Berani Coba?

318 14 2
                                    

Cuma tanya. Cuma tanya. Sebut hatiku berulang-ulang. Namun setelah mendengar penjelasan Mbak-nya, kenapa aku jadi tertarik ambil kursus mengemudi, ya.

***

"Minggir, Pak."
Aku menarik napas saat hendak turun dari angkutan umum berwarna biru muda ini. Well, here I am.

Kulangkahkan kaki dengan ragu saat tubuh sudah berdiri tepat di hadapan bangunan ruko.

Tenang. Aku bukannya mau langsung mendaftar. Aku kan cuma mau tanya, nggak ada salahnya, kan?

Kursus Mengemudi Widi Mandiri.
Begitu tulisan yang tertera pada papan di atas pintu kaca. Tapi, kok, sepertinya tidak ada orang.

Aku coba ketuk lalu menarik handle pintu. Dikunci?
Apa ini berarti aku harus mengundurkan niatku? Okay, nggak apa-apa, kalau nggak jadi. Aku nggak masalah, suer.

Ada sepercik rasa lega di hatiku muncul seketika. Lalu ....

Seorang perempuan berhijab membukakan pintu untukku.
"Maaf, Mbak."
Sesaat aku terpana. "Oo, kirain tutup." Segera saja aku menyesali mulutku yang berbicara semaunya. Tahan, Em.

"Ada kok, Bu," jawab si Mbak berhijab lalu mempersilakan aku duduk. Sesaat aku memperhatikan perempuan di hadapanku ini. Senyumnya lebar, sangat ramah. Dengan mata yang begitu menaruh perhatian. Sangat cocok bekerja sebagai customer service atau apapun yang berhubungan dengan orang lain. Kebalikan aku. Hihihi.

"Ehem, jadi gini, Mbak. Saya mau tanya dulu tentang kursus mengemudi di sini."

Cuma tanya. Cuma tanya. Sebut hatiku berulang kali berusaha utk tetap tenang.

"Sebelumnya Ibu pernah belajar mengendarai mobil?"
Aku menggeleng cepat.
"Motor saja aku nggak bisa kok, Mbak."

Si Mbak tersenyum. Tangannya meraih sebuah brosur berisi daftar harga paket kursus mengemudi.

"Jadi ini, Ibu, paket-paketnya. Tergantung dari mobil yang diambil."
Aku mendengarkan penjelasan yang diberikan sambil mengangguk-angguk.

"Di rumahku ada mobil Ayla, Mbak. Yg manual." Langsung saja terbersit sebuah mobil berwarna putih yang selama ini mangkrak di garasi kecuali weekend pas ada suami.

"Oo, berarti yang ini paketnya." Tangannya bergerak menunjuk sebuah tabel.

Rupanya ada lima paket yang tersedia di Widi Mandiri. Dari mulai setengah paket yang cuma dua jam, satu paket yang belum dapat bonus terapi hingga lima paket yang dapat bonus terapi hingga empat kali.

Aku mulai menimbang-nimbang. Hmm, nggak terlalu mahal sih, menurutku, apalagi ini ada bonus terapi takutnya.

"Mbak, kalau misalnya saya ambil paket tiga, lalu ternyata belum bisa juga, itu gimana Mbak? Apa bisa nambah?"

Pertanyaan macam apa ini? Aku tertawa dalam hati, menghina diri sendiri. 

"Nggak bisa, Bu. Kalau ganti paket nggak bisa. Nanti jatuhnya selesai satu paket, Ibu ambil lagi paket berikutnya. Mending sekalian paket lima yang komplit, Bu."

Huhuhu, tapi dananya. Mana insentif belum keluar. Tunggu. Bukannya tadi niatnya cuma mau tanya?

"Iya si, Mbak. Aku lebih ke takutnya. Wong aku sepeda aja gak bisa kok. Apalagi aku dulu pernah kerja di UGD, jadi sering liat kecelakaan gitu."

Apa sihh. Jadi kesempatan buat curcol.
Ini soalnya Mbaknya pembawaannya ramah jadi aku terpancing untuk bercerita dengan entengnya. Padahal aku tipe orang yang tertutup lho.

"Nah, apalagi itu, Bu. Bisa langsung ambil paket lima aja, sekalian dapat 4 kali terapi."

Kembali aku menimbang-nimbang. Duh, padahal niatnya cuma tanya. Tapi, kenapa aku jadi tertarik gini ya?

"Tapi, Mbak, kendalaku kerja shift, nggak teratur. Jadi misalnya hari ini pagi, besoknya sore, itu gimana? Bisa diatur jadwalnya, nggak?"

Kenapa aku jadi setengah berharap dapat jawaban, "oo, tidak bisa."
Okay, fix, kalau jadwal nggak flexible aku pasti batal ambil kursus mengemudi.

"Bisa. Bisa. Jadwal nanti bisa menyesuaikan, Bu."

Gubrak! Sudah dpt terapi, ada beberapa pilihan paket, trus jadwal juga bisa disesuaikan. Mantap niaaan.

"Hm, aku minta dulu brosurnya, nanti aku tanya suami dulu ya, Mbak," ujarku akhirnya.

Bahasanya sih gitu. Padahal aku tahu suami sudah setuju. Itu cara lainku utk bilang: saat ini aku belum punya uang, Mbak. Haha, ya Salam.

Pokoknya kalaupun aku ambil paketannya, tunggu udah gajian aja deh.

"Iya, Bu. Silakan. Kalau ada yg mau ditanyakan, bisa wa ke sini." Ada sebuah nomor yang tertera pada brosur sebagai contact person.

Aku tersenyum. "Makasih, ya, Mbak."
Aku masukkan brosur itu ke dalam tas lalu melangkah pergi.

Entahlah, yang penting aku lapor dulu sama suami. Apapun kegiatanku beliau harus tahu, iya doong.

"Silakan kalau mau ambil kursus mengemudi. Tapi kira-kira kalau mau jadi buat mengeluh lebih baik jangan."

Kira-kira begitu jawaban suami waktu aku minta pendapatnya. Aku foto brosurnya dan kirim lewat WhatsApp. Maklum saja, kami memang tinggal berjauhan. Karena suamiku bekerja di luar kota. Hal ini juga yang menghambatku belajar mengemudi selama ini. Waktu kami bertemu pun hanya sedikit. Dan di antara sedikit waktu itu sudah habis terisi oleh family time. Alias main sama anak. Udah nggak sempet lagi melakukan hal lain. (Pingin nge-date bedua ma suami aja nggak sempet, huhuhu, curcooll)

Okay, jadi intinya suami setuju setuju saja.

"Ibu itu bisa kok. Yang penting belajar. Gak usah ambil terapi takutnya dulu, belajar aja dulu."
Terngiang kembali ucapan seorang pakar sidik jari tempatku berkonsultasi sebelum ini. Dari beliaulah tersibak sisi lain yang baru saja kuketahui di usia sekarang ini.

Bahwa ternyata aku dominan otak kiri, padahal selama ini aku mengira diriku dominan otak kanan yg mengutamakan perasaan. Jadi ternyata aku belum terlalu mengenal diri sendiri selama ini? Huhuhu.
Perhatian, aku nggak mau bahas banyak tentang obrolanku dengan sang terapis ini ya, nanti ceritanya jadi melenceng dari niatan awal. Haha.

Lagi, bayangan kecelakaan mobil terlintas di kepala. Dari mulai pasien-pasien yang pernah kurawat di UGD, tetangga yang mati ditabrak kendaraan dan meninggal langsung di tempat, di depan gang rumahku lagi. Ya Alloh.

Lantas bagaimana? Apa aku berani ambil kursus mengemudi?

12 Hari di Balik Kemudi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang