He is Not Only My Instructor

59 2 0
                                    

Ternyata tak hanya pelajaran mengemudi yang kudapatkan darinya, tapi juga segala hal bermanfaat untuk menjalani hidup.

***

Aku mengusap air mataku yang mengalir, sekali lagi. Kucoba redakan napas yang tidak beraturan ini.
Aku sengaja menyingkir ke sebuah ruangan yang tidak akan dikunjungi banyak orang jam segini, karena masing-masing teman kerjaku masih sibuk dengan tugasnya.

Namanya juga masih pagi. Sedangkan aku yang dari pagi tiba di tempat kerja sudah dengan berurai air mata. Ah, tidak, tangisan masih kusimpan sampai kuyakin tidak ada satupun teman yg melihat.

Astaghfirulloh. Kenapa semua ini terjadi padaku?

Kuraih ponsel, lalu mulai mengetikkan beberapa kata. Saat meng-klik tombol send, aku masih dalam kondisi tidak stabil. Keputusan itu segera saja kusesali, beberapa jam kemudian, setelah kesibukanku berkurang.

Omagahh, dia sudah read! Aku baru menyadari hal itu ketika jam ishoma tiba. Saat aku melepas lelah sejenak sambil meneguk segelas air putih.
Tidak ada tanda-tanda balasan dari Gilang. Malah ada WA yg datang dari Mbak Nur, CS di kantor Widi Mandiri Kedaton.

"Maaf, Bu. Hari ini bisa gak jadwalnya dimajukan jadi jam 2 siang?"
Aku menjawab dengan sedikit bercanda, "bisa, tapi selesainya tetap jam 5 sore, ya, Mbak, hehe."

"Waduh, jam belajar tetap dua setengah jam, Ibu."
"Ya, Mbak, tapi aku masih gak rela kalau hari ini berakhir, Mbak. Hiks."

Jadi, ini alasanku menangis tadi? Eh, bukaaan! Masa cuma gara-gara sudah hari terakhir kursus mengemudi, aku jadi mewek gini. Haha.

Usai bekerja, sebelum jam dua siang, aku sudah tiba di kantor Widi Mandiri.
"Sebentar, ya, Bu. Om Gilangnya terjebak macet."
Aku mengangguk patuh.

Nah, jadi deg-degan lagi. Rasanya ingin menghilang dan tidak bertemu Gilang hari ini. Apalagi kalau bukan karena sebait WhatsApp yg kukirimkan padanya tadi.

"Eh, itu dia, Mbak, sudah datang." Aku segera berpamitan dengan Mbak Nur saat melihat mobil merah itu sudah tiba. Baiklahh, apapun yg akan terjadi kemudian, harus kuhadapi.

"Jadi, kita mau ke mana?"
"Hmm, ke mana, ya, Gilang jadi bingung."
"Ya, udah, deh, kamu turun aja, Dek. Biar aku muter-muter sendiri."

Sengaja aku berkata sedikit bercanda dan nggak mau bahas-bahas soal WA tadi pagi. Untung saja Gilang gak membalas bahkan tidak menanyakan apapun.

"Kita ke Kemiling aja, Mbak," ujar Gilang pada akhirnya.

Nggak seperti biasanya, kali ini aku bawa mobilnya lebih cepat, seperti nggak ada takutnya. Bahkan cenderung serampangan.

"Hati-hati dong, Mbak, bawanya." Gilang mengingatkan.
"Maaf, ya, Dek," sahutku singkat.

"Wah, ini sih aturan gigi tiga." Kali itu aku rada ngebut saat menaiki fly over.
Dibilang begitu, aku cuma nyengir kuda.

Beberapa kali mobil hampir menyerempet karena ketidakstabilan emosi si pengemudi. Kenapa sih, aku ini?

"Bisa istirahat sebentar, gak?" tanyaku akhirnya, tak sanggup menahan sesak napasku.

"Boleh, minggirin di bawah pohon, di sana aja, Mbak," saran Gilang sambil menunjuk pinggir jalan yang terdapat pohon rindang dan jauh dari keramaian. Wilayah Kemiling ke sananya memang agak sepi, cocok untuk belajar mobil. Makanya sampai hari terakhir mengemudi, kami memang sering pergi ke daerah ini.

Aku mengirikan kendaraan, masih dg agak serampangan.
"Hei, pelan-pelan, Mbak!" Gilang mengingatkan.

Aku bisa merasakan napasku yang masih menderu saat mobil sudah berhenti di sisi kiri jalan. Kulirik Gilang yg masih stay cool dengan ponselnya. Dia tampak sama sekali tidak terganggu dengan caraku membawa mobil hari ini.

12 Hari di Balik Kemudi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang