Aku berdiri saja di sudut meja si bos hingga dia menyuruhku duduk.
"Ada apa, Mars?" ulangnya lagi setelah aku duduk di kursi di hadapannya. Suaranya rendah dan dalam. Kedua tangannya disilangkan di atas meja kaca. Ujung jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja.
"Eum... soal... tiket Ibu Celline...."
"Oh itu," potong si bos cepat. "Dia minta dipesankan tiket untuk Sabtu ini, kan?"
"Ya, Pak. Penerbangan pertama. Kelas bisnis." Aku mengangguk. "Is that okay?" tanyaku kemudian. Sedikit ragu.
Pak bos tak bergeming. Terus mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja.
"That's okay, actually. Just do whatever she wants." Pak bos mengedikkan bahunya. Terlihat pasrah.
"She is also part of this company, by the way."
Aku menatap pak bos dengan tatapan 'oh ya?' Dia kemudian menggangguk memberi konfirmasi.
"All right, then."
Aku mengangguk dan tersenyum singkat setelah mencerna kata-kata pak bos lebih lanjut.
Jadi benar, Celline bukan hanya tunangan pak bos saja. Dia ternyata juga adalah bagian dari TME. Walau pun perannya sebagai apa masih menjadi pertanyaanku selanjutnya. Tapi untuk saat ini sudah cukup lah aku tahu, alasan kenapa dia bersikap begitu arogan.
Pak bos berdiri, mengitari mejanya, menghampiriku.
"Bagaimana persiapan meeting hari ini?"
"Sudah siap, Pak. Tinggal menunggu konfirmasi Anda untuk slide yang saya kirimkan." Pak bos bergerak mendekatiku, lalu duduk di tepi meja kacanya, persis di sebelahku.
Aku mulai waspada. Apalagi tangannya mulai bergerak seperti hendak menjamah pundakku.
Aku menahan napas.
"Mars," panggilnya.
Aku memberanikan diri menatap wajahnya. Matanya terlihat menyimpan sesuatu. Kelam. Seperti ada yang disembunyikan.
Dia menghela napas panjang, menarik tangannya yang hampir menyentuh pundakku. Lalu berucap datar.
"Please call me Bryan, not Sir or Boss, will you?"
Dia menatapku. Bibirnya yang tipis mengatup rapat, membuat sebuah garis datar. Astaga, kenapa dia imut sekali?
"Tap-tapi... Pak... umm... ehh...."
"Bryan," ucapnya.
Aku manggut-manggut saja. Sekali pun dalam hati masih terus mikir, kenapa si bos ganteng ini tiba-tiba pengin dipanggil dengan nama saja. Padahal, rasanya canggung banget memanggil tanpa embel-embel 'pak' atau 'bos'.
"Kurasa usia kita tidak terlalu terpaut jauh. Kita bisa lebih akrab dengan saling menyebut nama."
Si bos, eh Bryan tersenyum lagi. Dia berdiri kemudian memutari mejanya dan kembali duduk.
Aku pun pamit kembali ke ruanganku untuk bersiap-siap. Mengkonfirmasi pesanan tiket Celline sambil menunggu draft presentasiku diapprove atau dikoreksi pak bos.
******
Aku sudah menduga meetingnya akan sangat membosankan. Beberapa kali aku harus menahan diri dari menguap. Membuat mataku rasanya merah dan berair.
Kami sudah satu setengah jam berada di ruangan ini. Ada sekitar delapan orang perwakilan dari Thiezz Contractors. Jadi kami bersepuluh orang termasuk aku dan pak bos. Ah, susah sekali membiasakan diri memanggilnya 'Bryan' begitu. Tapi karena perintah atasan, aku pun harus menurut.
KAMU SEDANG MEMBACA
What's Wrong With You, Boss? (COMPLETED)
Chick-Lit"Mulai besok, kamu pakai baju yang worthed untuk gaji mahal yang akan saya keluarkan untuk bayar kamu. Minimal, pakai lah rok mini. Jangan daster begini!" ~Si Boss~ "Aku ke sini untuk kerja. Bukan untuk show off atau sedang pagelaran busana, bukan...