"Itu bukan Gistav. Itu Ristav."
"Maksudnya?" Lipatan di kening Shafiya berkerut semakin dalam. Batinnya bertanya-tanya mencari titik terang.
Lantas, apa hubungannya ketidakhadiran Raldi saat janjinya kemarin dan foto dua anak kecil tersebut?
"Namanya Ristavia Ezperanza. Dia sahabat kecil Kakak." Lelaki berjaket army itu menunduk dalam. Kedua tangannya memeluk lutut yang sudah tidak lagi berselonjor. Sementara Shafiya tak berusaha menyela, ia menjadi pendengar yang baik.
"Maaf, untuk yang kemarin Kakak ingkar janji. Kakak pikir, dengan nggak menjelaskan alasannya ke kamu, itu bakal jauh lebih baik."
"Terkadang, aku lebih suka dibohongi, Kak. Karena lebih manis untuk dijalani. Daripada kejujuran yang malah menimbulkan pahit," gumam gadis berambut sebahu itu, pelan. "Dulu, sebelum Papa nikah lagi sama Tante Ayu---yang sekarang jadi Mama tiriku, Mama kandungku meninggal karena kanker serviks genap lima tahun yang lalu." Shafiya mulai bercerita. Ia membuka diri, menyalurkan cerita kelam yang selama ini hanya Retta dan Laras yang tahu.
Toh, momen yang tepat, begitu pikirnya. Raldi yang kaku dan singkat jika terhadapnya---membuka diri. Jadi, mengapa ia tidak ikut bercerita tentang masa lalunya?
Bukankah itu akan menciptakan awalan yang baik?
Duduk berdua bersama Raldi di balkon kamarnya merupakan momen yang tak pernah ia bayangkan. Sebagai gadis yang mudah terbawa perasaan, tentu hati Shafiya kembali meluruh. Dinding pertahanannya runtuh. Amarahnya meluap sudah tidak lagi utuh.
"Awalnya, aku berharap Papa menciptakan kebohongan-kebohongan manis tentang penyakit Mama. Memberitahuku seolah Mama baik-baik saja ... dan kami akan tetap hidup bahagia." Perasaan Shafiya bergetar menceritakan peristiwa memilukan tersebut. Gadis itu mengarahkan seluruh atensinya pada mata jernih Raldi yang menunduk. Ia pun melipat lutut, memeluknya erat, lalu menempelkan dagu di sana.
"Tapi nyatanya, rambut rontok Mama memberitahuku seakan kondisi Mama sedang nggak baik-baik aja setiap harinya." Satu kristal bening lolos dari pelupuk matanya. Dengan cepat, ia menyekanya kasar, lalu memaksakan seulas senyum palsu. Senyum palsu yang retak.
"Dulu, aku beranggapan kejujuran itu menyakitkan. Pahit rasanya. Lebih baik dibohongi, manis yang tercipta. Tetapi sayangnya, cuma sesaat," kekeh Shafiya, spontan---membuat Raldi refleks mendongakkan kepala. Menatap mata bulat Shafiya yang dilapisi selaput bening.
"Lambat laun, aku jadi belajar tentang makna kejujuran itu sendiri," desis gadis berambut sebahu itu ketika mengenang masa lalunya. "Semenjak Mama mengakhiri hidup seusai mengalami masa kritis yang panjang, aku merasa .... terjebak dalam lubang penyesalan. Harusnya, aku tahu kondisi Mama semakin parah. Harusnya, aku sadar Mama sedang nggak baik-baik aja. Harusnya, aku ngerti perpisahan itu akan selalu ada. Bodoh."
"Tapi saat itu, aku lebih suka membohongi diri sendiri dan dibohongi oleh orang lain. Aku suka kebohongan-kebohongan manis meski hanya SESAAT." Ia menekan kata 'sesaat' sebelum melanjutkan ucapannya yang terjeda.
"Dari situ, aku jadi menyesal. Nggak seharusnya aku menciptakaan kebohongan-kebohongan manis akan penyakit Mama. Nggak semestinya aku membohongi diri sendiri serta menolak kejujuran pahit dari dokter. Ternyata, setelah aku sadar ... kejujuran itu kayak obat."
Raldi mematung, menatap mata bulat adik kelasnya tidak percaya. Ia sendiri juga tak menyangka jika adik kelasnya yang cerewet, banyak tanya, cengeng, anak rumahan, penggila buku romants itu mempunyai masa lalu sekelam ini.
"Kenapa kayak obat?"
"Obat, meski pahit ... dia menyembuhkan. Lama-lama, bakal nggak pahit lagi. Pahitnya cuma di awal. Selebihnya, berakhir bahagia meski kita sempet mengecap rasa pahit. Beda sama kebohongan yang manis di awal, tapi cuma sesaat. Endingnya malah rasa pahit. Boro-boro menyembukan, membuat penyesalan? Jelas!"
Senyum Raldi terpatri, tulus. Tangannya refleks terulur menupuk bahu kecil Shafiya. Melihat mata bening gadis itu yang berkaca-kaca membuatnya tak tega.
"Jadi ... Kak Raldi."
"Apa?"
"Aku nggak masalah Kakak cerita jujur kenapa kemarin Minggu kita nggak jadi pergi. Mulanya, memang berat. Tapi setelah mengingat cerita lima tahun silam tentang Mama dan naifnya aku saat itu, aku berusaha lebih ikhlas...," jeda sesaat sebelum Shafiya mempersiapkan diri.
"Menerima kejujuran meski pahit dibanding kebohongan yang manisnya hanya sesaat."
Pemuda berjaket army itu mengigit bibir bagian bawah. Kelu menyelimuti batinnya. Hal yang selama ini ia takuti adalah: luka lamanya kembali menguar.
Akan tetapi, menjad penyebab utama seorang perempuan menangis bukanlah hal yang diajarkan ibu dan bapaknya selama ini. Meskipun ia tidak memiliki perasaan apa pun kepada Shafiya, tetapi jiwa kemanusiannya juga tak akan membiarkan gadis itu menangis karena dirinya. Ia merasa---menjadi orang paling jahat di dunia.Menghela napas panjang, Raldi mulai bercerita. "Kamu bener, kemarin Kakak nggak jadi dateng karena harus menjaga Gistav di rumah sakit, maag kronisnya kambuh."
"Jadi bener?" Satu buah pil pahit kejujuran kembali Shafiya telan.
Memang begitu jalan ceritanya, siapa ia jika memaksakan Raldi hadir di hari itu?
Pacar? Sahabat? Keluarga?
Ia bahkan sekadar adik kelas pemuda tersebut. Tidak lebih.
Bisa saja, alasan Raldi membalas senyumnya cuma karena nilai kesopanan. Tanpa membawa perasaan lebih. Ia saja yanh saat itu keegeran.
"Iya. Kakak terlalu khawatir sama dia. Karena ... foto lama yang kamu pegang."
Menunjuk potret seseorang di foto lama Raldi, Shafiya terperangah. "Ini!? Apa hubungannya?"
"Ristav itu sahabat Kakak dari kelas 3 SD sampai 3 SMP."
"Hanya sampai kelas 3 SMP, sih. Setelah itu, persahabatan kami hancur."
"Kok bisa?"
"Dia meninggal. Tapi sebelum meninggal, dia kayaknya benci sama Kakak."
Mata Shafiya kontan terbelalak kala mendengarnya. Ia membungkam mulutnya sendiri dengan telapak tangan kala mengetahui fakta masa kanak-kanak Raldi.
"Kenapa?" tanyanya, prihatin.
"Belum saatnya kamu tahu." Raldi tiba-tiba mengalihkan pembicaraan agar Shafiya tidak bertanya lebih jauh sebab kematian Ristav.
"Ah ya! Sebelum Ristav meninggal, dia sempat menitipkan Gistav sama Kakak."
"Jadi, Kakak udah kenal lama sama Kak Gistav? Jauh sebelum dia jadi anak baru di kelas Kakak?"
Hening, tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Raldi setelah itu. Sebagai respon atas pertanyaan Shafiya, ia hanya mengangguk singkat.
Mendengar pengakuan terus terang pemuda organisotoris tersebut---meski tak seluruhnya diungkapkan secara gamblang, membuat hatinya berdenyut nyeri.
Logikanya mulai bekerja memutuskan dua pilihan atas situasi yang sedang ia hadapi;
Memperjuangkan,
Atau,
Mengiklaskan.
***
Catatan (nggak guna) Raldi
Maaf, Shaf. Belum waktunya kamu tahu fakta sebenarnya. Maaf kakak masih bohong.
Kakak bohong bukan untuk melukai kamu.
Hanya kakak yang belum siap menceritakan semuanya.
Haha.
Pengecut ya?
***
a/n
Fean udah nulis cerita ini sampai chapter 40, kemungkinan bakal tamat ya sekitar 45 an, atau bahkan kurang. Jadi, jangan bosen-bosen sama Shafiya dan Raldi 😂😂
Maaf sekali lagi ya karena telat update dikarenakan tyduck ada hotspot temen :(
Salam Sayang,
Diffean
KAMU SEDANG MEMBACA
Panduan Mendekati Gebetan
Novela JuvenilReading List Teenlit Indonesia Mei 2019 [COMPLETED] [Tahap Revisi Perlahan] Hal terbodoh yang pernah Shafiya lakukan: 1. Merogoh kocek lumayan dalam demi membeli buku Panduan Mendekati Gebetan. 2. Rela antri berjam-jam untuk mendapatkan buku terlari...