(non tips) Dua Hati yang Terluka

584 95 0
                                    

Suara pintu yang berderit sukses menghentikan aktivitas gadis beriris hazel yang sibuk tenggelam dalam buku Biologi pinjaman perpustakaan.

Kepala gadis itu menengadah, mengarahkan atensi pada sosok yang baru saja memasuki kamar rumah sakitnya. Barangkali suster yang akan mengganti selang infus.
Atau Agam yang setia menjenguknya meski kelabakan antara skripsi serta dosen pembimbing. Dan, tidak menutup kemungkinan Raldi beserta teman sekelasnya seperti Marsha, Dito, Alex.

Akan tetapi, sosok yang kini melenggang dengan high heels setinggi lima senti, rambut yang hitam klimis, dipadu blazer hitam dan rok sepanjang lutut, serta raut wajah khas masyarakat liberal, sontak membuatnya menutup buku Biologi secepat kilat.

"Mama?"

Perempun yang dipanggil Mama itu tersenyum tipis. "Kenapa bisa seperti ini?" tanyanya tanpa basa-basi.

Hening. Tidak ada respon. Gadis beriris hazel itu menghela napas panjang. Malas dengan suasana yang membuat dadanya sesak.

"Kamu telat makan, Gistav?" Meski wajah datarnya selalu mendominasi, akan tetapi perhatian kepada anak semata wayangnya selalu ia utarakan.

"Enggak, kok." Gistav beralasan.

"Kok bisa kambuh? Apa karena---"

"Bukan," sela gadis bermata hazel itu, cepat.

Menghela napas kasar, seseorang berbalut blazer hitam tersebut mengelus rambutnya lembut. "Kita sama-sama kehilangan, tapi bukan berarti saling menyalahkan."

Gistav tiba-tiba tertawa hambar. Terdengar pahit. Sementara bahunya naik-turun menahan tangis yang siap meledak. Sekuat tenaga ia berusaha menatap lekat-lekat sosok di hadapannya---sosok yang selama ini dia rindukan---tetapi juga ia tidak sukai sekaligus.

"Sadar nggak sih, Ma? Mama sadar nggak kalo selama ini nganggep Gistav itu Ristav?" ujarnya telak. Benteng pertahannya runtuh, kristal bening jatuh perlahan mengenangi pipinya, kenangan tiga tahun lampau menguar berhamburan di ruangan. Ia menggigit bibir bagian bawahnya dalam-dalam.

"Justru, selama ini, sikap Mama yang secara nggak langsung menyalahkan Gistav. Mama sadar nggak tentang hal itu!?" Tangisnya mulai pecah, isaknya tak terbendung, dadanya sakit bergemuruh menahan sesak yang kian meronta, pasokan oksigen di sekitarnya terasa menipis.

Menghela napas panjang, sosok berbalut blazer hitam itu akhirnya angkat suara. "Kamu salah paham." Setitik kristal bening lolos dari pertahanannya. "Kamu salah paham, Gistav."

"Salah paham?" Gistav menyeka air matanya kasar. Dia benci situasi seperti ini. Apalagi sosok yang kini bersadar di sebelah ranjangnya membuat kenangan tiga tahun lampau berpendar di seisi ruangan.

"Lalu, kenapa Mama malah sibuk ngurusin proyek perusahaan di Aussie? Ninggalin Gistav gitu aja di rumah mewah itu? Kenapa Mama pindah rumah setelah Ristav meninggal? Mama sadar kalo selama ini berharap banget Gistav itu Ristav?"

Tiba-tiba, sebuah dekapan hangat memeluk tubuh ringkih Gistav yang bergetar karena tangis. Wanita berblazer hitam itu mengelus rambut pirang Gistav lembut, mengecup ujungnya penuh kasih sayang.

"Enggak, bukan begitu."

"Memangnya apa yang perlu dijelaskan? Sudah tidak ada lagi."

Perempuan berblazer hitam itu menghembuskan napas panjang. Kristal bening di pelupuk matanya sudah tidah tahan ia bendung. Salah satu dari mereka harus ada yang mengalah jika tidak ingin kesalahpahaman ini terus berlanjut. "Maaf, Gis. Mama memang belum sepenuhnya mampu melupakan Ristav. Kamu juga, kan? Maaf, kalau selama ini Mama egois. Mama ninggalin kamu untuk mengubur luka," jeda sejenak.

Gistav menahan napas, menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.

"Tapi, satu hal yang perlu kamu tahu, Gis." Wanita berblazer hitam itu menengadah, berusaha membendung air matanya yang menerobos tumpah. "Mama nggak pernah nganggep kamu Ristav. Kamu tetep Gistav. Hanya saja, Mama perlu waktu untuk melupakan kejadian tiga tahun yang lalu."

"Kita berdua sama-sama perlu waktu. Jadi, Mama nggak usah nyalahin Gistav kenapa bisa masuk rumah sakit. Gistav juga perlu waktu. Sama kayak Mama."

***

"Shafiya." Raldi mempercepat langkah. Sedikit berlari untuk mensejajari jaraknya dengan Shafiya yang terpaut lumayan jauh.

Alih-alih menghentikan langkah, gadis berambut sebahu itu justru melengos malas seraya menarik lengan Retta Laras sekali sentakan. "Ayo, buruan ke kedai Brunneis."

"Shafiya," teriak Raldi tak patah semangat. Tubuh jangkungnya menerobos hiruk-pikuk koridor yang telah dipenuhi murid SMA Dharma Bakti yang bergegas pulang sekolah atau sekadar menuju ruang ekstrakulikuler.

Sejak jam pelajaran pertama, Raldi telah merencanakan aksi permintaan maaf untuk kedua kalinya kepada Shafiya di kantin saat istirahat pertama. Akan tetapi, sepertinya gadis berambut sebahu itu menghindari keberadaannya. Ia tidak menemukan sosok kurus Shafiya yang biasanya selalu di kantin atau menemuinya ke perpustakaan.

Jadi, tepat ketika bel pulang sekolah berdering, dengan sigap Raldi berlari ke arah kelas Shafiya. Namun naas, gadis itu sudah pergi terlebih dahulu.

"Shaf." Napasnya memburu, keringat bercururan membasahi pelipisnya tatkala berlarian membelah keramaian untuk menyusul langkah cepat Shafiya. "Kita harus ngomong bentar." Raldi membungkuk, mengatur ritme napasnya agar kembali normal.

"Nggak perlu," tolak Shafiya dingin sambil meneruskan langkah menuju parkiran.

Sementara itu, Retta yang sedari tadi membeku---melayangkan tatapan datar kepada Raldi dan Shafiya secara bergantian. Perasaan dongkol menyusup di benak Laras kala sorot matanya tak sengaja mengerling ke arah pemuda bergigi gingsul yang kini bersikeras meminta maaf kepada Shafiya atas tindakannya kemarin.

"Kak Raldi, Shafiya-nya nggak mau, tuh," sindir Laras tajam. "Mending pulang aja, deh. Nggak usah ngejelasin segala. Eh, jangan pulang ding. Mending jenguk Kak Gistav aja gimana? Kemarin 'kan Kakak jenguk dia seharian."

Mendengar nama Gistav disebut, Shafiya sontak menoleh kepada Laras dengan kening berkerut.

"Iya, dia kemarin tiba-tiba batalin janji sama lo karena jenguk Kak Gistav."

Tawa Shafiya kontan berderai. Hambar. Terdengar pahit. Kristal bening menggenang di pelupuk matanya. Hatinya lagi-lagi dihempaskan setelah dibawa terbang tinggi. Perih. Nyeri itu datang kembali, sebongkah batu besar yang menyesakan itu menyapanya untuk kesekian kali.

"Oh, gitu ya ternyata," tutup Shafiya dengan suara serak. Lalu, gadis itu kembali melangkahkan kakinya ke area parkiran tanpa menghiraukan paksaan Raldi.

***


Shafiya's note

Benci sama Kak Raldi itu percuma. Karena udah terlanjur sayang, jadi bencinya susah. Adanya sayang melulu.

***

Panduan Mendekati GebetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang