Tips 9: Selalu Ada Waktu

531 90 3
                                    

Kristal bening mengalir deras tatkala gadis berambut sebahu itu mengingat insiden menyesakan di acara Festival Kesenian Siswa.

Sebegitu menyedihkannya kah kata 'teman' yang diucapkan oleh gebetan?

Selama ini, ia hanya membaca melalui novel. Tidak pernah merasakan secara langsung. Ternyata, efeknya jauh di luar ekspetasi. Atau, Shafiya saja yang terlampau dramatis?

Ah! Tapi, ia tak memikirkan itu.

Gadis tersebut segera mengurung dirinya di kamar dengan alunan lagu-lagu mellow. Sial. Dirinya terjebak oleh harapan fana. Shafiya pikir, Raldi mulai terbuka dan hangat karena mulai jatuh cinta terhadapnya, nyatanya Raldi hanya ingin berteman saja. Berteman baik tanpa ikatan atau apa pun itu.

Shafiya terlalu berharap banyak kepada Raldi. Itulah hal yang paling ia sesali saat ini.

"Gue harus gimana? Menyerah atau tetap bertahan?" Karena bimbang dengan suasana hatinya, gadis berambut sebahu itu menelpon Retta. Sahabat baiknya yang sangat mendukung hubungannya dengan Raldi. Tapi, Shafiya sedikit sangsi menghubungi Retta, pasalnya sekarang sudah jam satu pagi. Apakah gadis itu tidak tidur?

Urung menelpon Retta, Shafiya akhirnya memilih turun ke dapur. Membawa beberapa camilan dan satu gelas coklat kedai Brunneis yang sempat ia pesan sepulang sekolah. Akan tetapi, saat gadis tersebut hendak kembali ke kamar, ia sempat melihat bayangan adiknya yang menonton K-Drama di dalam kamar yang dijeblak lebar. Karena iseng, akhirnya Shafiya masuk tanpa permisi.

"Tumben lo nonton K-Drama?" tanyanya dengan suara parau sehabis menangis.

"Demi Audy."

"Lo masih berjuang?"

"Tentu." Fokus Auden tidak teralih antara laptop dan drama korea. Shafiya tersenyum getir, sambil menyesap es coklat favoritnya, gadis berambut sebahu itu mendaratkan tubuh di sisi ranjang Auden.

"Kalo semisal Audy ternyata nganggep lo cuma temen, yakin masih tetep berjuang?"

Seketika, sorot mata Auden tertumbuk pada kakak tirinya. Tatapannya berubah serius. "Kak Raldi nganggep lo temen?"

"Yup! Dia emang idealis banget," seloroh Shafiya seraya menopang dagu. "Hati gue ngerasa ... hancur? Oke, gue bucin. Tapi sebelumnya gue ngerasa sangat-sangat-sangat berharap Kak Raldi jadi pacar gue. Dan ternyata ... di malam FKS dia meluluhlantakan semuanya. Dia nganggep gue temen."

"Kenapa kalo cuma temen?"

Menghela napas panjang, mata Shafiya kembali berkaca-kaca. "Gue pengen lebih dari itu. Awalnya, gue mulai seneng, Kak Raldi udah terbuka dan hangat. Semesta mengabulkan doa-doa gue ternyata. Tapi, gue salah."

"Lo salah mengartikan sikap Kak Raldi yang pengen temenan aja, ya?"

Shafiya tidak menjawab. Auden tahu jawabannya.

"Mbak, mungkin lo harus ikhlas. Meskipun lo nggak jadi pacar Kak Raldi, lo masih bisa temenan sama dia. Daripada musuhan?" Di balik sifatnya yang terkadang menjengkelkan, Auden tahu, kapan dia harus bersikap serius.

"Dari temenan ... kali aja lo bisa deket sama Kak Raldi. Lo bisa menemukam sisi lain dari dirinya yang enggak terduga. Udahlah nggak papa. Ibarat rambu-rambu lalu lintas, jatuh cinta itu kayak gitu, Mbak." Cowok berwajah khas orang Jawa namun logat Pasundan itu mencoba mengihibur Shafiya. "Ada lampu merah, yang artinya lo harus berhenti. Ada lampu kuning, yang artinya lo harus bersiap-siap. Ada lampu hijau, yang artinya lo harus jalan. Posisi lo sekarang itu di lampu kuning, Mbak. Bersiap sedia. Labil-lah. Lo nggak harus berhenti untuk ngejar Kak Raldi, tapi lo juga enggak harus jalan untuk tetap ke hati doi. Lo harus siap sedia aja denga konsekuensi yang ada kalo temenan."

Saat Shafiya hendak mengangguk mengiyakan nasihat Auden, satu getaran di ponselnya sukses mencuri perhatian. Dengan cepat, dikeluarkannya ponsel berlogo gigitan apel tersebut. Satu notifikasi Line dari Raldi membuat matanya terbeliak.

Raldito Wiratama
Hai, Shaf.  Besok jadi kan ke rumahku? Jam 10 ya.

Atau mau Kakak jemput?

Dari teman barumu,

Raldi.

Dalam hati, Shafiya tersenyum. Manis sekali pesan dari Raldi.
Ah, jika begini terus, bagaimana dia bisa marah? Sebenarnya, Shafiya yang labil atau ... sifat melankonis dan terlampau bawa perasaan yang sedang menguasai dirinya?

***

Harusnya, memang ini jalan yang terbaik.

Raldi dengan ke-idealismeannya, menolak memiliki hubungan lebih dari teman dengan Shafiya. Prinsip yang ia pegang tetap sama. Dirinya tidak ingin kejadian tiga tahun terulang kembali sama seperti kisahnya dengan Ristav.

Bodoh. Bodoh. Bodoh. Raldi merutuki dirinya sendiri sambil meremas bulpen warna yang dia pegang. Buku Modul SBMPTN bab Sosiologi di depannya terbuka, tetapi fokusnya melayang. Kejadian itu berputar, memaksakanya mengingat dengan jelas setiap adegan di Kota Istimewa tiga tahun silam dengan jelas.

Ristav membenci dirinya.

Ia kembali mengerang. Luka lamanya terkoyak kembali. Jauh lebih lebar. Di satu sisi, hatinya terenyuh ketika melihat Shafiya menangisi perbuatannya, di sisi lain ia tidak mau Shafiya terlalu menaruh harap kepadanya.

Apakah menjadikan gadis itu sebagai teman akan memperbaiki keadaan?

Atau justru ... semakin memperburuk?

Jadi, Raldi harus apa? Posisinya serba salah.

Pemuda beriris hitam pekat itu mengeluarkan foto kecilnya dulu bersama Ristav. Tubuhnya bergetar sementara bibirnya mengucap satu kalimat yang sering ia utarakan setiap malam. Selama tiga tahun.

"Maafkan aku, Ristav. Persahabatan kita jadi hancur. Andai waktu itu aku menerima kamu, Ris, mungkin keadaannya tidak akan serumit sekarang."
Raldi menghela napas lelah. Sorot matanya memancarkan luka dan kelam.

"Maaf juga Shafiya, kamu menjadi terluka karena perbuatanku dulu."

***

Shafiya Notes

Penyakit yang paling sulit dihindari adalah:

Berharap terlalu lebih kepada yang belum pasti.

***

a/n

Maaf ya telat update :( sebagai gantinya, aku pub langsung 2 chapterr <3

Sedikit cerita, aku mulai bosen sama cerita ini 😭 soalnya, daku lagi nulis cerita baru :')
Idenya terasa hambar, mangkannya pengen buru-buru aku tamatin, in shaa allah  bakal tamat sampe 42 chap, papayyy

Salam Sayang,
Diffean

Panduan Mendekati GebetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang