Extra Part: Bisa Karena Terpaksa

70 3 0
                                    

Bismillah.
Hanya kata itu yang menjadi modalku menjalani hari ini. Bagaimana ini? Ibuku sakit dan kuanjurkan untuk berobat. Kupesankan gocar agar beliau yg selama ini menemaniku di rumah, lekas pulang dan bisa berobat ke dokter langganannya.

Tak hanya itu, adik iparku yg tinggal tak jauh dari rumah, juga sedang sakit, sementara mertuaku sedang umroh. Padahal hanya mereka yg bisa kuminta tolong antar jemput anak2 ke sekolah.

Dalam posisiku yg LDR dengan suami hanya ada pilihan: izin kerja yg beresiko insentif dipotong? Antar jemput anak, bawa ke tempat kerja, dengan bantuan gocar, yg artinya bolak-balik ngongkos. Atau? Manfaatkanlah mobil di rumah dan hidupmu akan menjadi lebih mudah.

Tiba-tiba teringat dengan SIM A-ku yg tampak tak begitu berguna karena belum ada pembuktian. Bukankah sudah saatnya, aku memilih opsi terakhir. Ehem, lagipula ini bukan pertama kalinya kan, aku bawa mobil sendiri? Eh, masa?

***

Dua hari sebelumnya ....

"Kalau ragu tinggalkan saja mobilnya di sekolah, kalian pesan gocar. Tunggu saya pulang ke Lampung, baru saya ambil mobilnya. Titip mobil beberapa hari lagi di sekolah, masa nggak boleh?"

Suamiku menyarankan sebelum dia turun dari bus meninggalkanku dan anak-anakku yg kubiarkan tertidur lelap. Aku menghela napas sambil menyaksikan punggungnya yg menjauh.

Kami sedang berada di bus yg akan mengantarkan rombongan sekolah tk kembali pulang ke Lampung.
Selama tiga hari terakhir ini, kami sekeluarga pergi ke Jakarta dalam rangka mengikuti acara TK anak. Anakku, si sulung, merupakan salah satu yg diutus mewakili sekolah untuk mengikuti lomba drumband antar sekolah TK, SD, SMP, di GOR Cibubur Jakarta.

Kesempatan tidak datang dua kali, kan? Makanya, aku putuskan untuk mengizinkan dengan resiko orangtua harus mendampingi. Ternyata, papanya anak-anak juga antusias, katanya sekalian saja pergi sekeluarga. Jadilah, kami pergi ke Jakarta sekeluarga, berbarengan dengan rombongan dari sekolahan. Oya, di hari yg sama, mertuaku pun berangkat untuk umroh.

Nah, tanpa terduga sebelum kami berangkat, suami mendapatkan kabar bahwa dia mendapatkan tugas dinas luar, juga di kantor pusat se-Indonesia di Jakarta. Kalau suamiku menemani balik ke Lampung dulu, lalu berangkat lagi ke Jakarta, bukannya lebih merepotkan? Makanya aku sarankan, kenapa dia tidak stay saja di Jakarta. Biar aku dan anak-anakku yg pulang. Toh, kami PP naik bus dari sekolahan bersama rombongan, tidak hanya aku dan anak-anak.

Masalahnya, mobil yg dititip di sekolah anakku gimana? Yang namanya berangkat rombongan, kami harus ketemuan di sekolah anak, sebelum akhirnya naik bus bersama. Mobil yg dibawa dititipkan di sekolah. Tadinya sempat terbersit untuk minta antar saja, waktu berangkat ke sekolah, supaya tidak perlu menitipkan mobil. Tapi dikarenakan mertuaku juga hendak bersiap utk umroh, kami tidak ingin merepotkan.

Ya sudahlah, saran yg diberikan suami tadi akan kupertimbangkan. Kalau aku ragu mengemudi, biar nanti pesan gocar saja.

Beberapa jam perjalanan di bus menyebrangi selat Sunda pada malam itu, akhirnya mengantarkan kami tiba kembali di Lampung. Waktu masih menunjukkan jam empat pagi, waktu bus ini akhirnya memasuki halaman sekolah. Wah, ternyata cepat juga perjalanan di malam hari.

Wait. Kenapa nggak aku coba saja bawa mobilnya? Bukannya sudah biasa latihan bawa mobil Subuh-subuh. Kan, jalanan masih sepi?

Kulihat kedua anakku yg terpaksa kubangunkan setelah bus parkir di halaman sekolah.
"Yuk, Nak, kita turun dari bus."
"Umi, yg bawa mobil siapa? Kan, papa ketinggalan di Jakarta?" tanya putri sulungku yg berusia enam tahun dengan polosnya.
"Iya, Umi yg bawa, Nak." Padahal aku sendiri tak yakin apakah aku bisa menyetir saat ini.
"Emang Umi bisa bawanya?" Tuh, kan. Anakku juga meragukan. Hihihi.
"Doain aja, ya, Nak." Tak lupa kuberikan senyum termanis meski bayangan pasti hanya berupa remang-remang. Namanya juga suasana masih gelap.

12 Hari di Balik Kemudi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang