🍥BAB 4🍥

5.3K 201 1
                                    

Adi POV'S

Aku mengerutkan dahiku, menatap istriku yang kulihat tiba-tiba membuka matanya dengan nafasnya yang menggebu cepat. Segera kuhampiri ia dan langsung ke dekap begitu airmata nya menetes di sudut matanya.

"Dek, kamu kenapa?" tanyaku khawatir karena Biana yang langsung memelukku erat.

"Hiks.. Aku mimpi buruk mas," ucapnya sambil terisak-isak di dadaku.

Aku lantas menghembuskan nafas lega dan bergerak mengusap punggungnya dan ku kecup lama keningnya.

"Semua baik-baik saja dek, mas disini.." ujarku. Kurasakan Biana mengangguk dan berangsur-angsur suara isakannya tidak terdengar lagi. Kutatap murni matanya yang sedang menatapku.

"Aku mimpiin mas, balik sama Akira. Aku takut mas," aku menggeleng pelan dan disini aku simpulkan, mungkinkah Biana merasa kawatir bahwa aku akan kembali pada Akira. Memang benar Akira adalah mantan tunanganku dulu, tapi sekarang keadaan telah berbeda dan aku pun tidak mengingat bagaimana jelas hubunganku dengan Akira dulu.

Ini membuatku cukup frustasi.

Aku tersenyum lembut seraya ku tangkup wajahnya menghadap padaku.

"Dek, itu hanya mimpi. Jangan di pikirin ya, mas nggak akan pernah ninggalin kamu, sayang." ucapku dengan tulus. Ku usap kedua matanya dan lalu ku kecup lembut.

"Tapi.. Akira bilang dia masih cinta sama mas, dia juga bilang kesalahannya itu karena orangtua nya." aku menghela nafas dan sekali lagi ku kecup keningnya.

"Dek dek, dengerin mas. Apapun yang Akira ucapkan di dalam mimpi kamu. Itu bukan kenyataan, sayang. Itu cuman bunga tidur, dan jangan bahas lagi. Kamu bahkan belum tersadar kan, ini dimana?" kataku yang berhasil mengalihkan pikiran dan perhatian istriku itu. Biana menatap ke arah jendela dan seketika matanya melebar dan perempuan itu segera turun dari ranjang, berjalan menuju kearah balkon kamar hotel yang telah aku booking untuk lima hari kedepan bersama istri cantikku itu.

"Ini kota Banjarmasin," aku mengangguk sembari memeluk pinggang Biana dari samping, menyibak rambutnya dan mengecup pipinya.

"Iya dek. Maaf kalau terlalu berisik ya, mas sebenarnya mau cari penginapan yang tenang tapi udah kehabisan, jadi ya terpaksa ke hotel yang dekat jalan raya. Nggak apa kan?" istriku itu menggeleng cepat dan memeluk tubuhku.

"Nggak apa mas, udah cukup kok. Malah aku seneng, ramai kaya gini.." ucapnya sambil tersenyum manis.

Aku dan Biana masih berdiri di balkon kamar, menikmati pemandangan kota Banjarmasin yang selalu ramai di setiap waktu. Bahkan istriku itu sempat terpekik saat melihat rombongan para Habsyi anak-anak yang bershalawat nabi sambil berjalan santai dan tertawa. Kota Banjarmasin yang memang terkenal kental akan budaya shalawat mereka, dan selalu menjadi tempat kunjungan damai para syekh-syekh dari luar kota bahkan negara jauh.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku berkunjung ke kota Banjarmasin, tapi ini sudah ke tiga kalinya. Yang pertama saat aku masih kecil yah sekiranya berumur 10 tahun, aku datang ke Banjarmasin saat itu karena ke acara pernikahan sahabat papa dan mama, yang kedua saat aku kelas SMA, aku berkunjung ke Banjarmasin karena di ajak oleh guru mengajiku untuk menghadiri acara isro mi'roj disana yang di datangkan oleh seorang Habib Syech Abdul Qodir Assegaf, dan yang ketiga saat ini, bersama istriku aku kembali mengunjungi kota ini, Banjarmasin.

"Mas?" aku menoleh menatap Biana yang tengah bersandar di dadaku, kami sudah berpindah duduk di atas ranjang dengan Biana yang duduk di pangkuanku. Hari masih terbilang siang, karena cuaca yang panas dan juga istriku itu entah kenapa tidak mau berjauhan sedikit pun denganku. Hei! Apakah ini kode?

PATIENCE MY-WIFE |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang