Tangan besar itu terus mengaduk lemon tea untuk seseorang yang murung di sana. Mata Mingyu sesekali mengintip dari jendela pintu perbatasan antara dapur dengan dunia luar, menatap was - was bila saja lelakinya berbuat brutal sewaktu waktu.
Masih ingat jelas di pikiran Mingyu beberapa menit lalu. Tanpa ia duga, Wonwoo datang lebih cepat dari dugaannya dengan wajah penuh amarah. Mingyu nggak pernah tahu setempramental apa Wonwoo, tapi setelah itu kunci mobil langsung dilempar ke meja dengan keras, ya Mingyu sebagai manusia yang memiliki jantung, kaget dong. Untung mereka mengambil tempat yang cukup jauh dari pengunjung.
Jangan bertanya, Mingyu sudah mencoba ribuan cara menenangkan Wonwoo. Tapi memang dasar bocah, kepalanya masih mendidih, es batu milik Mingyu tidak mempan. Alhasil lebih baik ia membuatkan Wonwoo minuman.
"Ini, minum dulu ya biar tenang," Mingyu menyodorkan dengan hati hati, senyumnya terukir kala melihat sang pujaan mulai meluruh. "Coba kamu cerita pelan pelan,"
"Kakak aku, Gyu. Apa semua kakak sulung sama aja? Yang terus mengekang adik adiknya sampai dewasa, yang terus membuntuti semua kegiatan kayak penguntit, yang harus izin cuma buat ngelakuin hal sepele?" Wonwoo menyenderkan bahunya ke kursi, "Pleaseee dong, kalau dia pikir adik adiknya masih paud sih nggak papa. Lha iki, adik e wes kuliah, wes pantes ndue pacar, to?[1]"
Mingyu menelan ludah setelah mencermati satu persatu kalimat Wonwoo, "Jadi maksud kamu, kita sulit dapet restu dia?"
Meja digebrak, Wonwoo balik emosi, "Ya kamu kenapa malah tanya aku? Emang aku mbah dukun apa? Emang aku ini papa mama? Emang kalo nggak dapet terus kita putus? Idih, ilfeel gue sama lo."
"Bu-bukan gitu, ini mending kamu minum dulu biar tenang,"
"Kembung gue lama lama lo suruh minum melulu!" Lelaki berwajah jutek ini makin jutek, pemirsa.
Mingyu berpikir dia harus berkata apa. Soalnya, kalau salah bicara, bisa gawat, terjadilah perang dunia selanjutnya. Jadi, dengan keyakinan hati, ia mulai mendinginkan perasaan berapi - api Wonwoo, "Kamu nggak usah mikirin Seungkwan. Kamu di sini udah bener. Biarin kakak kamu itu introspeksi diri. Jangan marah marah lagi dong,"
"Aku ora gelem mulih[2]."
Mata sang besar melebar, ternyata kalau lagi icemossy, seorang Choi Wonwoo bisa senekat ini juga, "Yaudah, gimana kalau sewa hotel sama aku? Kamu pasti nggak mood juga ketemu sama kakak kamu. Aku bakal nemenin kamu. Kan nggak mungkin tidur di restoran malem ini."
Wonwoo melirik Mingyu ragu, mempertimbangkan usulan pacarnya tersebut.
"Mau ndak?"
Yang ditanya mengangguk dengan mantap, "Oke, pesenin satu kamar hotel buat kita."
.
.Jeonghan terbangun dari tidur, melihat jam dinding dan menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Ia terpaksa keluar kamar, mengambil dokumen di meja kerja untuk disiapkan. Namun, di ruang keluarga, nampak pucuk rambut seseorang sedang sibuk menekan tombol 'call' berulang kali.
Mata Jeonghan menyipit, ia mendekatinya.
"Seungkwan? Tidur, Nak, udah malem ini."
Seungkwan terkesiap, ia menyernyih grogi, "Eh, hehehe, iya, ini juga mau ke kamar kok."
"Adik - adik udah tidur semua kan?"
"U......dah kok Ma, hehehe."
Sang Mama tersenyum tipis dan mengelus surai lembut anaknya. Setelah mengucapkan salam selamat malam, Jeonghan segera kembali ke kamar, meninggalkan Seungkwan yang sangat kebingungan karena ponsel Wonwoo tidak aktif dan sampai sekarang ia belum pulang sejak keributan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choi Squadh [SVT] ✔
FanfictionChoi Seungcheol dan istrinya, Choi Jeonghan sudah menikah belasan tahun dan hidup tentram di Kota Istimewa Yogyakarta. Mereka dikaruniai enam orang anak laki laki cantik yang semuanya lebih mirip gen sang Mama. Memang iya, semuanya lelaki cantik nan...