Di kamar dengan cat dinding abu-abu, Mingyu duduk terdiam di depan meja. Berkas-berkas berisi sertifikat beserta surat-surat izin pendirian restoran kini telah terkumpul di map ungu miliknya. Ia tahu, itu bukan milik Tama.
Dengan niat yang terkumpul, ia mengambil pena untuk menandatangani persetujuan pemindahan aset dari Choi Resto ke brankas pribadinya dengan menyewa pengacara milik keluarga.
Tapi,
Mingyu berhenti. Ia membuang napas kasar dan membanting pena ke lantai, "Kenapa nggak bisa sih? Aji, ayo dong!"
Sang lelaki meraup wajahnya kesal. Ia menjatuhkan punggungnya ke senderan kursi putar miliknya, "Kenapa aku jadi ndak tega ya sama Wonwoo? Masa sih aku mulai... suka?"
Mingyu menggeleng, "Ah nggak mungkin. Tapi, dia cowok baik. Cuman galaknya aja nggak ketulungan."
Kalo kotor, elapnya pakai ini, jangan pakai lengen, jorok. Makannya dihabisin, biar nggak kelaparan.
Mingyu menutup mapnya dan membuka laci nakasnya dengan terburu-buru. Hatinya lega ketika masih mendapati sapu tangan milik Wonwoo yang ia simpan dengan baik. Sungguh, bukannya tak mau mengembalikan, ia lupa.
Detik selanjutnya, matanya menangkap kotak merah yang kembali mengingatkannya pada sesuatu. Gelang berinisial W yang dulu selalu ia pakai setiap hari. Pokoknya kalau sampai ngampus dan gelangnya ketinggalan, mending Mingyu pulang ambil gelangnya.
"Kira-kira Wonwoo masih pakai gelangnya nggak ya setelah aku cuekin belakangan ini?" Mingyu kembali menautkan kedua sisi gelang dan memakainya di tangan kanan, "Ah, jangan ngelindur kamu, Ji. Wonwoo benci banget sama aku pasti."
Tiba-tiba, seekor anjing putih naik ke atas meja dan duduk tepat di depan Mingyu.
"Aji kenapa? Udah dikasih makan sama Salma kan?"tanya Mingyu seraya memeluk dan mencium anjing kesayangannya dengan gemas.
Ctak!
"Aji! Gelangku ojo mbok tarik! Pedot kan! Walah asu, minggir!" Mingyu memunguti manik-manik di lantai, dan yang terpenting karena ia menemukan liontin huruf W yang menjadi komponen utama gelang.
Akhirnya, ia harus membuat ulang gelang itu dengan telaten sedikit demi sedikit. Walaupun sepanjang waktu tak habis-habisnya ia mengomeli aji—yang padahal selalu senantiasa menemani Mingyu membuat gelang hingga tengah malam.
"Kamu jangan nakal kayak gini lagi, su. Awas kamu kalau mutusin gelangku lagi, tak jual kamu besoknya. Kita sama sama aji, tapi bukan berarti barangku barangmu juga, asu, kesel tenanan aku."
Ketika kantuk mulai mendera, Mingyu melepaskan gelangnya dan menyimpan di tempat semula. Ia melihat map ungu di atas meja, lalu mengambilnya perlahan, "Minghao koma di rumah sakit. Beberapa cabang Choi Resto juga udah tutup. Mungkin ini udah cukup buat ngalahin mereka. Aku nggak perlu ambil semua aset yang Wonwoo punya."
Kemudian pintu kamar Mingyu terbuka. Masuklah seorang perempuan paruh baya memakai piyama cokelat.
Mingyu memrotes, "Buk, tak pikir siapa. Kok belom tidur?"
Dengan wajah sedikit sebal, Atiqah menggendong aji di pelukannya, "Ya kamu yang nggak tau waktu. Begadang sih begadang, jangan ajak aji dong. Ibuk cariin kemana mana."
Lho ibuku luwih sayang karo asu.
Tanpa sengaja, wanita ini menyenggol polaroid di dinding hingga ada yang terlepas dari kaitannya. Ia mengambil, mengamati foto dua lelaki yang tampak akrab. Dan ia ingat siapa lelaki manis ini.
Dengan buru-buru, Mingyu merebut foto itu dari ibunya.
"Pacarmu, ya?"goda Atiqah yang langsung membuat anaknya salah tingkah. Ia lantas duduk di tepian ranjang, "Ndak apa-apa, ibu ndak marah. Lanang opo wedok iku podo wae. Kapan-kapan dibawa ke rumah, kenalin ke ibu bapak. Kayaknya anaknya baik kok, sopan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Choi Squadh [SVT] ✔
FanfictionChoi Seungcheol dan istrinya, Choi Jeonghan sudah menikah belasan tahun dan hidup tentram di Kota Istimewa Yogyakarta. Mereka dikaruniai enam orang anak laki laki cantik yang semuanya lebih mirip gen sang Mama. Memang iya, semuanya lelaki cantik nan...