"Udah jelas semua?"
Serempak anak-anak Jurnalistik mengiyakan pertanyaan sang ketua. Sore ini merupakan rapat terakhir menjelang acara pameran sekolah.
Seluruh anggota telah terbagi rata dan akan mulai bergerak sesuai dengan tugas masing-masing esok hari.
"Kalo gitu sampai disini rapat hari ini."
Enggi mengakhiri rapat dan mulai berkemas untuk pulang ke rumah. Sama halnya dengan anak-anak Jurnalistik yang lain. Satu persatu dari mereka mulai meninggalkan ruangan.
"Nggi!"
"Kenapa, Liv?"
"Gue pulang bareng elo, ya?"
"Lho, emang Satriya kemana?"
"Katanya sih ada latihan basket."
"Masa sih? Bukannya..."
"Oliv pulang sama gue kak!"
Keduanya menoleh ke sumber suara dan mendapati Dannis yang masih berada disana.
"Elo mau nganterin Oliv?"
Dannis mengangguk yakin lantas meraih tangan Oliv agar mengikutinya meninggalkan ruang Jurnalistik.
"Ck! Nggak usah pegang-pegang tangan! Modus lo!"
"Hehe, abisnya kalo nggak gini kamu pasti bakalan nolak."
"Gue nggak bakal kabur jadi...lepasin tangan gue."
"Siap bos!"
Mereka lantas melanjutkan langkah menuju parkiran kelas X yang sudah sepi karena jam sekolah memang telah usai sejak 2 jam yang lalu. Hanya tinggal beberapa motor siswa yang sedang mengikuti eskul saja yang mengisi tanah luas itu.
"Sebelum pulang kita makan dulu, yuk!"
"Terserah elo. Yang penting gue sampe rumah."
Dannis terkekeh pelan mendengar jawaban Oliv yang selalu terkesan tidak perduli.
Ini adalah kali ketiga Dannis mengantar Oliv pulang dan kali ketiga pula gadis itu bersikap lebih santai dan ramah pada Dannis. Memang tak seramah saat menghadapi Enggi atau Satriya tapi, Dannis yakin suatu saat dia akan bisa meluluhkan hati Oliv. Bukankah semua memang perlu waktu dan proses?
10 menit kemudian....
Dannis menghentikan motornya di depan salah satu cafe kekinian. Keduanya turun dari motor dan langsung memasuki cafe.
"Udah pernah kesini?"
"Belum."
Mata Oliv terus mengedar memperhatikan setiap pahatan artistik dan kekinian yang mendominasi interior cafe tersebut.
"Mau pesen apa?"
"Samain aja."
"Oke."
Beberapa menit kemudian pesanan mereka datang. Tanpa disuruh Oliv langsung meraih sendok dan mencicipi hidangan di hadapannya.
"Gimana?"
"Enak."
Senyum Dannis mengembang menyadari raut antusias di wajah Oliv.
"Makan yang banyak biar kuat menghadapi kenyataan."
"Kok berhenti? Nggak enak, ya?"
Ucapan Dannis bagai angin lalu di telinga Oliv. Matanya menatap pada sebuah objek yang berada di luar cafe, lebih tepatnya pada dua orang yang sedang berjalan beriringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Jurnalism to Love
Teen FictionAku pikir kamu istimewa, karena kamu nggak suka aku.