Senja Romantis

621 5 0
                                    

"Makanya kalau ada orang bilang dia lagi sakit, trus nyetir mobil, itu pasti karena dia gak sakit-sakit amat. Karena orang nyetir itu butuh konsentrasi penuh. Kalau sakitnya parah, gakkan bisa nyetir."
(Kata Instruktur Gilang di suatu sesi pelajaran)

***

Ini hari Senin yang sangat melelahkan! Sejak pagi begitu banyak hal yang harus kulakukan. Setelah lumayan hectic dengan pekerjaan, aku pulang sebentar, eh sudah harus siap-siap untuk pelajaran mengemudi selanjutnya.

Yup. Kali ini aku gak belajar di siang hari, tapi di waktu senja. Tepatnya jam lima lewat. Hujan yang awalnya gerimis makin deras, menghalangiku berangkat. Sampai-sampai aku ditelepon sama Mbak Nur.

"Ibu gimana? Jadi belajar hari ini? Sudah berangkat?" tanyanya dari seberang sana.
"Iya, hujan nih, aku minta jemput aja ya?"

Sudah pernah sekali, Gilang mengantarkanku sampai ke rumah. Jadi pasti dia sudah tahu rumahku. Waktu di jam dinding menunjukkan pukul lima lewat. Tak lupa aku berpamitan dengan anak-anakku. (Ini agak berat juga, nih. Nggak seperti pamitan berangkat kerja. Hihihi. Tapi akhirnya anak-anakku memaklumi ibunya yang harus pergi untuk belajar mengemudi. Biar kelak bisa antar jemput anak-anak, begitu alasanku)

Nah, itu dia, jemputan sudah datang.
Gilang turun dari mobil setelah menepikannya di depan rumahku, lalu berkata, "yuk, langsung bawa."

Aku langsung masuk dari sisi kanan, menggantikan posisi Gilang.
Duh, agak-agak kaku lagi pas memulai, karena habis libur.

"Ibu kalau habis dari libur, pasti lupa lagi, deh."
Aku mengaku saja sambil nyengir kuda.

"Oya, deket sini Masjid di mana ya?" tanya Gilang tiba-tiba.
"Agak jauh, sih, setahuku. Memangnya kenapa?"
"Ngg, Gilang belum sholat Ashar."
"Waduh, hmm, kayaknya ada di lurusan sana."

Oo, begitu. Kayaknya ada sih, deket sini. Tak lama kemudian, benar seperti kataku, ada Masjid sekitar beberapa meter di pinggir jalan. Aku menepikan mobil.

"Izin sholat sebentar ya, Bu."
Baiklaahh. Aku gak mungkin men-zholimi sesama Muslim kan. Masa mau sholat, dihalangi.

Aku menunggu dengan sabar lalu meraih ponselku.

Hujan agak mereda. Dari tadi wiper belum kumatikan.
Kuangkat ponsel, mengambil gambar dan mengirimkannya pada suami. Segala apa yang sudah kupelajari tentu kusampaikan padanya. Suami yang bekerja di luar kota hanya pulang ke rumah, dua kali seminggu.

"Okay, Bu. Kita lanjut."
Gilang masuk kembali di sisi penumpang. Kulirik dia yang sedang melepas kacamatanya.

Mobil melaju perlahan karena jalanan sedang ramai di sore hari ini. Biasalah, jamnya pulang kerja.

"Pantas ni mata agak kabur, rupanya Gilang belum pakai kacamata."
Aku bisa mengetahui kalau Gilang sudah memakai kacamatanya kembali, tanpa meliriknya.

"Kok baru sholat jam segini?" Iseng aku bertanya. Sekedar nggak sepi aja di kendaraan ini.
"Iya, tadi itu Gilang abis ngajar kan, orangnya pertama kali belajar gitu. Trus dia juga non Muslim. Jadi ngerasa gak enakan gitu mau izin sholat tadi."
"Memang mulainya sebelum Ashar?"
Nah, jadi kepo, kan.
"Iya, tadi jam tiga-an pas belum Ashar."

Lalu, aku mengikuti saja arahan Gilang, seperti biasa. Lurus ya lurus, belok ya belok.
Memang jalanan tak selalu lurus dan datar ya. Kadang ada tikungan, kadang tanjakan dan kadang turunan, seperti kehidupan. Hihihi.

Aku sudah lebih rileks membawa mobil bahkan bisa sambil bercerita.
"Padahal, waktu awal belajar, aku nggak pernah ngira bakal bisa nyetir sambil ngobrol," ujarku.
"Ternyata Ibu bisa, kan?"
Aku tersenyum dan mengiyakan.

Semua ini berkat Gilang, aku jadi percaya diri dalam menyetir. Padahal sebelumnya kaku banget. Leher tegang, tangan keringetan, jantung berdebar-debar. Apakah ini yang dinamakan cinta? Eaaa.

Kunyalakan lampu senja sesuai instruksinya. Wiper sudah dimatikan. Lalu waktu Maghrib pun segera datang.

"Kita mau Maghrib-an di mana?" tanyaku. Daripada kasihtaunya dadakan, macam goreng tahu bulat, mending aku tanya dulu, kan.

"Mm, lihat nanti, deh. Apa di Pahoman aja ya?"
Saat itu kami sedang berada di wilayah Kedaton. Masih berpuluh-puluh kilo lagi untuk mencapai Pahoman.

"Inget lho, yang nyupirin ini lambat."
Aku mengingatkannya. Gilang tertawa. Akhirnya dia memutuskan kami mampir saja di kawasan kampus di Gedong Meneng.

Ah, kenapa juga Gilang memilih tempat ini. Kan, mengingatkanku pada masa lalu. Duuh. Masya lalu, biarlah masya laluuu .... Yihaaa. Tarik, Maaang!

Jadi, kami akhirnya sama-sama sholat Maghrib di masjid Al-Wasi'i. Dulu, bertahun-tahun yang lalu, aku lumayan sering ke tempat ini karena memang masjid ini berada di kawasan perkuliahan. Meski aku gak kuliah di sini, teman-temanku banyak yang jadi mahasiswa sini.

Senengnya aku sempat mengikuti sholat jamaahan. Sejuknya air wudhu tak hanya membekas di wajah tapi juga hati. Ah, romantis sekali senja ini. Coba kalau aku bisa menikmatinya bersama suami, ya. Dari mulai menyetir bersama hingga sholat berjamaah. Ah, sudahlah, Em. Aku berusaha mencegah air mataku yg hendak menitik terbawa suasana.

Saat kembali menuju mobil, aku tidak melihat siapapun di dalam. Lebih tepatnya, tidak bisa melihat apa-apa, karena gelap. Ragu-ragu aku mau maju ke mobil atau tidak, ya. Takutnya masih dikunci, kan, nanti jadi berdiri manyun, lagi. Tiba-tiba ....

Tiiinnn. Terkejut aku mendengar klakson dibunyikan dari kendaraan Widi Mandiri ini. Walahh, ternyata Gilang sudah di dalam. Aku pikir belum ada orang.

"Lah, kirain aku belum masuk mobil. Abis nggak keliatan." Aku membuka pintu mobil dan masuk dari sisi pengemudi.
"Ya, sudahlah."
"Iya, akunya yang lama, ya? Maaf ya, aku tadi ikut jamaahan."
"Gilang juga kok, ikut jamaahan."

Dalam hati aku tertawa geli, karena lagi-lagi, teringat Eggy-nya Kirana di komik Webtoon.
"Oya? Kok selesai duluan? Hmm ..," aku berpikir sebelum melanjutkan, "oiya, dirimu kan nggak pake acara ngelipet mukena, kan?"
Hahaha, biasa-lah, aku nyari-nyari alasan, nggak mau kalah.
"Ya, iyalah." Dia tertawa lagi.

Okay, kembali menyetir mobil. Dari kawasan Gedong Meneng, terus ke Kedaton, ke Karang, sampai ke Teluk, lalu berputar di sana.

Beginilah rasanya membawa mobil di malam hari.
"Ternyata ... malam itu ..."
"Gelap?" sambung Gilang.
Aku tertawa. "Iya, malam itu gelap banget ya. Aku gak bisa lihat apa-apa dari spion, kecuali lampu kendaraan lain. Jadi, kalau ada yang gak nyalain lampu, gak bakal keliatan. Bener-bener kudu hati-hati nyetirnya."
"Iya, begitu memang. Nyetir, kan, butuh konsentrasi. Makanya tuh, kalau ada orang yang bilang, dia sakit, tapi masih bisa nyetir, itu artinya, dia nggak sakit-sakit amat. Karena nyetir itu perlu fokus. Perlu berpikir cepat. Kalau orang udah sakit parah, nggak akan bisa nyetir."
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan instrukturku.

"Wiper, Bu."
Sekali-kali Gilang menginstruksikan aku untuk menarik wiper ke atas, sebanyak satu kali. Sekedar membasuh bekas gerimis tadi. Dan gak melulu tanganku ahli, langsung geser wiper, kadang masih perlu dibantu. Hahaha.
"Padahal wipernya gak ke mana-mana lho, Bu."
Hehe, iya, deh. Kadang-kadang aku masih hilang fokus. Jangankan geser wiper, geser gigi aja pernah salah, karena lupa posisi.

Aku terus melajukan mobil hingga tanpa terasa sudah mendekati rumahku. Sudah mendekati jam tujuh lewat tiga puluh menit, nih. Adzan Isya juga sudah terdengar.

Wah, luar biasa. Bisa juga ya, aku mengemudi di malam hari. Ingat dulu, waktu atur jadwal kursus, sama Mbak Nur, aku pernah bilang gini, "Mbak, bisa nggak, ya, aku belajar malem-malem? Bukan soal waktunya, sih. Tapi bisa gak, ya, aku bawa mobilnya?"

Saat itu, Mbak Nur menjawab, "ini hari keempat belajarnya. Semestinya udah bisa sih, Bu, nyetir malam hari."

Dan, ternyata, aku beneran bisa, kan!
Bahkan dari rumah ke rumah lagi, aku terus yang bawa! Yippie. Langsung kuberikan laporan ke suami, sepulangku dari belajar. Laporan hari ini sangat memuaskan!

12 Hari di Balik Kemudi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang