Danis menyodorkan kotak rokoknya kepada Arka setelah menarik anak itu ke belakang perpustakaan. Selain loteng, ini adalah satu-satunya tempat yang tidak bisa dijangkau oleh CCTV, akan aman jika mereka merokok di sini.
"Udah ambil aja. Di sini aman kok."
Bukan karena takut kepergok merokok di sekolah, hanya saja mood Arka sedang tidak dalam mode yang baik. Ia malas hanya untuk sekadar mengisap benda itu.
Namun karena terus di paksa Danis, Arka mengambil sebatang rokok. Danis pun segera memantik korek gasnya dan menyulut ujung rokok Arka yang sudah terselip di celah bibir.
Danis tersenyum, ia pun juga menyulut ujung rokoknya lalu mengambil duduk di bawah pohon beringin. Sebenarnya tanah di sana masih basah akibat hujan tadi pagi, tapi sepertinya cowok itu tidak peduli.
"Tangan lo gimana?" Danis menatap tangan Arka yang dibalut perban.
Hening.
Sudah menjadi hal biasa jika pertanyaan Danis tak mendapat jawaban dari Arka. Cowok yang tengah menikmati gulungan tembakaunya itu hanya mengembuskan asap rokok dari mulutnya, seolah Danis tak pernah ada di tempat itu.
Lagipula ia tidak meminta Danis untuk menjadi temannya. Arka tak membutuhkan siapapun untuk berada di dekatnya, ia sudah terlalu terbiasa berteman dengan sepi. Jadi bukan salahnya jika ia tak menghiraukan kehadiran Danis.
Arka mengisap rokoknya dalam-dalam, menikmati aroma khas tembakau di dalam mulut dan hidungnya, lalu mengembuskan asapnya secara perlahan.
Ingatan Arka kembali berputar pada kejadian tadi pagi, di mana ia berlari mengejar cowok yang telah lancang mengambil gambarnya dengan gadis sinting yang mengomelinya.
Arka paling tidak suka jika ada seseorang yang mengusik privasinya. Siapa pun yang telah berani mengganggunya jangan harap bisa terlepas dari cengkraman Arka.
Arka berhenti tepat di depan pintu kamar mandi. Rahangnya mengeras, emosinya sudah terpancing oleh gadis gila di UKS tadi, dan sekarang cowok yang tengah bersembunyi itu membuat emosinya memuncak.
Ia menggedor pintu kamar mandi yang terkunci. Arka bukan tipikal orang yang sabar, tanpa berpikir panjang ia menendang pintu tersebut hingga terbuka.
Arka langsung bergerak memeriksa setiap bilik kamar mandi, pintu bilik paling ujung terkunci, sekali lagi Arka melibatkan tendangannya untuk membuka pintu tersebut. Di sana cowok itu bersembunyi. Tangannya yang bergetar menempelkan ponsel di telinga.
Arka semakin geram. Ia merebut ponsel tersebut dan membantingnya hingga hancur. Nyali cowok di hadapannya semakin menciut. Berkali-kali ia memohon ampun.
Namun bukan Arka namanya jika memberikan maaf semudah itu. Arka menyeret cowok itu keluar dari bilik toilet lalu melemparnya hingga berguling di lantai kamar mandi.
Cowok itu langsung bangkit lalu berlutut dengan kedua telapak tangan yang menyatu memohon ampun agar Arka memaafkannya. Namun Arka kembali meraih kerah seragam cowok itu hingga berdiri.
Arka melemparnya kembali ke arah wastafel.
"Arka, gue bener-bener nggak sengaja. Tolong maafin gue."
Suara cowok itu semakin bergetar saat Arka kembali meraih kerah seragamnya dan mengangkat kepalan tangannya yang siap mendarat di wajah cowok itu.
"Gue berani bersumpah kalo gue nggak ada maksud apa-apa. Tolong ampunin gue Arka, tolong ampunin gue."
Cowok itu menggenggam tangan Arka yang tengah menarik kerah seragamnya dengan erat.
Kelopak mata Arka langsung melebar. Napasnya tercekat. Ia seolah tertarik dengan cepat hingga terlempar pada sebuah kelab malam. Sosok cowok yang tengah ia cengkram kerahnya ini sedang bercumbu mesra dengan seorang gadis penghibur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Hi, Arka
Teen FictionHanya dalam dua hari semuanya berubah. Saat kau datang dan menarikku tanpa sengaja, kau tak membuatkan pintu untukku keluar. Aku terkunci dalam hatimu yang beku. -Rethalia Putri.