Pitulikur; hurt

4.2K 600 167
                                    

Kesibukkan beberapa minggu terakhir membuat Wonwoo tidak masuk kuliah untuk mengurusi cabang Choi Resto yang kini benar-benar terlantar. Seungkwan sudah membantu, tapi ia tak bisa menyerahkan lebih dari dua cabang ke kakaknya itu, biar bagaimana pun Seungkwan lulusan perbankan, bukan bisnis dan manajemen. Jeonghan menawarkan diri mengambil beberapa cabang, tapi tak Wonwoo bolehkan, melihat kesehatan Jeonghan yang turun akhir-akhir ini.

Setelah menilik lebih jauh, 'amburadul'nya kantor pusat sangat berpengaruh pada lainnya. Sudah ada dua cabang yang tutup. Kini, Wonwoo harus mati-matian mempertahankan agar tidak ada lagi cabang yang tutup, atau mungkin saja mereka akan gulung tikar jika itu terjadi.

Wonwoo tidak tidur, atau mungkin hanya beberapa jam hingga kantung matanya semakin menebal setiap hari. Ia harus memikirkan terobosan baru untuk menarik kembali konsumen dari luar.

Lantas, Wonwoo membuka berkas berformat pdf di notebooknya. Ia menghitung satu persatu output masing-masing cabang, jadi Wonwoo bisa tahu biang masalah ada di keuangan mana, lalu ia akan lebih fokus meneliti langsung ke restorannya.

"Hah? Cabang punya aku?"tanya Wonwoo, walau tak ada satupun yang menjawab. Ia bingung, jadi mengecek barangkali ia membuka file yang salah, "ini bukan berkas punya papa, kok. Tapi,"

Sang pria kecil mengingat laporan bulan ini yang Mingyu beri, karena isinya sangat berbeda. "Di laporan, inputnya tinggi kok. Tapi kenapa di sini outputnya yang malah gede banget? Cabangku itu laba atau rugi, sih?"

Pada akhirnya, ia menelepon sang manajer, menanyakan langsung seperti dahulu, karena satu kepercayaan ia mulai dipatahkan.

"Pak, saya minta salinan berkas langsung dari administrasi. Laporan keuangan asli, bukan yang ditandai tangani Mingyu. Tolong ya, Pak. Saya tunggu sekarang, secepatnya."

***

Minghao duduk di depan pintu apartemen Jun, bolak-balik ia menghubungi kekasihnya tetapi tak satupun tersambung. Mungkin Jun sibuk. Tapi keadaan seperti ini membuatnya khawatir.

Namun tidak lama, Jun terlihat dari lorong dan mulai mendekat. Keadaannya berantakan; rambut tak tersisir, wajah kusut, mata sayu. Minghao lantas bangkit, tak lupa membawa kantung plastik berisi novel yang akan ia berikan, yang tempo lalu ia beli. Ia bergegas membantu Jun membuka pintu, kemudian membawakan map yang Jun bawa. Bukan, ia bukan seorang budak cinta, tapi kaki Jun terlihat masih sakit.

Minghao langsung menuju meja belajar dan rak buku milik Jun. Kemudian menyelipkan novel pemberiannya di tumpukan novel lainnya. Lalu, ia meletakkan map plastik transparan itu di meja. Sempat ia membaca brosur audisi bulan bahasa di dalamnya.

"Kamu tunggu di sofa, aku mau masak pasta dulu," Dengan cepat, Minghao langsung ke dapur.

Ini bukan pertama kali Minghao ke apartemen Jun. Selama kaki kekasihnya itu masih belum bisa digunakan secara sempurna, ia nyaris setiap hari meluangkan waktu hanya untuk menyiapkan keperluan Jun. Kalau pun tidak bisa, ia akan mengirimkan makanan tepat waktu. Jadi, membuat pasta bukanlah waktu yang lama. Karena tangannya sudah terlatih untuk itu.

Setelah selesai, Minghao kembali menghampiri Jun di sofa. Tapi, betapa terkejutnya ia kala sudah ada dua botol kaca bir yang berada di atas meja, "Mas? Ini bir siapa? Punya kamu?"

Jun meracau, matanya separuh terbuka. Ia melihat sosok Minghao, emosionalnya mendadak meluap, "Punya siapapun... Itu hak saya!"

Minghao tersentak. Lantas meletakkan pasta di atas meja dan mencoba mengangkat tubuh Jun untuk dibawanya ke kamar. Ia yakin Jun sedang kacau; ia mabuk, dan kekasihnya itu butuh istirahat.

Lelaki yang lebih besar segera menepis uluran tangan yang mendekatinya, "Jangan sentuh-sentuh saya! Kamu... mending pergi dari sini! Pergi!"

Minghao bingung bukan kepalang. Ia tidak bisa mengikuti ucapan Jun dan meninggalkan kekasihnya dalam keadaan seperti ini. Lagi, Minghao kembali mendekat, "Mas kamu capek. Kamu butuh istirahat..."

Choi Squadh [SVT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang