Tiiiing Toooong Tiiiiing
(bel pulang)Lonceng surga sudah berbunyi dan itu artinya penantian murid-murid terbayarkan.
Setelah pak Anwar, guru Biologi meninggalkan kelas. Semua siswa langsung berkemas dan berhamburan keluar untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Dan, elo serius mau..."
"Marleon Arfandi, berapa kali gue harus bilang? Gue serius, dua rius malahan."
"Gue cuma khawatir aja, Dan. Gue nggak mau elo ribut sama Dion!"
"Bro, elo kek nggak kenal sama gue aja. Gue nggak bakal ribut sama dia, lagi pula apa untungnya coba?"
"Tapi, Dan..."
"Fan, udah ya! Masalah itu udah lama lewat. Itu semua cuma masa lalu dan nggak akan berpengaruh buat masa depan gue. Jadi, elo tenang aja!"
Dion? Dion Yoga Bintara, nama itu kadang memang sedikit menyentil hatiku. Dia adalah sahabat yang dulu amat kupercaya, dia adalah salah satu orang yang berarti untukku. Tapi, dia mengecewakanku dengan cara yang tak pernah terpikirkan olehku.
Dia menusukku dari belakang, dia mengkhianatiku dan merampas gadis yang kucintai. Apakah ini kisah masa lalu yang cheesy? Entahlah, aku tidak mau perduli. Yang aku tahu, sekarang aku baik-baik saja tanpa mereka.
"Yaudah, Dan. Kalo gitu gue cabut duluan, ya."
"Yoi."
Aku dan Arfan berpisah di halaman sekolah. Dengan Arfan yang pergi menuju parkiran dan aku yang menuju gedung keempat untuk menemui Amara di ruang Jurnalistik.
Ruang Jurnalistik ada di lantai 3 gedung ke-4. Dan untuk sampai kesana aku harus naik tangga. Bukankah ini cukup melelahkan? Tapi, tidak apa-apa karena ini masih permulaan.
Bersyukurlah aku yang memiliki tinggi badan cukup fantastis sehingga berpengaruh pada langkah kakiku. Berkat langkah panjangku tidak perlu memakan waktu terlalu lama untuk sampai di lantai 4.
Kakiku berhenti di depan ruang Jurnalistik yang terlihat sepi tak berpenghuni dan sepertinya masih terkunci rapat. Alhasil aku harus berdiri dan menunggu disana.
"Dannis?"
"Hai, kak!"
Amara datang bersama gadis kuncir kuda yang kemarin. Hari ini gadis itu memakai kaos klub Jurnalistik. Dan masih sama seperti kemarin, dia jutek, tidak tersenyum atau menyapaku.
"Udah lama?"
"Belum kak. Baru aja sampe."
"Yaudah, masuk yuk!"
"Iya, kak."
"Ra, gue cabut dulu."
Si gadis kuncir kuda bersuara sambil menunjukkan aplikasi whatsapp-nya pada Amara.
"Pak Guntur lagi?"
"Yoi."
"Ishh, nyebelin banget sih. Yaudah, sana!"
"Oke."
Aku masuk ke ruang Jurnalistik mengikuti Amara.
Mataku membelalak menyaksikan keadaan ruang Jurnalistik yang begitu menarik Jauh sekali dari perkiraanku, ruangan ini didesain santai dan memiliki fasilitas yang lengkap.
Ada sofa berbentuk L di samping kiri lengkap dengan meja kaca dan televisi. Lemari kaca 4 rak yang masing-masing berisi dokumen-dokumen dan beberapa kamera.
Di tengah ruangan ada meja panjang dan kursi yang berjumlah 15 buah.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Jurnalism to Love
Teen FictionAku pikir kamu istimewa, karena kamu nggak suka aku.