di lapangan belakang SMA Dharma Bakti yang super luas.

Di tengah-tengah luasnya lapangan tersebut, berdiri panggung megah dengan lampu sorot yang belum rampung digarap 100% di sudut sayap timur lapangan---dekat tenda putih tempat backstage.

"AFKAR, PERKEMBANGAN ANGGOTA LO GIMANA?" teriak Raldi pada Afkar--sang Ketua Koordinasi Tata Panggung.

Sebagai respon, Afkar mengacungkan jempol. "Sipp, 60%, Ral."

"Koor sie konsumsi masuk. Raldi, konsumsi buat panitia belum dateng, Mela kena tilang pas ngambil konsumsinya."

"Test ... test. Sinta masuk. HAA? KOK BISAA KENA TILANGG!?" Terpaksa, Raldi menjauhkan walkie talkie itu dari indra pendengarannya. Ia meringis, mengelus telinganya yang perih akibat teriakan heboh Sinta di walkie talkie.

"Test, Raldi masuk. Kena tilang di di daerah mana?" Pria itu mendaratkan pantatnya di bawah pohon akasia. Meluruskan kaki-kakinya sesaat seraya mengipasi wajahnya sendiri yang didekap udara panas.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar dari dalam saku. Ia sedikit berjenggit, tidak biasanya ia menyalakan ponsel saat kerja lapangan. Mungkin lupa karena terburu-buru.

Menggaet ponsel itu sejenak, Raldi mengangkatnya tanpa melihat siapa si penelpon.

"Lo di mana?" todong suara di sebrang sana yang tak lain dan tak bukan Agam, abangnya.

"Di Dharma Bakti, ngurusin H-5 FKS. Kenapa?"

"Gistav masuk rumah sakit."

Info dari Agam sontak membuatnya tersentak. Ia tiba-tiba bangkit, tubuhnya menegang, bulir-bulir keringat dingin terpatri di kenungnya, sementara matanya terbelalak. "Kok bisa!?"

"Lambung Gistav bermasalah lagi. Maag kronisnya kambuh."

Kebimbangan merayap di lubuk hatinya. Ia memilin celana denim yang dia pakai gelisah. Raldi berkali-kali mengigit bibir bagian bawahnya---tampak berpikir jernih dalan situasi seperti ini.

"Terus gimana keadaannya sekarang?"

"Dia nyariin lo."

Kalut. Raldi mengusap wajahnya geram. Kenapa harus dia yang terjebak dalam situasi sepert ini?

***

Shafiya's Note

Ikut, enggak, ikut, enggak, ikut, enggak, ikut....

Apa gue harus ikut pemilihan ketua OSIS?

***

a/n

Shafiya galauin Raldi, tapi Raldi malah galauin Gistav :''''

Duh gemes aku tuhh.

Salam Sayang,
Fean

Panduan Mendekati GebetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang