Mendengar celotehan di ruang tamu, Arini sontak mengalihkan pandangan. Sorot matanya mendapati Agam yang sengah mengobrol dengan seorang gadis berkulit kuning langsat dengan rambut sebahu yang tergerai. Tatapan gadis tersebut terperangah ketika menatap piala-piala penghargaan milik Raldi.
Senyum Arini tertarik ke atas. "Itu Shafiya, ya?"
Raldi seketika menoleh. Beranjak cepat menuju ruang tamu, lalu menyapa Shafiya dengan senyum semringah.
Ramah. Iya, Raldi harus berlaku ramah kepada Shafiya karena status 'teman' yang dia gaungkan. Tapi, antipati juga perlu agar Shafiya tidak bernasib sama seperti Ristav.
Sebisa mungkin, Shafiya balas tersenyum riang meski hatinya terkoyak lebar karena luka.
"Sekarang, yuk, Shaf," ajak Raldi menggomandoi.
"Kalian mau ngapain, sih?" Agam yang merasa diacuhkan, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Cowok berkoas putih itu mendaratkan tubuhnya di sofa sambil memicingkan mata.
Alih-alih Raldi yang menjawab, Arini justru keluar dari dapur sambil membawa buku resep yang tertinggal. "Bikin kejutan buat ngerayain ulang tahun Ristav."
Agam sontak bangkit. Matanya membulat cerah mendengar ide menarik Raldi. Sambil mengangguk-angguk setuju, ia menambahi. "Wah boleh, tuh. Kita rayain di rumah Gistav aja gimana? Nanti gue yang ngalihin perhatiannya dia. Terus, kalian berdua bikin kue di sini, bawa ke rumah Gistav. Sedangkan gue yang ngajak Gistav jalan-jalan."
Memutar bola matanya malas, Raldi mencibir, "Yeuw! Bilang aja Abang mau modus sama Gistav."
Arini yang menyaksikan perdebatan kecil kedua putranya lantas tertawa. "Kalian ini, udah-udah. Ada Shafiya masa berantem." Ia kemudian mengambil kunci motor yang diletakan di meja ruang tamu, "Maaf, ya, Ibu nggak bisa bantu. Ibu harus ke rumah customer yang mau ngadain arisan."
Agam dan Raldi mengangguk mengerti. Sejurus kemudian bersaliman tangan kepada Arini diikuti Shafiya. Selepas melambaikan tangan, ia menancapkan gas.
"Eh iya, gue ke Gistav dulu, ya. Lo siapin kue dan kejutannya sama Shafiya." Agam melempar seringai penuh makna. Sejurus kemudian, memelesat pergi sesaat setelah menyambar jaket dan kunci sepeda motor yang diletakan tak jauh dari ruang tamu.
Dan kini, tinggalah dirinya bersama Raldi. Suasana canggung menguasai keduanya. Gadis berambut sebahu itu memilin tali tas selempang rajut gugup, berdua dengan Raldi dengan jarak yang berdekatan bisa membuat perasaannya meleleh kembali. Sial.
Inget, Shaf, inget. Ini cuma temen.
Untuk mencairkan suasana, Raldi berdeham. "Yuk, bikin cupcake." Pemuda itu beringsut menuju dapur sesaat setelah tersenyum gamang pada Shafiya. Shafiya mengikuti dari belakang. Ah, seandainya Raldi tau bagaimana perasaan Shafiya saat ini....
Di satu sisi ia tidak rela move on. Tapi kata hatinya mengiyakan saja ajakan Raldi untuk berteman meski itu perlahan melukai perasaannya.
Raldi mulai sibuk mempersiapkan bahan dan alat. Shafiya mengamati bingung dengan dahi berkedut. "Kak Raldi, aku nggak bisa bikin cupcake."
"Nggak masalah. Kakak aja yang buat, kamu nanti bantu-bantu. Oke?" kekehnya ramah sambil meletakan satu buah coklat batang yang telah dipotong dadu kepada Shafiya. "Kamu lelehin coklatnya, Kakak yang bikin adonan."
Shafiya menurut tanpa membantah. Gadis itu mulai menjalankan aba-aba dari Raldi. "Kakak bisa bikin cupcake?" Ia membuka percakapan. Bosan juga hanya berdua tetapi saling senyap.
"Bisa. Ibu Kakak 'kan buku usaha kue-kue pastry gitu, Shaf."
"Kalo Papa Kakak?"
Seketika, raut wajah Raldi mengeras. Tidak ada binar dalam sorot matanya. Senyumannya pun pudar. Menyadari pertanyaannya melukai perasaan, Shafiya buru-buru meminta maaf. "Maaf, Kak, kalo menyinggug. Aku nggak tahu," sesalnya merasa bersalah.
Raldi tersenyum tipis, mengangguk maklum pada Shafiya, lalu melanjutkan aktivitasnya menguleni adonan dengan mixer. "Bapak Kakak udah meninggal kayaknya, Shaf. Beliau diculik satu hari setelah menjadi demonstran penegak HAM pada tragedi berdarah akhir Mei 1998. Dulunya, beliau seorang jurnalis yang sering mengkritik pemerintah pada era orde baru melalui artikel-artikel yang dimuat di koran. Bapak sangat benci hal seperti itu terus berlangsung."
Hati Shafiya terenyuh. Ia lantas mengarahkan atensi pada pemuda idealis di sebelahnya. Sosot matanya menyiratkan perasaan iba.
"Bapak Kakak ditawan di Pulau Buru. Tempat penculikan para aktivis pada era orde baru. Pramoedyo Anantha, Munir, Widji Thukul, Marsinah, Ucok Hambali, banyak banget aktivis yang mendekam dan disiksa di sana. Bahkan, sampai sekarang pun kasus-kasus itu nggak pernah diusut. Dalang di balik Tragedi Kelam Indonesia belum ditemukan."
"Kakak jadi pengen jadi penerus Bapak. Aktivis penegak HAM yang nggak tinggal diam saat hak asasi manusia diabaikan. Itu sebabnya Kakak ikut banyak organisasi, aktif dalam perkembangan politik, dan banyak kegiatan kemanusiaan lainnya."
Memang benar. Pesona Raldi itu seperti magnet yang mampu menarik afeksinya kembali. Shafiya mengembuskan napas lelah.
"Kak...," panggil gadis itu setelah jeda sesaat. "Raih Jika Kamu Ingin." Ia mulai membacakan bait demi bait yang tertuang dalam puisi di malam FKS.
Ketika sampai baris terakhir, Raldi tiba-tiba menambahkan, "Menggapai mimpi-mimpi yang dulu tak terarah.
Menciptakan kisah-kasih baru menggungah."Bibir Shafiya lantas tertarik ke atas.
"Kamu juga semangat untuk menggapai mimpi, ya."
Seketika, tubuh Shafiya menegang. Gadis itu refleks menghentikan aktivitasnya.
Mimpi....
Shafiya tak pernah memikirkan hal tersebut sebelumnya. Yang ada di pikiran gadis itu selama ini hanyalah: tidur, novel, kedai Brunneis dan Raldi.
Raldi membuka perspektifnya. Menegurnya yang selama ini menjadi gadis apatis dan tak memiliki impian-impian besar. Selalu bertindak spontan dan ceroboh. Raldi menyadarkannya akan hal itu.
"Kenapa, Shaf?" Merasa ada yang janggal dengan lawan bicaranya, Raldi pun mendekat, "Eh itu udah selesai. Sekarang kamu bikin cream-nya aja pakai bahan yang udah aku siapin di atas meja."
Shafiya menurut, meski batinnya bergejolak. "Kak, hidupku selalu stagnan. Aku nggak punya mimpi besar seperti Kak Raldi. Jadi ya ... aku nggak tahu mimpi-mimpiku apa aja," akunya sambil memisahkan putih telur.
"Untuk menggapai mimpi, kamu harus punya target-target pendukung dulu, Shaf. Target ini yang akan membantu kamu mencapai impian utama. Misal, kamu pengen jadi dokter, nah target pendukungmu kamu harus masuk jurusan IPA, kuliah kedokteran di UI lewat SBMPTN, co-ass, dan lain sebagainya."
"Belum ada."
"Ada!"
"Tapi, akunya belum bisa."
"Bisa, Shaf, bisa. Semua itu tergantung diri kamu. Yang menggendalikan hidupmu ya diri kamu sendiri, kamu yang punya kontrol dan kendali untuk berada di zona nyaman atau berubah menjadi lebih baik. Orang lain hanya bisa menyampaikan. Tapi, untuk membuat aksi terjadi dari sini."
Usai mengucapkan kalimat tersebut, dalam hati, Raldi berkata:
Semoga kamu nggak pilih stuck Shafiya. Karena aku sendiri juga lagi di fase stuck.
Stuck ke kubangan masa lalu dan sedang mencari pelampiasaan.***
Shafiya's Note
Berteman dengan Kak Raldi enggak salahnya. Dia sosok yang memberikan banyak inspirasi tentang hidup.
Di sini waktunya untuk gue merelakan semuanya. Yah, gue udah berada di ambang kesabaran.
Cara terbaik untuk mecintai seseorang adalah dengan mengikhlaskan.
***
a/n
Shafiya makin labil gaes :(
Gemes akutu. Dasar ABG labil *padahal dirinya sendiri ABGSalam Sayang,
Diffean
KAMU SEDANG MEMBACA
Panduan Mendekati Gebetan
Fiksi RemajaReading List Teenlit Indonesia Mei 2019 [COMPLETED] [Tahap Revisi Perlahan] Hal terbodoh yang pernah Shafiya lakukan: 1. Merogoh kocek lumayan dalam demi membeli buku Panduan Mendekati Gebetan. 2. Rela antri berjam-jam untuk mendapatkan buku terlari...