PROLOG

63 9 0
                                    


-Gambar di mulmed hanya pemanis


-PROLOG-



"Lo denger 'kan?" Seorang pemuda berseragam SMU—oranye hijau—berseru nyaris seperti bisikan kepada salah satu teman di sampingnya.

Dengan wajah bingung temannya menggeleng. "Memangnya apa yang lo denger? Yang benar saja! Rumah ini gak ada hantunya, ayo!" Rutuk sang kawan sembari melangkah melewati kawanan tumbuhan putri malu yang tumbuh subur di halaman belakang rumah yang sedang mereka masuki. Burung gagak berkoak mengitari rumah tersebut.

"Ya, sudah, gue tunggu di sini aja."

Edo bersama tiga kawannya berhenti di tengah jalan, berbalik menatap teman mereka dengan tatapan menghina.

"Suara perempuan nangis, emang lo gak denger?" Bela temannya yang tadi sekali lagi. Semakin takut mendengar koakan gagak. Bulan separuh mengintip lima siswa itu dari balik cerobong asap.

"Sekali penakut tetap penakut!"

Setelah berkata demikian, Edo kembali melangkah bersama temannya yang lain sambil bersiul seolah rumah yang santer akan keangkerannya itu hanyalah bualan. Akan tetapi, tubuh mereka berempat tiba-tiba kaku; diam tak bergerak, padahal tersisa jarak satu meter untuk mencapai pintu.

Darah muncul dari pipi kiri Edo, sang pemimpin misi. Tetesannya belum sampai membasahi kerah kemeja, bagian-bagian tubuhnya yang lain menyusul, terbongkar seperti mainan bongkar-pasang yang diruntuhkan. Mulut Edo tadinya mau berteriak tapi terlanjur jatuh mencapai tanah sebelum menghasilkan suara.

Hilman yang berdiri tak jauh dari Edo, mengalami hal serupa. Meski potongannya kurang sempurna. Sedangkan dua lainnya dengan kaki gemetaran berusaha berbalik arah. Namun, Wira berambut pirang saking terburu-buru, akhirnya menginjak perangkap babi hutan. Kakinya terjepit benda tajam serupa tangan manusia yang ditangkupkan. Sebuah tombak kayu menembus lehernya. Matanya melotot. Di seberang sana, Diki telah melekat—tubuhnya setengah hancur—pada sebatang pohon akibat segondol kayu penuh duri memasaknya.


Bau anyir merebak dikecup angin malam.

Sang teman yang telah memberi peringatan, menatap jijik pemandangan di depannya.


"Oh, saya akan menghukum Baron untuk ini. Perangkapnya sangat tidak masuk akal!"

Pemuda itu mendesah panjang, sesekali menggeram marah. Ia memperbaiki letak kacamata di pangkal hidungnya.


"Barooon!"

Sekejap saja, lelaki paruh baya berpakaian pelayan muncul sambil membungkuk dalam. "Ya, Tuan."

"Apa mereka mati?"

Baron kembali mengangguk dan tetap membungkuk. Ada peraturan tak tertulis agar tidak melihat wajah tuannya.

"Kau, Baron tua yang sangat kejam! Oh, mainanku yang malang! Bonekaku! Oh! ya, tapi, mereka sudah lama menginginkan ini. Lagi pula, saya sudah berusaha mengingatkan mereka," senyuman penuh arti tersimpul di wajahnya, "baiklah, Baron tua. Saya rasa, sudah waktunya makan malam."


***
Pagi berikutnya, ke-empat orang siswa SMU itu dilaporkan menghilang oleh orang tua mereka. Petugas kepolisian sudah melakukan pencarian ke seluruh penjuru kota dan tidak menemukan apa-apa.


Jangan pernah berharap ada satu jejak kaki yang bisa dilacak, karena bahkan sisa tubuh mereka tidak ditemukan dimanapun!


***


Hai, hai gengs! It's Phaulis, and welcome back to my story!  *Jangan protes, please. AKU NERRORIST soalnya. 😁

Silahkan tinggalkan jejak berupa pencet bintang di sudut, komentar membangun sangat diperlukan (maklum masih pemula).

Silahkan share juga jika berkenan. Hope you guys like it!😍

CAST

TEYARRA ZO

TEYARRA ZO

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


ZERO BRAD

ZERO BRAD

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


SHIRO

SHIRO

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


luv,

P h a u l i s


LIMIT ALBUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang