Pagi-pagi suasana hati laki-laki berwajah datar tanpa ekspresi itu harus dibuat rusak oleh cuaca yang tak mendukung. Dari dalam mobil yang dikemudikan oleh sopirnya, sorot mata tajam itu menatap kondisi jalan yang sudah basah. Ia menghela napas beberapa kali, mencoba untuk menenangkan hatinya sendiri.
Sampai beberapa menit kemudian mobil laki-laki itu berhenti tepat di depan gerbang SMA Pancasila. Sopir yang tadi mengemudi lantas turun sambil membawa payung dan membukakan pintu penumpang untuk anak majikannya. Dengan sangat hati-hati pria yang berusia sekitar empatpuluh tahun ke atas itu memayungi laki-laki bak manekin tanpa ekspresi yang sekarang tengah berjalan pongah di bawah naungan payung.
Sang sopir mengikuti langkah tuan mudanya hingga Pak Ujang--satpam SMA Pancasila-- mengambil alih payung dan memayungi laki-laki yang belum juga membuka mulut itu.
"Pagi Mas Arka."
Sapaan itu seakan lenyap di tengah rintik hujan tanpa balasan ramah dari laki-laki pemilik nama Arka yang tengah ia payungi. Pak Ujang tersenyum kecut, sudah terlalu kebal untuk sikap tak acuh dari anak pemilik sekolah ini.
Setelah sampai di tempat yang bebas dari rintik hujan. Pak Ujang berhenti memayungi Arka dan kembali pada pos satpamnya untuk menutup gerbang sekolah. Sedangkan Arka sendiri sudah melangkah menyusuri koridor yang sepi. Ruang kelasnya berada di lantai paling atas membuat Arka mendengus karena harus melewati dua lantai terlebih dahulu.
Di persimpangan koridor kelas sepuluh lantai dasar tiba-tiba saja sesuatu menubruk punggungnya, laki-laki itu mengernyit, bukan karena rasa sakit di punggungnya melainkan suara benda terjatuh mengiringi tubrukan itu. Arka menoleh setelah mendengar ringisan pelan dari seseorang di belakangnya.
Dengan sorot mata khasnya: tajam dan mematikan, Arka menatap seorang gadis yang tengah mengaduh dengan ekspresi wajah yang menahan sakit. Rona merah terlihat pada wajah putih bersih gadis itu, terlebih saat ia mendongak dan bertemu tatap dengan Arka.
Arka masih bergeming saat gadis yang dibuatnya terjengkang tadi mulai bangkit dan menatap ke arahnya dengan senyum manis yang berusaha ia perlihatkan. Arka memerhatikan gadis itu dari ujung kaki hingga rambut, karena tak menemukan sesuatu dari bagian tubuh gadis itu yang terluka, Arka lantas membalik tubuhnya lagi dan melanjutkan langkahnya yang sempat terinterupsi tadi.
Karena suasana hati yang memang dari awal sudah kacau dan ditambah lagi dengan kejadian tadi, akhirnya Arka memutuskan untuk tidak masuk kelas. Laki-laki itu berbelok menuju ruang UKS untuk mengistirahatkan tubuh serta hati dan pikirannya.
Arka mendorong pintu UKS yang masih tertutup lalu masuk begitu saja dan mengambil bilik paling ujung dekat dengan tembok untuk ia tempati. Arka langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang, memejamkan mata agar segera terbawa ke alam mimpi. Namun sayang ada saja yang mengganggu ketenangan laki-laki itu. Ponsel yang bergetar di saku celananya berhasil menarik Arka untuk membuka mata lagi.
Jika getaran itu hanya sekali mungkin Arka bisa mengabaikannya, namun getaran itu terasa berkali-kali hingga membuatnya mengerang frustrasi. Siapa yang telah berani mengganggunya di pagi seperti in? Arka berdecak saat melihat kolom notifikasi yang dipenuhi oleh pesan dari Danis, teman sebangkunya yang selama ini menganggap Arka sebagai sahabatnya, padahal laki-laki itu seolah tak memedulikan keberadaan Danis.
Karena sudah terlanjur, akhirnya Arka membuka pesan itu.
Danis: Ka, lo di mana?
Danis: Udah nyampe sekolah belum?
Danis: Balok es, bales dong
Danis: Jangan cuma dipelototin
Danis: gue doain mata lo bintitan baru tau rasa
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Hi, Arka
Ficção AdolescenteHanya dalam dua hari semuanya berubah. Saat kau datang dan menarikku tanpa sengaja, kau tak membuatkan pintu untukku keluar. Aku terkunci dalam hatimu yang beku. -Rethalia Putri.