Retha terlonjak saat seember air mengguyur tubuhnya. Ia terbangun, tatapannya menyipit memperhatikan segerombolan siswa dengan seragam yang sama dengannya itu tertawa menatapnya.Retha mengangkat tubuh, sudut bibir gadis itu terasa perih, ada sobekan kecil di bibir ranum itu. Retha lantas menyeret tubuhnya untuk mundur saat suara bergairah itu kembali memenuhi benaknya.
Ia ingat. Sepeninggalan Arka sore tadi cowok berambut ikal dengan senyum mengerikan itu menampar dirinya hingga membuatnya kehilangan kesadaran. Waktu itu ia menolak perintah mereka untuk membuka seragamnya dan malah meludahi salah satu cowok yang mendekatinya.
Air mata Retha langsung mengalir saat secara bersamaan ke delapan cowok itu melangkah mendekatinya. Retha melirik sekelilingnya mencari senjata untuk melindungi diri, namun nihil, tak seperti film atau drama yang sering ia tonton, di tempat berdebu itu tak ada kayu ataupun sejenisnya di sana.
Retha sempat menatap beberapa gadis yang tengah berpesta, mereka mengangkat botol yang Retha yakini berisi alkohol, sebagian dari mereka memilih duduk di sofa lapuk yang sudah termakan usia sambil terus mengisap rokoknya. Terlihat tak peduli terhadap apapun yang akan dilakukan teman laki-lakinya terhadap Retha.
"Sudah cukup tidurnya manis. Sekarang lo harus melayani kami."
Fokus Retha kembali teralihkan menatap segerombolan cowok itu. Bisingnya suara nafsu dari hati mereka membuat Retha ingin menjerit. Ia tak ingin perawannya pecah di tangan para berandalan itu.
Bunda, tolong Retha.
Batinnya merintih. Ia menyesal karena tak mengikuti kata bundanya untuk menelepon jika Dean tidak bisa mengantarnya pulang. Ia menyesal karena telah nekat pulang sendirian.
Ya Tuhan, apa hidupnya akan berakhir seperti ini? Retha sangat takut, bahkan untuk berbicara pun lidahnya sampai kelu. Ia tak ingin perawannya diambil oleh mereka. Retha lebih rela mati daripada memberikan sesuatu paling berharga dalam hidupnya kepada para berandalan itu.
Retha berontak saat dua di antara mereka maju dan memaksanya untuk membuka baju. Ia terus melindungi dadanya, menyilangkan kedua tangan di sana, lengan seragamnya sobek saat salah satu dari mereka menariknya secara paksa.
"Ayolah manis, ini nggak akan sakit kok. Kalo lo terus berontak kayak gini, kita terpaksa nih pake kekerasan."
Rinai itu mengalir deras, Retha tak peduli jika mereka akan memukulinya sampai mati, yang jelas, ia tidak akan pernah membiarkan mereka mengambil perawannya.
"T-tolong ... tolong jangan." Retha memohon sambil terus melindungi dadanya.
Ya Tuhan tolong Retha.
Melihat Retha yang tak menyerah membuat kedua cowok yang tadi memaksanya membuka seragam berdiri. "Dia nggak mau ngalah. Udah serbu aja langsung."
Jantung Retha seakan berhenti berdetak, ia mundur walaupun punggungnya sudah menyentuh dinding.
Baru selangkah mereka bergerak, suara dobrakan pintu yang sangat keras langsung mengalihkan perhatian mereka.
Sosok dengan tatapan tajam itu melangkah lebar mendekati mereka dan langsung melempar helm yang dibawanya hingga membuat salah satu dari ke delapan cowok tadi terjengkang ke belakang.
Retha menatap tak percaya sosok yang berdiri dengan tangan terkepal itu dari celah tubuh cowok yang berada tepat di depannya. Ia tak menyangka sosok itu akan kembali.
Arka.
🐳🐳🐳
Motor sport berwarna hitam tersebut membelah jalan ibu kota malam itu. Sosok yang mengemudikannya menarik gas tanpa ragu-ragu. Menyalip setiap kendaraan di depannya dengan lihai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Hi, Arka
Teen FictionHanya dalam dua hari semuanya berubah. Saat kau datang dan menarikku tanpa sengaja, kau tak membuatkan pintu untukku keluar. Aku terkunci dalam hatimu yang beku. -Rethalia Putri.