Y Or N

3.7K 402 436
                                    

Keduanya duduk di ruang santai apartemen mereka. Yoongi sibuk dengan ponselnya dan Jimin yang sibuk menggambar di buku sketsa.

"Kau sudah setuju?" Yoongi mengeluarkan suara, bertanya tanpa memandang yang ditanya.

"Setuju soal apa?" Jimin mendongak, mendengus ketika mendapati Yoongi malah sibuk dengan ponsel padahal wanita itu yang bertanya. Dengan seenak jidat, Jimin merampas ponsel itu, mematikan layarnya dan melemparkannya ke sofa seberang.

"Yak!" Yoongi berseru, hendak melancarkan makian, namun berakhir bungkam karena tatapan Jimin yang terlalu tajam. Jimin melemparkan buku sketsanya ke arah yang sama dengan ponsel Yoongi.

"Sudah berapa kali aku peringatkan untuk selalu memandangku ketika bicara, Park Yoongi?"

Bibir Yoongi mencebik, nampak kesal karena Jimin yang sensitif.

"Maaf" tapi akhirnya meminta maaf juga, karena memang hal itu sudah Jimin wanti-wanti. Bukannya Yoongi enggan memandang atau menatap langsung mata pria itu, tapi tatapan Jimin padanya selalu saja menelanjangi, bukan dalam artian mesum, tapi seperti memindai kebenaran dan kebohongan. Itu menyeramkan. Jimin masih muda tapi tatapannya bisa semengerikan itu.

"Aku bertanya padamu tentang rencana Rei yang membuat Sequel Parallel Lines" ujar Yoongi. Jimin mengangguk paham, kemudian menjawab kalau dirinya sudah tahu perihal itu.

"Aku menolaknya. Malas" Jimin berujar datar. Mata Yoongi menyipit, memandang penuh kecurigaan. Alasan yang dikatakan Jimin memang sesuai dengan kepribadian pria itu, tapi rasanya Yoongi lebih suka mencari alasan lain untuk memojokkan.

"Kau pasti merasa malu karena di cerita kedua, kau banyak menunjukkan sisi melankolismu" Yoongi berujar dengan senyum mengejek yang sirat matanya menunjukkan kemenangan yang besar. Jimin berdecih, mengatakan jika wanita itu melantur karena hal itu bukan alasannya sama sekali.

"Aku hanya kesal karena Rei terlalu banyak mengungkit masa lalu kelamku. Cih, biarkan saja cerita itu berakhir di sana, tidak usah dimunculkan sequel segala."

"Tapi cerita itu akan membuatmu dimengerti oleh para pembaca" Yoongi nampak amat tidak setuju dengan Jimin.

"Aku tidak butuh dimengerti atau dipahami. Aku terlanjur kesal dengan Rei yang sejak awal memang tidak benar-benar menggambarkan karakterku secara keseluruhan sehingga aku sering sekali mendapat hujatan. Mau dia apa sebenarnya? Aku sangat kesal sampai-sampai ingin membuatnya merasakan Merry di wajahnya yang bulat itu"

"Ckck karena itulah Rei melakukannya. Kau memang terlalu sialan, Park Jimin. Dan apakah kau lupa Merry sudah dia sita? Dia terlalu memahamimu sampai-sampai sudah mengungsikan Merry jauh-jauh hari sampai kau tidak sadar" ujar Yoongi dengan nada mencibir. Wania itu lalu beranjak dan mengambil setoples kue kering yang asin di lemari penyimpanan.

"Kau banyak makan sekarang" Jimin berkomentar ketika Yoongi kembali duduk di sampingnya. Wanita itu memutar bola matanya malas mendengar komentar suaminya.

"Kau tidak takut gendut memangnya?" Tanya Jimin lagi, Yoongi mendengus kesal kemudian menggeplak kepala pria itu.

"Aku tidak peduli lagi. Kau sama sekali tidak tahu rasanya bagaimana permintaan para pembaca agar aku hamil di cerita pertama. Aku merasa gila, aku belum siap punya anak, lagi pula saat itu kita belum menikah" gerutu Yoongi. Jimin tertawa mengejek, lalu mengatakan kalau Yoongi ujungnya pasti hamil juga, apalagi mereka sudah menikah sekarang.

"Aku tahu! Tapi kau kira hamil semudah itu apa? Aku ini bukan gadis dua puluhan yang gampang sekali hamil kalau kebablasan. Kalau kau memang ingin cepat punya bayi, seharusnya kau nikahi saja gadis yang masih belia" sewot Yoongi.

Parallel Lines [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang