Side Story: Antara Kakak, Sahabat, dan Adik Laki-laki

46 1 0
                                    

"Kamu tahu, mengapa aku ingin menganggapnya sebagai saudara? Kamu tahu apa artinya 'saudara'? Seseorang yg kau sayangi, namun itu bukan cinta."

Iya. Bukankah, jauh sebelum dia dilahirkan, aku sudah lebih dulu jatuh cinta pada seseorang.

***

Dulu sekali, waktu aku duduk di bangku SMA, aku mempunyai seorang yg kuanggap kakak sendiri. Aku memanggilnya Aa', sesuai dengan sukunya, urang Sunda.

Dia baik sekali padaku. Aku masih ingat saat aku berulangtahun dia memberiku sebuah jilbab. Padahal waktu itu aku belum pakai jilbab. Dan saat aku memutuskan berhijab, dia tampak senang sekali dan mendukungku.

Lanjut kuliah, aku saat itu mengibaratkan diri sendiri sebagai batu. Yup. Aku adalah batu. Bila ada orang yg menawarimu, "pilih batu atau permata?" Pasti kebanyakan orang akan pilih permata. Iyalah, memangnya batu buat apaan?

Aku menganggap diriku seperti batu yg belum diasah. Batu yang masih harus berproses panjang untuk menjadi permata. Proses yang tak jarang menyakitkan.

Nah, makanya ketika aku sedang berulangtahun kala itu, si Aa' kembali mendatangiku dan menghadiahiku sebuah batu. Batu yg cantik dengan tulisan friendship. Ah ya, dia juga memberikanku sebuah gantungan kunci berupa miniatur Ka'Bah, katanya, "berikan ini pada seseorang yang menjadi jodohmu, kelak."

***

Lain hal, ketika di bangku SMA juga, aku berteman dg seorang lelaki, kusebut dia sebagai Bintang Jatuh. Kami punya banyak persamaan, sama-sama mencintai buku dan suka menulis cerita fiksi.

Tapi kalau aku lebih menyukai hal-hal berbau eksakta, dia sebaliknya. Makanya aku yang di kelas IPA, tidak sekelas dengannya di kelas IPS. Tapi kami sering bertemu, berdiskusi dam pergi ke perpustakaan bersama-sama.

Satu hal, mengapa dia menyebut dirinya "Bintang Jatuh", karena terinspirasi dari sebuah novel karya Dee: Supernova, Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh.

Dia bilang begini padaku, "Aku adalah Bintang Jatuh yang akan merebut sang Putri dari Ksatria." Dia memang terkadang memanggilku Putri. Lalu, Ksatria itu siapa?

***

Lanjut cerita setelah aku bekerja. Aku bertemu seseorang yang kala itu praktik di tempat kerjaku. Gak ada yg istimewa, cuma karena aku waktu itu ikut berbisnis pulsa dengannya, jadi kami sering berbincang-bincang.

Lama-lama, dia bilang menganggapku sebagai kakak sendiri. Ya sudah, kuanggap saja dia sebagai adikku. Kadang kami bertukar cerita, dia pun seringkali meminta pendapatku tentang pacarnya.

Alhamdulillah, mereka sudah menikah sekarang. Bahkan suamiku antusias waktu mendapatkan undangan pernikahan mereka.

***

Satu lagi, bahkan seorang lelaki yg tidak pernah kutemui sebelumnya. Bagaimana tidak? Dia tinggal di belahan lain dunia.

Kami berbincang pertama kali saat bulan puasa. Setelah beberapa kali berduet bersama melalui sebuah aplikasi nyanyian. Kami hanyalah dua orang yg tak pandai berbahasa Inggris namun bersama menjadi sahabat.

I call him, mi amado hermano. Aku menganggapnya sebagai adik sendiri. Meski dengan sekian banyak perbedaan di antara kami. Wahai, bahkan dirinya persis seusia keponakanku. Tapi dia tak keberatan menjadi adikku.

***

Antara lelaki yang kuanggap kakak, sahabat, juga adik. Masing-masing pernah memberikan satu moment berharga yang tak mungkin terulang.

Tidak, ini bukan soal cinta. Bahkan ketiganya tahu percis siapa yang menjadi cintaku sejak pertama. Bahkan cinta itu hadir di saat pertama kali melihatnya masih dengan seragam putih biru.

Iya, lelaki yang mendapatkan gantungan kunci berbentuk miniatur Ka'Bah itu, lelaki yang disebut "Ksatria" oleh sang Bintang Jatuh, adalah cinta pertamaku sejak SMP, orang yg sama dengan yang kusebut suamiku.

***

Sekarang, aku sadari sebuah moment berharga lainnya telah datang dan kini telah pergi. Sosok yang telah membantuku menyingkirkan ketakutan tak beralasan.

Aku menghela napas saat perjalanan pulang dari kantor. Sekarang aku sudah tak perlu lagi buru-buru pamit pulang menuju Widi Mandiri. Jam pelajaran sudah berakhir. Seiring hal itu, tidak ada lagi alasanku untuk bertemu: Gilang. Instruktur yang telah mengajarkanku banyak hal, tak hanya soal mengemudi.

Well, that's life. Tapi kenangan itu hidup selamanya. Apalagi bila dituliskan menjadi sebuah cerita.

Dalam hati, jujur aku berharap mudahan kami bisa bertemu kembali di suatu kesempatan. Bila di masa depan kemudian Gilang ternyata berjodoh dengan keponakanku, tentu saja aku akan sangat bahagia. Lelaki seperti dia langka, lho. Usia muda namun pemikiran sangat dewasa.
Bila pun tidak, aku sudah sampaikan padanya, "jangan lupa undang aku ya kalau married nanti."

Yang bisa kulakukan kini adalah melanjutkan hidup dan jangan sia-siakan apa yang sudah Gilang ajarkan. Aku belum tahu nih, apakah aku akan mengambil paket tambahan atau tidak setelah ini. Yang pasti bila aku kembali itu karena aku butuh pelajarannya. Namun bila tidak, artinya aku sudah berhasil mengalahkan diri sendiri.

Ah, selamat menyambut hari ulangtahun beberapa jam lagi dari sekarang, ya, Em.

(Memori H-1, tanggal 20 Maret 2019)

12 Hari di Balik Kemudi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang