Rintik Rindu Bulan November
By fatmawulandr
Jinan tampak tergesa menutup pintu, lalu setengah berlari sambil mencengkeram tali tas yang masih tercangklong di kedua bahu. Niat awal yang ingin beristirahat, seketika menguap begitu indranya menangkap sesuatu di ruang keluarga. Maka saat langkah gadis itu sampai, pemandangan yang tersuguh membuat napasnya kian memburu.
"Pada pukul 18.00 WIB, Tim DVI kembali mengidentifikasi tiga korban jatuhnya pesawat jenis Boeing Max 737. Ketiganya berhasil diidentifikasi melalui sidik jari. Nama dari ketiga korban adalah Mahe—"
"Harus berapa kali aku bilang, jangan hidupkan tv kalau cuma untuk lihat berita itu!"
Layar persegi panjang yang tengah menayangkan breaking news sejak seminggu lebih itu mendadak gelap. Bersamaan dengan teriakan Jinan setelah merampas remote dari tangan pemuda tanggung yang duduk di sofa berwarna biru laut.
"Berita itu bohong! Mereka semua bohong!"
"Jinan!"
Pemuda tanggung itu ikut berseru tegas. Seragam SMA berlambang sama seperti yang Jinan kenakan sudah tampak kusut. Begitu pula dengan ransel hitam yang tergeletak sembarang di bawah kakinya.
"Kamu sudah lebih dari dewasa untuk bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Apa perlu sekarang kita telepon Kakek dan Om Izzan untuk memberitahu kalau kita mau ke sana? Atau kamu mau cari informasinya dulu di bandara Depati Amir? Supaya kamu percaya kalau kecelakaan pesawat itu benar-benar terjadi dan orang tua kita berada di dalamnya."
Jinan tercekat. Tatapan tajamnya mengendurkan, lalu melangkah ke sisi dinding berwarna satu tingkat lebih gelap dari warna sofa. Menyandarkan tubuh sambil menggeleng pelan.
"Aku percaya kalau pesawat itu benar-benar jatuh. Aku juga tahu kalau Ayah dan Ibu ada di pesawat itu. Ta-tapi," Jinan mengusap kasar bulir kecil dari sudut mata. Menarik kerudung instan model serut yang sedikit turun hingga menutupi wajah bulatnya.
"Tapi aku nggak yakin kalau semua korban meninggal. Pasti ada yang selamat. Termasuk Ayah dan Ibu. Mungkin nanti sore, malam, atau besok, mereka tiba-tiba sudah ada di depan pintu. Tersenyum sambil menarik koper. Lalu bertanya bagaimana kabar aku, Bang Akif, Kakek Zar, Nenek Ismi, Om Izzan. Terus minta kita cerita tentang apa-apa saja yang terjadi selama mereka pergi. Minta kita mengulang hafalan surah. Min—"
"Jinan ...." Kali ini suara pemuda tanggung itu terdengar nyaris frustrasi. Mata sendunya semakin terlihat tak bercahaya ketika mengarahkan pandangan pada sang adik. "Seharusnya kamu juga tahu kalau itu semua hampir mustahil untuk terjadi."
Jinan kembali menggeleng. Menegapkan tubuh. Balas menatap dengan sorot kecewa. Dia benci. Amat benci ketika mendengar kalimat dengan nada putus asa itu. Bahkan mendengar kalimat tadi terasa lebih menyakitkan daripada berita-berita yang ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi. Seperti Tuhan yang mengetahui segalanya, mereka berkoar ini dan itu. Menyatakan dengan percaya diri bahwa tidak ada satu pun korban yang selamat. Jinan tidak habis pikir. Apa mereka tidak memikirkan perasaan pihak keluarga begitu mendengar pernyataan tersebut?
"Bang Akif sudah termakan dengan berita-berita itu. Bahkan sekarang Bang Akif sama pesimisnya dengan mereka." Suara Jinan terdengar serak.
Akif, pemuda tanggung berusia tujuh belas tahun itu kembali menghela napas. Tangannya terangkat mengacak rambut, lalu menutup wajah.
"Abang bukannya pesimis, Ji." Akif kembali bersuara. Tampak susah payah mengatur kata. "Cuma kemungkinan korban selamat tiap kali pesawat jatuh itu memang kecil. Apalagi ini jatuhnya di laut. Dan kamu tahu apa yang berita itu informasikan? Sejauh ini yang mereka dapatkan hanya potong—"

KAMU SEDANG MEMBACA
Temporada
General Fiction*Bienvenidos a nuestra temporada-Welcome to Our Season* Dengan berbagai rasa. Dengan berbagai suasana. Karena ... "Setiap musim punya kisah." --- Proyek Antologi Harsetsia. RAWS COMMUNITY. 21 Januari 2019