21

262 23 38
                                    

Masako-san berangkat cukup pagi hingga tidak ikut sarapan karena harus mengisi acara di Tokyo. Ibunya (nenek Taka, Tomo, dan Hiro) juga pergi bersama Masako-san, berkata ingin mengunjungi teman lamanya di sana. Hiro sendiri berangkat jauh lebih pagi, menyapa setelah Syfa salat Subuh dan mengatakan bahwa ia harus kembali ke bandnya sekarang atau nanti bandnya akan berganti menjadi MY SECOND STORY. Jadi, hanya ia dan Taka yang berada di rumah.

Taka sibuk mencuci peralatan masak yang tadi digunakannya juga piring bekas mereka sarapan. Ini terlihat lucu karena seharusnya Syfa yang melakukannya, tapi Taka bersikeras bahwa Syfa adalah tamu jadi ia cukup duduk manis. Syfa mengangkat kedua kakinya ke atas kursi, menumpukan dagu di kedua lututnya sambil menatap kekasihnya dari meja makan. Lelaki itu sesekali mengumpat jika air menyiprati badannya, tidak sadar bahwa ia sendiri yang terlalu energik. Setelahnya, ia kembali bersenandung riang lalu mengumpat lagi. Begitu seterusnya hingga Syfa tidak tahan untuk tertawa.


"Apa yang kamu tertawakan, Sy-chan?" ucap Taka tanpa berbalik menghadap Syfa.

Syfa turun dari kursi dan menghampiri Taka, "Kamu. Kecilkan aliran airnya dan air tidak akan mencipratimu lagi."

"Tapi begini lebih cepat bersih."

"Dan kamu jadi sering mengumpat," sahut Syfa tergelak.

"Hus, hus, duduk manis saja di tempatmu! Aku bisa mengurus ini sendiri."


Tidak berselang lama, Taka menghampiri Syfa yang kembali duduk di meja makan. Syfa terkikik geli melihat Taka yang masih menggunakan celemek berwarna hijau pudar. Gadis berjilbab krem itu berdiri kemudian melepaskannya. Taka memberi cengiran lebar dan mengedip-ngedip lucu, berusaha menarik perhatian Syfa yang kini begitu dekat. Ia menahan napas dan mengalihkan pandangan ke mana saja asal bukan wajah Taka. Pipinya terasa panas. Astaga, entah kapan ia bisa terbiasa berdekatan dengan sulung Moriuchi ini.

Taka menarik tangan Syfa lembut menuju sofa ruang tengah. Ia lebih dulu duduk, lalu merentangkan tangannya sebagai isyarat tanpa kata. Syfa paham, namun ia hanya mengangkat satu alisnya. Bertingkah tidak mengerti.


"Sunshine, lie down next to me and I'll cuddle you."

"Is it necessary?"

Taka bergerak malas untuk menggapai tangan kekasihnya, "But I love it when we're cuddling. Shall we?"


Syfa menurut, mengambil tempat di samping Taka. Lelaki itu sedang menyamankan kepalanya di pundak Syfa. Ia menatap jauh ke depan, di mana layar kosong televisi memantulkan bayangan dirinya dan Taka yang begitu mesra.


"Taka, kamu harus tahu bahwa ... aku tidak terbiasa dengan ini. Maksudku, berdekatan dengan laki-laki. Hal seperti ini dilarang di agamaku, jadi yah ...," Syfa merasa bersalah saat Taka urung memeluknya, "Aku bohong kalau berkata jika aku tidak menyukainya. Tapi ... kuharap kita tidak melakukan ini terlalu sering. Kamu mau memaafkanku untuk itu?" "Lagipula, Taka, aku tidak selamanya berada di Jepang."


Syfa tidak mendapatkan jawaban yang ia cari. Lelakinya memilih bungkam, hanya menarik satu-dua napas berat. Perasaannya menjadi campur aduk, antara lega telah menyampaikannya dan sedih serta hampa karena Taka tidak memeluknya. Ia tiba-tiba jadi labil seperti remaja sekolah menengah. Syfa mengingat-ingat tanggal ... dan sadar bahwa ia sedang dalam Premenstrual Syndrome (PMS). Pantas saja suasana hatinya berubah-ubah.


"Taka?"

"Hmm?" gumam Taka dengan pelan.

"Sayang ...."

One Way Ticket | ✔ [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang