(non-tips) Maaf, Shafiya

600 100 4
                                    

Dengan tas ransel yang disampirkan asal, Raldi berjalan lesu menuju koridor kelas XII IPS. Wajahnya terlihat kusut, mata pandanya kian menghitam, rambutnya acak-acakan.

Tidak seperti biasanya, waktu memasuki kelas pun raut wajahnya setia tertekuk. Tanpa berbasa-basi atau sekadar menyapa Alex, Dito dan Marsha, Raldi segera bersandar pada punggung kursi.

"Tumben, pagi-pagi udah lesu," komentar Dito seraya membalikan tubuhnya menghadap Raldi.

Raldi berdecak. "Aku bikin Shafiya nangis lagi."

"Lo apain lagi tuh anak?" tanya Alex tanpa melepaskan tatapan matanya yang sedang sibuk menyalin PR Sejarah Peminatan Marsha.

"LO BIKIN SHAFIYA NANGISSS!?" pekik Marsha seketika, gadis manis berjilbab putih itu segera berlari ke arah Raldi, duduk di samping kursinya lalu menopang dagu. "Jelasin ke gue sekarang, Ral," desisnya tajam.

Menghembuskan napas gerah, Raldi mengacak rambutnya frustrasi. "Aku lupa kalo ada janji sama dia, kemarin jagain Gistav. Maag kronisnya kambuh."

Spontan, Marsha, Dito dan Alex membelalak lebar. Dahi mereka menyernyit, heran. Meminta penjelasaan.

"Hah? Serius? Kok lo nggak bilang sama kita-kita, sih? Gistav punya maag kronis?" Marsha menggit bibirnya khawatir. "Terus, sekarang gimana keadaannya?" tanya gadis itu seakan melupakan perihal Shafiya.

"Itu rahasia kecil Gistav. Maaf, aku nggak beri tahu kalian dulu."

Alex mengangguk, tampak mengerti. Dito menghentikan aktivitas mencatatnya, lalu memandang bangku Gistav yang hari ini tidak masuk sekolah prihatin.

"Aku ngerasa bersalah banget sama Shafiya. Dia udah nungguin aku sampe lima jam lamanya, eh ternyata---aku yang dengan nggak tahu dirinya ini---malah ingkar janji. Ngebuat dia nunggu tanpa kepastian, karena 80 pesan dari Shafiya nggak kubalas dan lebih dari 10 panggilannya nggak kuangkat." Raldi memulai percakapan.

"Terus?" selidik Marsha.

"Aku baru inget kalo ada janji sama Shafiya di jam delapan malem." Merasa bersalah sekaligus menyesal, Raldi menghembuskan napasnya panjang. "Saat itu, yang ada di pikiranku refleks 'minta maaf sekarang juga'. Pas aku pergi ke rumah Shafiya buat minta maaf, dia malah pergi gitu aja."

"Kok gue kesel ya dengernya," komentar Marsha begitu Raldi selesai bercerita. "Gimana Shafiya nggak marah coba kalo lo suruh nunggu selama itu."

"Ral." Akhirnya, Alex angkat suara. "Gue tahu, lo paling nggak suka saat ada cewek yang naksir sama lo. Lo pasti bakal bersikap jutek ke dia supaya dia berhenti memiliki perasaan suka sama lo. Harusnya di kasus Shafiya ini, lo seneng dong udah berhenti membuat Shafiya berharap?"

Sontak, Raldi mematung.

Benar juga apa yang dikatakan Alex. Kenapa di kasus Shafiya dia sangat menjaga perasaan adik kelasnya itu? Dia tidak mau Shafiya menangis sementara dia juga HARUS menghentikan perasaan Shafiya kepada dirinya agar tidak jatuh terlalu dalam.

Jadi, faktor apa yang membuat Raldi seperti itu?

Dia sendiri juga tidak tahu.

***

Guyuran air keran westafel yang segar membasuh wajah letih gadis berpita oranye  tersebut selepas pelajaran olahraga.

Ia menarik napas dalam-dalam, membilasnya sekali lagi sembari memikirkan bagaiman cara mengingatkan Shafiya untuk berhenti mengambil hati Raldi.

Sebenarnya, Laras sudah di-chat kakak sepunya---Marsha---yang merupakan teman karib Raldi perihal masalah tersebut. Marsha juga memberitahu dirinya, jika Shafiya dan Raldi di hari minggu telah merencanakan pergi ke toko buku bekas bersama untuk sharing, akan tetapi, hal tersebut dibatalkan lantaran Raldi yang harus menjaga Gistav.

"Rese," umpat Laras, terdengar murka. Gadis jangkung berpita oranye itu menutup keran westafel, menyisir rambut kucir kudanya dengan jemari, lalu melenggang dari kamar mandi.

Baru beberapa langkah dirinya keluar, Shafiya---dengan wajah ditekuk dan mata sembap berjalan beriringan dengan Retta yang menepuk-nepuk bahunya prihatin.

"Laras," sapa Shafiya, suaranya sedikit serak. Gadis berambut sebahu itu mempercepat langkah menyusul Laras yang berada di ambang kamar mandi perempuan.

Sedangkan seseorang yang disapa, hanya mampu bergeming di tempat dengan rahang yang mulai mengeras.

"Maaf, Ras." Shafiya menunduk, menghindari tatapan Laras, gadis itu mengigit bibir bawahnya seraya memilin rok abu-abunya.

Laras menghela napas berat, seraya menepuk bahu sahabatnya lembut. "Gue juga bilang apa, Shaf. Di mata Kak Raldi, Gistavia Ezperanza itu jadi yang utama."

"Lo bener, Kak Raldi batalin janjinya kemarin karena mungkin ada yang lebih utama dari gue, Kak Gistav kayaknya," gumamnya sesak.

"Udah-udah, dari dulu kita berantem masa cuma masalah cowok." Retta menengahi, melalui tubuh mungilnya, ia bergerak menyelinap di antara dua sahabatnya. "Yuk ke kantin bareng, kita udah lama nggak ke sana bareng."

"Ke Brunneis?" usul Laras spontan, raut wajahnya masih datar. Tampaknya, gadis tersebut belum menyangka renggangnya hubungan persahabatan antara dirinya dan Shafiya akan segera berakhir. Padahal, sebelumnya ia berniat melontarkan ucapan pedas tetapi jujur terhadap berambut sebahu itu.

"Brunneis sepulang sekolah."

***

Shafiya's Note

Goodbye you, Mr. R :)

***

Panduan Mendekati GebetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang